Sel 6 Dzulkaidah 1445AH 14-5-2024AD

Pemusik, Penyanyi dan Penggemarnya Menurut Imam Asy-Syafi’i rahimahullah

Nyanyian & musik begitu digemari di era kini oleh banyak kawula. Tidak sedikit pihak yang terang-terangan mengklasifikasikannya sebagai produk yang menunjukkan keluhuran budaya suatu bangsa. Sayangnya, tak dinyana sebenarnya telah ada peringatannya dalam tafsir ayat Al Quran dari kalangan sahabat nabi, dan disepakati para ulama panutan umat ini.

Ketika lalai dan lupa telah menjangkiti, tentu pesan pengingat dan peringatan akan bermanfaat bagi yang beriman setulus hati.


Silakan dibaca kembali beberapa artikel yang memuat dalil, tafsir dan fatwa para ulama tentang masalah ini di:


Berikut ini dikutipkan sekilas pandangan seorang imam besar umat Islam, rujukan salah satu madzhab fiqih terkemuka, Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Al Muthollibi Al Qurosy Al Makki (wafat 204 hijriyah) rahimahullah.

Profesi Penyanyi

Dalam kitab Al Umm karya beliau, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan,

ﻓﻲ اﻟﺮﺟﻞ ﻳﻐﻨﻲ ﻓﻴﺘﺨﺬ اﻟﻐﻨﺎء ﺻﻨﺎﻋﺘﻪ ﻳﺆﺗﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻳﺄﺗﻲ ﻟﻪ، ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻣﻨﺴﻮﺑﺎ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﺸﻬﻮﺭا ﺑﻪ ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ، ﻭاﻟﻤﺮﺃﺓ، ﻻ ﺗﺠﻮﺯ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﻭاﺣﺪ ﻣﻨﻬﻤﺎ؛ ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﻣﻦ اﻟﻠﻬﻮ اﻟﻤﻜﺮﻭﻩ اﻟﺬﻱ ﻳﺸﺒﻪ اﻟﺒﺎﻃﻞ، ﻭﺃﻥ ﻣﻦ ﺻﻨﻊ ﻫﺬا ﻛﺎﻥ ﻣﻨﺴﻮﺑﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻔﻪ ﻭﺳﻘﺎﻃﺔ اﻟﻤﺮﻭءﺓ

“Tentang seseorang yang suka menyanyi, dan menjadikannya sebagai profesi, dia memiliki budak yang suka menyanyi, orderan datang kepadanya dan diapun menawarkan diri untuk melakukannya, kebiasaan itu juga telah disematkan kepadanya bahkan dikenal luas dan diketahui masyarakatnya. Begitu pula bagi wanita. Tidak boleh diterima persaksian dari salah satupun di antara keduanya. Vonis seperti itu (pantas) dikarenakan hal itu adalah perbuatan sia-sia yang lebih dekat kepada kebatilan (dosa). Demikian pula karena orang yang melakukannya dapat dicap sebagai orang bermulut kotor yang runtuh kewibawaannya.”

ﻭﻣﻦ ﺭﺿﻲ ﺑﻬﺬا ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻛﺎﻥ ﻣﺴﺘﺨﻔﺎ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﺤﺮﻣﺎ ﺑﻴﻦ اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ

(Beliau melanjutkan) “Barangsiapa yang menggemarinya hanya untuk dirinya sendiri hal itu merupakan perkara syubhat, walaupun belum sampai pada tingkatan yang jelas keharamannya.”

ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻨﺴﺐ ﻧﻔﺴﻪ ﺇﻟﻴﻪ، ﻭﻛﺎﻥ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻌﺮﻑ ﺑﺄﻧﻪ ﻳﻄﺮﺏ ﻓﻲ اﻟﺤﺎﻝ ﻓﻴﺘﺮﻧﻢ ﻓﻴﻬﺎ، ﻭﻻ ﻳﺄﺗﻲ ﻟﺬﻟﻚ، ﻭﻻ ﻳﺆﺗﻰ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﻻ ﻳﺮﺿﻰ ﺑﻪ ﻟﻢ ﻳﺴﻘﻂ ﻫﺬا ﺷﻬﺎﺩﺗﻪ، ﻭﻛﺬﻟﻚ اﻟﻤﺮﺃﺓ

“Kalau seandainya hal itu tidak dikenali darinya, hanya saja terkadang dia diketahui memainkan alat musik pada kesempatan tertentu seraya dia bersenandung padanya, namun dia tidak menawarkan dirinya, tidak pula datang order tampil baginya, dia juga tidak rela hal itu (sebagai profesinya), persaksiaannya tidak sampai gugur. Demikian juga (hukum yang sama) berlaku bagi wanita.”

(ﻗﺎﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ)
ﻓﻲ اﻟﺮﺟﻞ ﻳﺘﺨﺬ اﻟﻐﻼﻡ ﻭاﻟﺠﺎﺭﻳﺔ المغنيين ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ، ﻭﻳﻐﺸﻰ ﻟﺬﻟﻚ ﻓﻬﺬا ﺳﻔﻪ ﺗﺮﺩ ﺑﻪ ﺷﻬﺎﺩﺗﻪ، ﻭﻫﻮ ﻓﻲ اﻟﺠﺎﺭﻳﺔ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻓﻴﻪ ﺳﻔﻬﺎ ﻭﺩﻳﺎﺛﺔ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻭﻻ ﻳﻐﺸﻰ ﻟﻬﻤﺎ ﻛﺮﻫﺖ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ، ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﺗﺮﺩ ﺑﻪ ﺷﻬﺎﺩﺗﻪ

(Beliau juga berpendapat rahimahullah:) “Terkait seorang pria yang membeli budak lelaki dan perempuan yang pandai menyanyi, dan diapun gemar mengumpulkan mereka berdua (untuk menyimak nyanyian mereka-pen), sekaligus dia sering bergabung (bernyanyi) bersama mereka berdua, maka orang ini termasuk orang yang kurang ajar dan tertolak persaksiannya karena hal itu. Sementara pada sikap memperlakukan seperti itu terhadap budak perempuan lebih parah daripada jenis lainnya, karena pada orang tersebut berarti terdapat unsur kekurangajaran sekaligus sikap tidak senonoh. Namun apabila sekadar kepemilikannya itu tidak kemudian dia gunakan sebagai kesempatan untuk mengumpulkan kedua budaknya agar tampil menyanyi, tidak pula dia ikut serta menyanyi bersama keduanya, berarti kondisi itu hanya sekadar dibenci darinya, belum sampai menyebabkan ditolak persaksiannya.”

Mengunjungi Tempat Ajang Menyanyi

(ﻗﺎﻝ)
ﻭﻫﻜﺬا اﻟﺮﺟﻞ ﻳﻐﺸﻰ ﺑﻴﻮﺕ اﻟﻐﻨﺎء، ﻭﻳﻐﺸﺎﻩ اﻟﻤﻐﻨﻮﻥ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﺬﻟﻚ ﻣﺪﻣﻨﺎ، ﻭﻛﺎﻥ ﻟﺬﻟﻚ ﻣﺴﺘﻌﻠﻨﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺸﻬﻮﺩا ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻬﻲ ﺑﻤﻨﺰﻟﺔ ﺳﻔﻪ ﺗﺮﺩ ﺑﻬﺎ ﺷﻬﺎﺩﺗﻪ. ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﻳﻘﻞ ﻣﻨﻪ ﻟﻢ ﺗﺮﺩ ﺑﻪ ﺷﻬﺎﺩﺗﻪ ﻟﻤﺎ ﻭﺻﻔﺖ ﻣﻦ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻟﻴﺲ ﺑﺤﺮاﻡ ﺑﻴﻦ

(Beliau juga berpendapat:) “Begitu pula yang suka mengunjungi tempat perhelatan nyanyian, dan para penyanyi juga akrab dengannya hingga menyebabkannya sampai kecanduan, sementara kondisi itu juga secara terang-terangan dia tampakkan dan dia akui sendiri, maka kedudukannya seperti orang bermulut kotor yang tertolak persaksiannya. Namun jika sangat jarang dia lakukan hal itu, tidak sampai tertolak persaksiannya, karena hal itu masuk kategori sebagai perkara syubhat yang tidak sampai terang keharamannya.” (Al Umm 6/226)

Demikianlah sekilas kutipan pendapat sang imam panutan mayoritas muslimin negara kita, semoga mencerahkan dan menyadarkan untuk segera berbenah memperbaiki diri.

Semoga Allah memberkahi kesungguhan inabah kita, dan mengampuni kesalahan kita.


Diterjemahkan oleh: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan