Kecemburuan Seorang Kakak yang Terpuji
Kecemburuan adalah padanan kata yang dirasa pas untuk menerjemahkan kata ghirah dalam bahasa Arab. Kecemburuan ini bisa berupa perasaan tidak rela yang terbungkus kemarahan dari seorang suami atau juga ayah, kakak kandung, dan semisalnya ketika melihat seorang wanita tidak menjalankan syariat Allah, seperti tidak mengenakan hijab secara syar’i, atau khawatir terlihat auratnya oleh laki-laki yang bukan mahram. Itu adalah suatu hal yang terpuji.
Seorang yang beriman haruslah memiliki perasaan cemburu demikian. Disebutkan dalam sebagian hadits:
الْمُؤْمِنُ يَغَارُ وَاللَّهُ أَشَدُّ غَيْرًا
Seorang mukmin memiliki perasaan cemburu, dan Allah lebih besar lagi kecemburuannya
(H.R Muslim dari Abu Hurairah)
إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah cemburu dan sesungguhnya orang yang beriman cemburu. Kecemburuan Allah adalah saat seorang beriman melakukan hal-hal yang diharamkan terhadapnya
(H.R Muslim)
Baca Juga: Nenek Umar bin Abdil Aziz, Wanita yang Shalihah
Abdurrahman bin Abi Bakr radhiyallahu anhuma adalah seorang Sahabat Nabi, kakak kandung Aisyah radhiyallahu anha. Sedikit kisah berikut ini akan menunjukkan kecemburuan yang terpuji dari Abdurrahman terhadap Aisyah sebagai teladan bagi orang beriman.
Pada saat haji Wada’ Nabi melakukan ibadah haji disertai oleh istri-istri beliau termasuk Aisyah radhiyallahu anha. Aisyah mengalami haid saat akan melakukan umroh, sehingga belum sempat melakukan thawaf (Umroh). Nabi kemudian memerintahkan kepadanya untuk mengerjakan haji secara qiron, sehingga thawaf maupun sa’i yang dilakukan sekali sudah cukup sebagai thawaf dan sa’i bagi haji maupun umroh.
Saat hari Arafah, Aisyah sudah suci dari haidnya. Beliau juga bisa melakukan thawaf Ifadhah pada hari anNahr tanggal 10 Dzulhijjah. Saat sudah menyelesaikan aktivitas Mabit dan melempar jumroh di Mina pada hari Tasyriq, Aisyah menyampaikan kepada Nabi kegundahannya. Kebanyakan orang-orang telah menyelesaikan umroh dan haji secara tersendiri, mendulang 2 pahala (umroh dan haji) sedangkan Aisyah merasa ia hanya akan mendapatkan 1 pahala saja.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kemudian membolehkan Aisyah untuk mengerjakan umroh. Nabi siap menunggu selesainya Aisyah mengerjakan umroh. Nabi menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakr untuk mengantarkan Aisyah ke wilayah terdekat yang tidak masuk Tanah Haram, yaitu di atTan’im kemudian berihram umroh dari sana.
Saat menaiki unta bersama Abdurrahman bin Abi Bakr, Aisyah merasa tempatnya sepi, tidak ada laki-laki yang bukan mahramnya di sekitar itu. Aisyah kemudian menyingkap khimar (penutup kepala) sehingga tersingkaplah bagian lehernya. Namun, timbul kecemburuan Abdurrahman bin Abi Bakr. Ia tidak rela, jangan sampai ada laki-laki yang bukan mahram melihat Aisyah dalam kondisi demikian.
Abdurrahman pun memukul kaki Aisyah dengan cemetinya. Hal itu untuk mengingatkan Aisyah. Sedangkan Aisyah sendiri bertanya kepada Abdurrahman: Apakah engkau melihat ada laki-laki lain di sekitar sini?
Sebenarnya apa yang dilakukan Aisyah radhiyallahu anha tidaklah salah, karena memang sebatas yang beliau ketahui, tidak ada seorang pun laki-laki lain yang bukan mahram beliau di sekitar tempat tersebut. Namun, hal itu cukup memberikan contoh yang baik tentang kecemburuan seorang kakak yang terpuji.
Baca Juga: Hukum Cadar (Menutup Wajah bagi Wanita Muslimah) Menurut Pendapat Ulama Bermadzhab Syafiiyyah
Kisah yang mengandung pelajaran berharga akan teladan kecemburuan yang terpuji dari seorang kakak tersebut, terdapat dalam Shahih Muslim Kitabul Hajj:
قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَرْجِعُ النَّاسُ بِأَجْرَيْنِ وَأَرْجِعُ بِأَجْرٍ فَأَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِى بَكْرٍ أَنْ يَنْطَلِقَ بِهَا إِلَى التَّنْعِيمِ. قَالَتْ فَأَرْدَفَنِى خَلْفَهُ عَلَى جَمَلٍ لَهُ – قَالَتْ – فَجَعَلْتُ أَرْفَعُ خِمَارِى أَحْسُرُهُ عَنْ عُنُقِى فَيَضْرِبُ رِجْلِى بِعِلَّةِ الرَّاحِلَةِ. قُلْتُ لَهُ وَهَلْ تَرَى مِنْ أَحَدٍ قَالَتْ فَأَهْلَلْتُ بِعُمْرَةٍ ثُمَّ أَقْبَلْنَا حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ بِالْحَصْبَةِ.
Aisyah radhiyallahu anha berkata: Wahai Rasulullah, apakah orang-orang kembali dengan 2 pahala (umroh dan haji) sedangkan aku hanya 1 pahala (haji)? Kemudian Nabi memerintahkan Abdurrahman bin Abi Bakr (saudara kandung Aisyah) untuk pergi bersama Aisyah ke atTan’im. Kemudian Abdurrahman memboncengku pada unta miliknya. Kuangkat khimar (penutup kepalaku) hingga kusingkap dari leherku. Lalu Abdurrahman memukulkan cemeti ke kakiku. Aku berkata kepadanya: Apakah engkau melihat seseorang (laki-laki) lain? Kemudian aku berihram untuk umroh. Kemudian kami menemui Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pada saat beliau berada di al-Hashbah (tempat melempar jumroh di Mina, pent)
(H.R Muslim Kitabul Hajj no 134).
As-Suyuthiy rahimahullah menyatakan: Dia (Abdurrahman bin Abi Bakr) sengaja memukul kaki Aisyah seperti memukul hewan tunggangan ketika Aisyah menyingkap khimar (kain penutup) dari lehernya karena timbul kecemburuan terhadapnya (ad-Diibaaj alaa Muslim (3/309)).
Demikianlah semestinya seorang kakak membimbing adiknya perempuan. Arahkan untuk berhijab secara syar’i. Hal yang sangat disayangkan ketika dalam kenyataan banyak yang sebaliknya. Banyak kakak yang justru tidak senang ketika adiknya berhijab secara syar’i. Mengetahui adiknya bercadar, sang kakak justru melarang dan mencegahnya. Padahal sebenarnya teladan bercadar dan menutup wajah berasal dari para istri Nabi, sesuai dengan yang Allah perintahkan.
Para istri Nabi dan Sahabat Nabi yang wanita kebiasaan mereka menggunakan cadar dalam aktivitas sehari-hari. Saat ihram, dilarang menggunakan cadar yang dijahit secara khusus. Namun, apabila ada seorang laki-laki yang bukan mahram berada di dekatnya, mereka menutup wajah dengan kain kerudung dan semisalnya.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Para pengendara (laki-laki) melewati kami pada saat kami bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berihram. Jika mereka akan melewati kami, kami turunkan jilbab kami dari kepala menutupi wajah. Jika mereka telah melewati kami, kami menyingkapnya kembali
(H.R Abu Dawud, dihasankan Syaikh al-Albaniy dalam Misykaatul Mashoobiih)
Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman