Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Mudthorib secara bahasa artinya guncang atau perbedaan. Jika ada beberapa riwayat yang tidak bisa dikompromikan dan juga tidak bisa ditarjih (dipilih mana yang lebih kuat), hadits itu masuk kategori mudthorib (syarh al-Baiquniyyah karya Syaikh Ibn Utsaimin).

Mudthorib bisa terjadi pada sanad, juga pada matan.

Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan:

وَذُو اخْتِلاَفِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنِ … مُضْطَرِبٌ عِنْدَ أُهَيْلِ الْفَنِّ

Dan yang memiliki perbedaan sanad atau matan…(disebut) mudhthorib menurut ahli bidang ini (Ahli hadits)

Penjelasan:

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidzhahullah menyatakan:

Mudthorib adalah adanya perbedaan-perbedaan (dalam riwayat) dalam bentuk penggantian perawi dengan perawi lain, atau riwayat dengan riwayat lain, dan tidak ada yang bisa dirajihkan dari riwayat-riwayat itu.

Mudthorib terbagi menjadi 2, yaitu:

  1. Mudthorib secara sanad, ini yang paling banyak terjadi.
  2. Mudthorib secara matan, ini sedikit.

(Ijtinaauts Tsamar fii Mustholahi Ahlil Atsar halaman 273).

Contoh Hadits Mudthorib

Ada hadits tentang perintah menggunakan sutrah dalam sholat berupa garis. Sebagian Ulama menilai hadits itu mudthorib.

Sutrah adalah sesuatu yang diletakkan atau berada di depan seorang yang sholat, apakah dia imam atau orang yang sholat sendirian. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan orang yang sholat untuk menggunakan sutrah.

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

Jika salah seorang dari kalian sholat, sholat menghadap ke arah sutrah, dan mendekatlah padanya (H.R Abu Dawud dari Abu Said al-Khudriy, dinyatakan hasan shahih oleh Syaikh al-Albaniy)

Sutrah bisa berupa apa saja, bisa berupa tembok, atau punggung orang yang duduk di depannya, atau benda yang lebarnya ukuran berapapun asalkan tingginya minimal seperti sandaran pelana sekitar sehasta atau 2/3 hasta, menurut sebagian para Ulama.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّي فَقَالَ كَمُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

Dari Aisyah –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ditanya pada saat perang Tabuk tentang (ukuran) sutrah bagi orang yang sholat. Beliau bersabda: Seperti panjang bagian akhir sandaran pada pelana (H.R Muslim)

Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa sutrah bisa berupa garis, ini dinilai mudthorib oleh sebagian Ulama. Hadits tersebut terdapat dalam Sunan Abu Dawud sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ حَدَّثَنِي أَبُو عَمْرِو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حُرَيْثٍ أَنَّهُ سَمِعَ جَدَّهُ حُرَيْثًا يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Bisyr bin al-Mufadhdhol (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Ismail bin Umayyah (ia berkata) telah menceritakan kepadaku Abu Amr bin Muhammad bin Huraits bahwasanya ia mendengar kakeknya, Huraits menyampaikan hadits dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian sholat, jadikanlah di depannya sesuatu (sebagai sutrah, pent). Jika tidak didapatkan, hendaknya menegakkan tongkat. Jika tidak ada tongkat, hendaknya menggaris suatu garis. Kemudian tidaklah memudharatkan dia orang yang lewat di depannya (H.R Abu Dawud) 

Al-Imam Ibnus Sholaah menilainya mudtharib dalam Muqoddimahnya. Syaikh al-Albaniy menjelaskan lemahnya hadits itu karena 2 alasan:

Alasan pertama: Di dalamnya terdapat perawi yang majhul, yaitu Abu ‘Amr (bin Muhammad bin Huraits dan kakeknya (Huraits).

Alasan kedua: mudthorib. Periwayatan dari berbagai jalur, sanadnya berbeda-beda.

Berikut ini contoh pemaparan sanad yang berbeda-beda pada berbagai riwayat:

  1. Ismail bin Umayyah dari Abu Amr bin Muhammad bin Huraits dari kakeknya Huraits dari Abu Hurairah (riwayat Abu Dawud, al-Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubro, Abd bin Humaid).
  2. Ismail bin Umayyah dari Abu Amr bin Huraits dari ayahnya dari Abu Hurairah (riwayat Ishaq bin Rahawaih)
  3. Ismail (bin Umayyah) dari Huraits bin ‘Ammaar dari Abu Hurairah (riwayat Abdurrazzaaq dalam mushonnafnya)

Ketiga riwayat itu bukanlah riwayat yang saling menguatkan atau bisa dikompromikan. Namun justru membingungkan untuk dipastikan mana yang benar. Tidak bisa ditarjih mana yang lebih kuat. Demikianlah keadaan mudthorib.

Ismail bin Umayyah mendengar hadits dari siapa? Apakah ia mendengar dari Abu Amr bin Huraits atau dari Huraits bin Ammaar? Jika memang itu Abu Amr, siapa nama ayahnya? Apakah Muhammad atau Huraits? Abu Amr mendengar dari siapa? Apakah dari ayahnya atau dari kakeknya? Tidak ada kejelasan, karena periwayatannya berbeda-beda.

Para Ulama lain yang mengisyaratkan kelemahan riwayat tersebut di antaranya Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi’i, dan al-Baghowiy. Ulama yang secara tegas melemahkan juga di antaranya ad-Daraquthniy, Malik, anNawawiy, al-Iraqiy (disarikan dari Tamaamul Minnah karya Syaikh al-Albaniy (1/301)).

 

Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan