Mensyukuri Beberapa Ketentuan Syariat Dalam Berpuasa
Niat menjadi barometer semua amal. Ketidaksengajaan selalu dibedakan dari tindakan tidak sengaja. Dalam ibadah puasa, makan dan minum bahkan muntah secara sengaja dikategorikan pembatalnya. Namun berbeda dengan sesuatu yang tertelan (tanpa sengaja). Berikut petikan penjelasan sebagian ulama kita dalam bab ini.
Justru kondisi alpa dan lupa, makan atau minum saat berpuasa merupakan bagian dari pemberian Allah ta’ala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda,
من نَسِيَ وهو صائِمٌ، فأكلَ أو شَرِبَ- فلْيُتِمَّ صَومَه؛ فإنَّما أطعَمَه اللهُ وسقاه
“Barang siapa yang terlupa padahal dia sedang berpuasa, lalu (tanpa sengaja) makan atau minum, silakan dia melanjutkan puasanya. Karena sesungguhnya Allah yang telah memberinya makan dan minuman itu.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Demikianlah pendapat mayoritas ulama, sebagaimana dinyatakan Al Hafidz An Nawawi rahimahullah,
فيه دلالةٌ لمذهبِ الأكثرينَ؛ أنَّ الصَّائِم إذا أكل أو شَرِبَ أو جامع ناسيًا، لا يُفطِرُ
“Pada hadits ini terdapat petunjuk yang membenarkan pendapat mayoritas ulama, bahwa orang yang berpuasa, apabila dia makan atau minum atau bersenggama (dengan istrinya) dalam keadaan lupa, hal itu tidak menyebabkan batal puasanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim 8/35)
Artikel terkait: Keadaan Lupa Atau Tidak Sengaja Tidak Membatalkan Puasa
Tertelannya sesuatu yang sangat kecil, di luar batas kemampuan mencegahnya
Begitu pula dengan hal yang di luar kemampuan manusia menahannya.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berpendapat,
ﻭاﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻘﻀﻲ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ اﻟﺸﻲء ﻳﺒﻘﻰ ﺑﻴﻦ ﺃﺳﻨﺎﻧﻪ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﻓﻴﻪ ﻣﻤﺎ ﻳﺪﺧﻠﻪ اﻟﺮﻳﻖ ﻻ ﻳﻤﺘﻨﻊ ﻣﻨﻪ، ﻓﺈﻥ ﺫﻟﻚ ﻋﻨﺪﻱ ﺧﻔﻴﻒ ﻓﻼ ﻳﻘﻀﻲ
“Sementara yang tidak perlu mengganti puasa dari beberapa kondisi tersebut adalah sisa makanan yang tertinggal di antara celah gigi dalam bagian mulutnya yang kemudian tertelan bersama ludah yang tidak bisa dicegah. Sesungguhnya meurutku yang seperti itu sangat ringan, tidak perlu mengganti puasa.” (Al Umm 2/105-106)
Senada dengan hal tersebut dinyatakan oleh Ibnu Qudamah mewakili pendapat madzhab Al Hanbali:
ﻭﻣﺎ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ اﻟﺘﺤﺮﺯ ﻣﻨﻪ، ﻛﺎﺑﺘﻼﻉ اﻟﺮﻳﻖ ﻻ ﻳﻔﻄﺮﻩ، ﻷﻥ اﺗﻘﺎء ﺫﻟﻚ ﻳﺸﻖ، ﻓﺄﺷﺒﻪ ﻏﺒﺎﺭ اﻟﻄﺮﻳﻖ، ﻭﻏﺮﺑﻠﺔ اﻟﺪﻗﻴﻖ. ﻓﺈﻥ ﺟﻤﻌﻪ ﺛﻢ اﺑﺘﻠﻌﻪ ﻗﺼﺪا ﻟﻢ ﻳﻔﻄﺮﻩ
“Sedangkan hal-hal yang tidak memungkinkan dihindari seperti tertelannya ludah, tidaklah membatalkan puasa. Karena meludahkannya keluar tentu menyulitkan. Sehingga kedudukannya mirip debu jalanan maupun ayakan tepung. Dimana tindakan mengumpulkannya dalam mulut lalu menelannya dengan sengaja tidaklah mengakibatkan batal puasa.” (Al Mughni 3/122)
Bahkan Ibnul Mundzir An Naisaburi (Abu Bakr Muhammad bin Ibrahim, w. 319) rahimahullah mencantumkannya sebagai salah satu konsensus ulama muslimin,
ﻭﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺷﻲء ﻋﻠﻰ اﻟﺼﺎﺋﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺰﺩﺭﺩﻩ ﻣﻤﺎ ﻳﺠﺮﻱ ﻣﻊ اﻟﺮﻳﻖ ﻣﻤﺎ ﺑﻴﻦ ﺃﺳﻨﺎﻧﻪ، ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ اﻻﻣﺘﻨﺎﻉ ﻣﻨﻪ
“Mereka telah bersepakat bahwa tidak ada tanggungan apapun bagi seorang yang berpuasa pada kondisi tertelannya serpihan kecil di sela-sela giginya yang mengalir bersama air ludah dalam situasi yang tidak mampu dicegah.” (Al Ijma’ li ibni Mundzir, no. 127 hal. 49)
Baca Juga: Lupa Kerugian Manusiawi, Bermusuhan Kerugian Tak Terlupa
Masuknya benda asing ke dalam saluran pencernaan tanpa sengaja
Al Hafidz An Nawawi menerangkan pilihan madzhab Asy Syafi’iyyah dalam perkara ini,
اتَّفق أصحابنا على أنَّه لو طارت ذُبابة، فدخلت جوفَه، أو وصَل إليه غُبار الطريقِ، أو غربلةُ الدَّقيق، بغير تعمُّد- لم يُفطِر
“Para ulama madzhab kami telah bersepakat bahwa apabila seekor lalat terbang lalu masuk ke rongga perut seseorang, atau masuk debu-debu jalanan ke dalamnya, ataupun serbuk ayakan tepung tanpa sengaja, hal-hal itu tidaklah membatalkan (puasanya).” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab 6/327)
Baca Juga: Berbekal Tarbiyah Allah di Bulan Ramadhan Meniti Kehidupan yang Diridhai-Nya
Menelan ludah/air liur yang masih ada di dalam mulut, sengaja maupun tidak
Ibnu Hazm rahimahullah menukilkan kesepakatan para ulama dalam hal ini dengan pernyataannya,
واتَّفقوا على أنَّ الرِّيقَ ما لم يُفارِق الفمَ لا يُفطِّر
“Dan mereka telah bersepakat bahwa air ludah/liur selama belum keluar dari mulut tidak membatalkan (puasa).” (Maratib Al Ijma’ hal. 40)
Walhamdulillah demikian mulia batasan syariat ini, sehingga patut bagi kita bersyukur kepada Allah Dzat Yang Mahamulia lagi Maha Pemurah. Semoga rasa syukur kita dapat menambah nilai kebaikan puasa kita sekaligus takwa kita semua kepada Allah Ta’ala.
Penulis: Abu Abdirrahman Sofian