Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Sekilas Sejarah Perjuangan Ulama Mengembalikan Ajaran Islam pada Ajaran Nabi dan Para Sahabatnya (Bag. ke-1)

Terjemahan Penjelasan Syaikh Sholih al-Fauzan dalam Mukaddimah Syarh Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Semoga sholawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para Sahabatnya seluruhnya.

Amma Ba’du:

Sesungguhnya kaum muslimin di masa Sahabat dan Tabi’in akidah mereka telah dikenal dengan baik. Akidah mereka sesuai dengan alQuran dan Sunnah yang ditinggalkan oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam.

Dulu akidah yang dikenal baik itu ada di masa Sahabat, Tabi’in, dan generasi terbaik, 4 generasi. Meskipun di akhir generasi ini mulai masuk perselisihan dan kelompok-kelompok (baru). Seperti Khawarij, Qodariyyah, Syi’ah. Namun, dulu Dien (Islam) kuat dan mulia.

_______________________________

baca juga:

Tiga Generasi Terbaik yang Menjadi Panutan

Mengikuti Manhaj Salaf dalam Beragama

Apakah Sunnah Nabi itu?

Orang-orang jahat bersembunyi dan tidak menampakkan kejahatannya. Ketika berakhir masa generasi yang utama itu nampak jelaslah kejahatan dan orang-orang sesat menampakkan kesesatannya. Di antaranya adalah Jahmiyyah, Mu’tazilah, Batiniyyah, dan Syi’ah.

Demikian juga kelompok sesat yang lain seperti Sufiyyah, Quburiyyah, dan kelompok-kelompok yang batil. Namun, Islam masih kuat di masa Daulah Umawiyyah. Ulama memiliki kedudukan dan perjuangan yang kuat. Mereka memerangi pemikiran-pemikiran ini. Orang-orang zindiq dihukum mati di masa Daulah Umawiyyah. Seperti Ja’ad bin Dirham dan selainnya yang terang-terangan menampakkan kezindiqan-nya.

Kemudian datanglah Daulah Bani Abbas yang juga memiliki kekuatan. Pada permulaan Daulah ini Islam kuat dan disegani. Ulama memiliki kedudukan yang mulia. Orang-orang jahat tidak punya kebebasan untuk menampakkan kejahatannya.

Di akhir pemerintahan Daulah Bani Abbas, datanglah al-Ma’mun al-Abbaasiy putra Harun ar-Rasyid. Dia memberontak terhadap kekuasaan saudaranya al-Amin, membunuhnya dan merebut kekuasaan itu. Ia adalah laki-laki kuat, cerdas, dan berilmu.

Namun, ia dimasuki oleh orang-orang yang sesat. Ia jadikan orang-orang sesat itu sebagai teman dekat di sekelilingnya. Seperti Ibnu Abi Du-ad, Bisyr al-Marrisiy. Mereka berhasil memikat hati al-Ma’mun untuk ikut dalam kesesatan dan akidah mereka.

Ia pun terpengaruh. Sehingga mendukung penerjemahan buku-buku asing. Bahkan membangun tempat khusus penerjemahan itu yang disebut dengan Daarul Hikmah. Padahal sebenarnya itu adalah Darun Niqmah (tempat bencana).

Mereka menerjemahkan buku-buku Romawi yang berisi kesesatan dan keburukan (ke bahasa Arab). Datanglah akidah-akidah yang sesat melalui jalur ini ketika buku-buku itu diterjemahkan. Sebagaimana Syaikh Taqiyyuddin rahimahullah menyatakan bahwa dengan diterjemahkannya buku-buku dari Romawi itu, bertambahlah keburukan.

Akhirnya, mereka bisa membuat al-Ma’mun tunduk pada keyakinan bahwa alQuran adalah makhluk, wal iyaadzu billaah. Firman Allah yang merupakan sumber hukum pertama dalam syariat, ingin mereka cabut sampai akarnya dari umat. Mereka berkata: Sesungguhnya alQuran adalah makhluk, bukan Firman Allah. al-Ma’mun pun tunduk dengan pendapat ini.

Namun para Imam (Ulama besar) berdiri menghadang pemikiran ini. Di antara yang terdepan adalah al-Imam Ahmad -semoga Allah merahmati beliau-. Mereka bangkit melawan pemikiran sesat ini dengan kuat dan mereka menolak menyatakan bahwa alQuran adalah makhluk. Sebagian mereka disiksa. Seperti al-Imam Ahmad. Sebagian mereka dibunuh. Namun mereka tetap sabar dalam melawan Mu’tazilah. Allah pun mengokohkan Dien dengan sebab mereka. Allah kokohkan akidah yang shahihah dengan sebab mereka, dan terusirlah orang-orang yang jahat.

Sepeninggal al-Ma’mun, saudaranya yang bernama al-Mu’tashim bin Harun ar-Rasyid menggantikannya. Kemudian setelah itu al-Watsiq bin al-Ma’mun. Mereka mengambil manhaj (yang menyimpang) ini dan ingin memaksa manusia untuk berpendapat bahwa alQuran adalah makhluk. Semua pemimpin tersebut menyiksa al-Imam Ahmad.

Namun, al-Imam Ahmad tidak pernah mengikuti mereka untuk mengucapkan kalimat itu, meskipun hanya satu kalimat. Justru beliau menyatakan: al-Quran adalah Kalam (Firman) Allah. Jika mereka mendesak beliau, beliau menyatakan: Tunjukkanlah bukti dari alQuran dan Sunnah sebagai dalil atas ucapan kalian itu. Mereka pun kembali memukul al-Imam Ahmad. Hingga beliau pingsan. Namun beliau tetap enggan mengucapkan pernyataan bahwa alQuran adalah makhluk.

Hingga darah beliau mengalir akibat kerasnya pukulan itu. Saking kerasnya pukulan itu hingga beliau hilang kesadaran. Beliau tetap kokoh demikian hingga datang masa pemerintahan al-Mutawakkil bin Harun arRasyid. Allah pun menyelamatkan Ahlus Sunnah dan menolong kebenaran. Allah menghancurkan Ahlul Bid’ah. Kemudian terbunuhlah al-Mutawakkil yang dibunuh secara licik oleh orang yang jahat.

Kemudian berlangsunglah kelemahan (pada umat Islam) hingga akhir pemerintahan Bani Abbas. Berikutnya, Syiah mendapat posisi dalam kementerian. Padahal mereka lebih buruk dari Jahmiyyah. Ibnul Alqomiy menjadi menteri. Demikian juga sang penolong kekafiran, yaitu atThuusiy.

Mereka menarik pasukan Tartar Mongol dari Timur yang memerangi negeri-negeri muslim sehingga menjajahnya dan membunuh khalifah. Mereka mengambil kitab-kitab Islam dan melemparkannya di sungai Dajlah. Mereka membunuh ratusan ribu kaum muslimin. Mereka membinasakan negeri-negeri kaum muslimin. Kaum muslimin melawan mereka di setiap negeri. Pada akhirnya, Allah menghinakan Tartar dan di antara mereka ada yang masuk Islam.

Islam tetap dalam keadaan kuat dan mulia –segala puji hanya untuk Allah-. Allah munculkan orang-orang yang menolong, melindungi, dan membela (ajaran) Islam. Muncul Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di masa kegelapan. Kelompok-kelompok yang menyimpang saling menarik manusia, yaitu Sufiyyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, Quburiyyah, dan Syiah.

Kaum muslimin hidup dalam suasana penuh gelombang fitnah. Di masa itu muncul Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau mempelajari kitab-kitab Salafus Shalih yang murni. Beliau juga mempelajari kitab-kitab yang menyimpang dan mengenal dengan baik syubhat-syubhat yang ada di dalamnya. Beliau bangkit berdakwah mengajak manusia kepada Allah, menulis kitab-kitab dan mengajar. Beliau pun diasingkan dan dipenjarakan.

Namun itu tidak menghalangi beliau untuk terus berjihad. Baik jihad dengan senjata, terjun langsung di medan pertempuran (termasuk melawan pasukan Tartar, pent). Beliau juga berjihad dengan pena, lisan, dan hujjah.

Hingga Allah munculkan pula murid-murid yang meneruskan ilmu beliau, seperti Ibnul Qoyyim, Ibnu Katsir, dan adz-Dzahabiy. Demikian juga para Ulama besar selain mereka. Berkembanglah dakwah (Islam yang benar). Terbitlah fajar dakwah dan pembaharuan ajaran agama Islam (kembali pada ajaran Nabi dan para Sahabatnya, pent). Terdapat bantahan-bantahan terhadap syubhat dan kesesatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para murid beliau –semoga Allah merahmati mereka-.

Kemudian berjalan waktu yang lama, lemahlah (sikap mengikuti) mazhab Ahlus Sunnah. Banyak kebid’ahan. Kesesatan tersebar luas. Setelah masa Syaikhul Islam dan para muridnya, muncullah masa kemandegan, kebodohan, dan taklid buta.

Negeri Najd tidak banyak disebut. Bahkan dilupakan. Dianggap wilayah terbelakang (terpencil) atau menyerupai daerah terpencil. Hanya berupa kampung, lahan pertanian, dan tempat yang jauh dari pemukiman. Tidak menarik sebagai tempat tinggal. Setiap wilayah punya pemimpin tersendiri. Terpisah satu sama lain. (Sebagai contoh), pemimpin negeri ‘Irqih tidak tunduk pada pemimpin negeri ad-Dir’iyyah. Padahal kedua negeri itu berdekatan. Masing-masing wilayah yang berkuasa sendiri-sendiri.

Para Ulama Hanabilah (di masa itu) di Najd terlalu mementingkan pembahasan fiqh (saja). Mereka menyusun karya-karya fiqh dan mengajarkannya. Adapun secara akidah, mereka berada di atas akidah al-Asya’iroh dan al-Maturidiyyah. Mereka larut dalam tashawwuf dan kebid’ahan. Seperti juga di negeri-negeri lain.

Bahkan, lebih banyak tersebar kebodohan di antara mereka di wilayah terpencil maupun perkampungan. Ya, di perkampungan ada Ulama, namun Ulama fiqh saja. Mereka pergi ke Syam berguru kepada Ulama Hanabilah di Syam. Kemudian pulang membawa kitab-kitab fiqh dalam mazhab al-Imam Ahmad.

Ini adalah kebaikan yang banyak. Namun, dalam akidah mereka kurang perhatian. Manusia dalam kondisi seperti itu: Sufiyyah, Quburiyyah, dan beberapa keburukan (bid’ah dan penyimpangan) lainnya. Tukang sihir juga semangat dengan aktivitas sihirnya. Demikian juga para tukang tenung. Kabilah-kabilah yang ada saling berhukum dengan para tukang ramal dan tukang tenung yang ada di antara mereka.

Dalam kondisi semacam ini Allah munculkan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab. Allah mengaruniakan kecerdasan dalam memahami keadaan masyarakat di masa itu. Sejak kecil beliau sering menelaah dan mengkaji kitab-kitab 2 Syaikh: Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim. Beliau juga sering menelaah kitab-kitab Salaf (para Ulama Islam terdahulu, pent). Beliau sendirian.

Kemudian beliau tidak mencukupkan diri dengan ilmu yang ada di negerinya. Beliaupun safar ke negeri lain.

(Bersambung ke bagian ke-2, insya Allah…)

 

Penerjemah: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan