Dinasti Ubaidiyyah Pelopor Peringatan Maulid Beginilah Kondisinya
Para ulama telah bersepakat begitu pula para ahli sejarah bahwa generasi sahabat, tabi’in, atba’ut-tabi’in, demikian juga seluruh empat Imam madzhab fiqh, tidak ada yang menganjurkan apalagi melakukan perayaan peringatan maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam. Demikianlah Imam Asy Syaukani rahimahullah telah menukilkan kesepakatan tersebut dalam Fathur-Rabbani karya beliau. Sebelumnya Ibnu Hajar rahimahullah bahkan telah mengisyaratkan pengakuan bahwa perayaan maulid Nabi shalallahu alaihi wasallam memang hal yang baru diada-adakan (baca: bid’ah), sebagaimana dikutip As-Suyuthi rahimahullah dalam Al Hawi karya beliau. Walaupun kedua tokoh yang disebutkan terakhir masih mentolerirnya jika pelaksanaannya benar dilandasi cinta kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan tidak diiringi kegiatan yang mungkar.
Sementara beberapa ulama bahkan telah menegaskan bahwa yang pertama mencetuskan sekaligus menyelenggarakan perayaan itu adalah dinasti yang menyebut diri mereka sebagai Fathimiyyun (dinasti yang mengaku keturunan Fathimah putri Nabi shallallahu alaihi wasallam), padahal hakekatnya mereka adalah Ubaidiyyun pemeluk keyakinan Al Bathiniyyah (Isma’iliyyah), bukan berakidah Islam yang benar. Demikianlah Ahmad bin Ali Taqiyuddin Al Miqrizi (w. 845 H) menghikayatkannya, beliau menyatakan rahimahullah:
ﻭﻛﺎﻥ ﻟﻠﺨﻠﻔﺎء اﻟﻔﺎﻃﻤﻴﻴﻦ ﻓﻲ ﻃﻮﻝ اﻟﺴﻨﺔ ﺃﻋﻴﺎﺩ ﻭﻣﻮاﺳﻢ ﻭﻫﻲ: ﻣﻮﺳﻢ ﺭﺃﺱ اﻟﺴﻨﺔ، ﻭﻣﻮﺳﻢ ﺃﻭﻝ اﻟﻌﺎﻡ، ﻭﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭاء، ﻭﻣﻮﻟﺪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﻣﻮﻟﺪ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ – ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﻭﻣﻮﻟﺪ اﻟﺤﺴﻦ، ﻭﻣﻮﻟﺪ اﻟﺤﺴﻴﻦ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ اﻟﺴﻼﻡ، ﻭﻣﻮﻟﺪ ﻓﺎﻃﻤﺔ اﻟﺰﻫﺮاء ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﺴﻼﻡ، ﻭﻣﻮﻟﺪ اﻟﺨﻠﻴﻔﺔ اﻟﺤﺎﺿﺮ، ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺃﻭﻝ ﺭﺟﺐ، ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻧﺼﻔﻪ، ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺃﻭﻝ ﺷﻌﺒﺎﻥ، ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻧﺼﻔﻪ، ﻭﻣﻮﺳﻢ ﻟﻴﻠﺔ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﻏﺮﺓ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﺳﻤﺎﻁ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﻟﻴﻠﺔ اﻟﺨﺘﻢ، ﻭﻣﻮﺳﻢ ﻋﻴﺪ اﻟﻔﻄﺮ، ﻭﻣﻮﺳﻢ ﻋﻴﺪ اﻟﻨﺤﺮ، ﻭﻋﻴﺪ اﻟﻐﺪﻳﺮ، ﻭﻛﺴﻮﺓ اﻟﺸﺘﺎء، ﻭﻛﺴﻮﺓ اﻟﺼﻴﻒ، ﻭﻣﻮﺳﻢ ﻓﺘﺢ اﻟﺨﻠﻴﺞ، ﻭﻳﻮﻡ اﻟﻨﻮﺭﻭﺯ، ﻭﻳﻮﻡ اﻟﻐﻄﺎﺱ، ﻭﻳﻮﻡ اﻟﻤﻴﻼﺩ، ﻭﺧﻤﻴﺲ اﻟﻌﺪﺱ، ﻭﺃﻳﺎﻡ اﻟﺮﻛﻮﺑﺎﺕ
“Dulu pada dinasti Fathimiyyah sepanjang tahun mereka memiliki beberapa hari yang dirayakan dan musim-musim peringatan, yaitu:
- Peringatan tahun baru
- Musim awal tahun
- Hari Asyuro (10 Muharram)
- Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam
- Maulid Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu
- Maulid Al Hasan dan
- Maulid Al Husain alaihimassalam
- Maulid Fathimah Az-Zahro’ alaihassalam
- Ulang tahun kepala negara yang tengah berkuasa
- Malam permulaan Rajab
- Malam pertengahannya
- Malam permulaan Sya’ban
- Malam Nisfu Sya’ban
- Musim malam Ramadhan
- Permulaan Ramadhan
- Hidangan makan Ramadhan
- Malam penutupan Ramadhan / khatmul Quran
- Musim Idul Fithri
- Musim Idun Nahr / Adha
- Idul Ghadir
- Kiswatusy Syita’ (pembuka musim dingin)
- Kiswatish Shaif (pembuka musim panas)
- Musim penaklukan semenanjung
- Hari An Nauruz (tahun baru Majusi Persia)
- Hari Ghithos (Penampakan Tuhan menurut Nasrani)
- Hari lahir Nabi Isa (Natal Nasrani)
- Kamis Adas (Perayaan Umat Nasrani)
- Hari-hari Rukubat
(Al Mawa’idz wa Al I’tibar fi Dzikr Al Khuthoth wa Al Atsar 1/436)
Kesimpulan yang serupa juga disampaikan Al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya 3/498, As Sandubi dalam Tarikh Al Ihtifal bi MaulidinNabi, hal. 69
Lalu siapakah mereka?
Sebenarnya seperti apakah kondisi tokoh-tokoh Bani Ubaidiyyin yang mempopulerkan diri mereka dengan sebutan Bani Fathimiyyin itu?
Kita coba menilik catatan para ulama ahli sejarah ketika menyebutkan kehidupan pendiri dan pelanjut tahta kekuasaan dinasti ini. Mari kita ikuti beberapa ulasan ulama ummat ini.
1. Ubaidullah dijuluki Al Mahdi oleh pengikutnya, Abu Muhammad kunyahnya. Dialah perintis kerajaan Al Ubaidiyyah Al Bathiniyyah di Maghrib (wilayah Utara benua Afrika) sejak tahun 296 H. Dia terang-terangan menampakkan keyakinan Rafidhah dan menyembunyikan pemahaman Isma’iliyyahnya. Dia mengarang nasab palsu dengan menyebut diri; “Saya Ubaidullah bin Muhammad bin Abdullah bin Maimun bin Muhammad bin Isma’il bin Ja’far bin Muhammad (maksudnya mengaku sebagai keturunan Imam Ja’far Ash-Shadiq rahimahullah). Ada pula penisbatan lainnya dari sekian pendapat terkait sosok ini. Namun yang masyhur dia sebenarnya diketahui sebagai Ubaidullah Al Qodah bin Maimun bin Dishan. Dakwah mereka (disebut dakwah Al Mahdi) juga sampai di negeri Yaman. Dikenal keculasan dan tipu dayanya dalam merebut kekuasaan dan menyebarkan pemikiran sesat secara samar, sebagaimana ciri dakwah Isma’iliyyah umumnya. Dari dia inilah silsilah Bani Ubaid disandarkan.
2. Muhammad bin Ubaidillah yang bergelar Al Qoim bi Amrillah, adalah pemimpin ke-2 sepeninggal ayahnya. Dia dipercaya juga sebagai Imam ke-12 versi agama Isma’iliyyah. Kekejaman dan pemutarbalikan syariat Islam sangat kuat di masanya. Dalam situasi genting bagi ahlussunnah semacam itu, sampai sebagian fuqoha’ lebih memilih berperang menghadapi tentara Al Qoim bersama tentara Abu Yazid yang berpaham khowarij dengan alasan yang disebutkan Abu Ishaq Al Faqih:
هم أهل القبلة، وأولئك ليسوا أهل قبلة . وهم بنو عدو الله ، فإن ظفرنا بهم لم ندخل تحت طاعة أبي يزيد ; لأنه خارجي
“Tentara Abu Yazid ini masih tergolong ahlul qiblah (muslimin), sementara mereka (tentara Al Qoim) bukanlah (muslimin) ahlul qiblah. Mereka itu adalah anak-anak musuh Allah. Apabila kami nantinya bisa mengalahkan mereka, tentulah kami tidak akan lagi bergabung bersama pasukan yang mematuhi Abu Yazid, karena dia adalah seorang berpaham Khawarij.”
3. Isma’il bin Muhammad bin Ubaidillah berkunyah Abu Thahir yang digelari Al Manshur binashrillah. Memerangi Ibadhiyyah dan masih ada sisi akal dan keislamannya. Secara umum tingkat fanatisme syiahnya dinilai sebatas tasyayyu’ (mendahulukan Ali, tapi tidak benci kepada sahabat lainnya), tidak separah pendahulunya. Di antara tanda kebaikannya, ia menunjuk seorang ulama ahli hadits sebagai qodhi di Qoirawan, Syaikh Muhammad bin Abi Mandzur Al Anshari rahimahullah.
4. Ma’ad bin Isma’il Abu Tamim yang digelari sebagai Al Mu’iz lidinillah, mulai memerintah sejak 341 H setelah kematian ayahnya. Dialah yang pertama berhasil meluaskan wilayah kerajaannya hingga masuk wilayah Mesir. Memerintahkan penulisan dalam keping mata uang dengan:
لا إله إلا الله محمد رسول الله ، علي خير الوصيين
“Tidak ada ilah selain Allah, Muhammad Rasulullah, Ali sebaik-baik dari orang-orang diberi wasiat (Nabi).”
Juga menambahkan pada lafal adzan:
حي على خير العمل
“Marilah melakukan sebaik-baik amal!” (tambahan yang hingga kini kita kenali sebagai ciri adzannya kaum Syiah Rafidhah).
Bagaimana tambahan kondisinya, akan ada kutipan dari kitab Al I’tishom secara khusus, biidznillah.
Cukuplah persaksian seorang ulama Malikiyyah di negeri Afrika (w. 403 H) Abul Hasan Al Qobisi rahimahullah bahwa yang dibunuh berdasarkan perintah Ubaidullah dan putra-putra sekaligus penerus tahtanya mencapai 4000 jiwa dari dari kalangan ulama hingga ahli ibadah. Mereka menjadi korban kekejaman dinasti ini hanya karena menolak meninggalkan mendoakan keridhaan Allah (dengan mengucapkan radhiyallahu anhum) terhadap para sahabat Nabi, dan terpaksa lebih memilih kematian.
Jangan lupa pula kesimpulan Al Qodhi ‘Iyadh rahimahullah yang tegas menyatakan,
أجمع العلماء بالقيروان أن حال بني عبيد حال المرتدين والزنادقة
“Para Ulama di negeri Qoirawan telah sepakat bahwa keadaan Bani ‘Ubaid adalah keadaannya orang-orang murtad dan zindiq.” (Disarikan dari As-Siyar 15/142-162 karya Al Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah)
Sehingga dalam pandangan ulama Islam, kondisi tokoh dinasti Bani ‘Ubaid itu sebenarnya tidak mewakili Islam tidak juga pemerintahan muslimin. Mereka memang menggunakan nama dan beberapa istilah berbahasa arab, namun bukan artinya tindak-tanduk mereka sebagai muslim hakiki. Seorang ulama terkemuka dari wilayah Granada Spanyol, Asy-Syathibi; Abu Ishaq Ibrahim bin Musa (w. 790 H), bahkan terang-terangan menyebut pemimpin ke-4 dinasti tersebut sebagai salah satu dari para Dajjal. Beliau rahimahullah menyatakan,
ﻭﺃﻣﺎ ﺑﻌﺚ اﻟﺪﺟﺎﻟﻴﻦ : ﻓﻘﺪ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺟﻤﻠﺔ، ﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﺗﻘﺪﻡ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻥ ﺑﻨﻲ اﻟﻌﺒﺎﺱ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ. ﻭﻣﻨﻬﻢ ﻣﻌﺪ ﻣﻦ اﻟﻌﺒﻴﺪﻳﺔ اﻟﺬﻳﻦ ﻣﻠﻜﻮا ﺇﻓﺮﻳﻘﻴﺔ، ﻓﻘﺪ ﺣﻜﻲ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﺟﻌﻞ اﻟﻤﺆﺫﻥ ﻳﻘﻮﻝ: ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﻌﺪا ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ، ﻋﻮﺿﺎ ﻣﻦ ﻛﻠﻤﺔ اﻟﺤﻖ: “ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪا ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ”، ﻓﻔﻌﻞ اﻟﻤﺆﺫﻥ، ﻓﻬﻢ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺑﻘﺘﻠﻪ، ﺛﻢ ﺭﺃﻭا ﺭﻓﻌﻪ ﺇﻟﻰ ﻣﻌﺪ ﻟﻴﺮﻭا ﻫﻞ ﻫﺬا ﻋﻦ ﺃﻣﺮﻩ؟ ﻓﻠﻤﺎ اﻧﺘﻬﻰ ﻛﻼﻣﻬﻢ ﺇﻟﻴﻪ، ﻗﺎﻝ: اﺭﺩﺩ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺫاﻧﻬﻢ ﻟﻌﻨﻬﻢ اﻟﻠﻪ
“Adapun munculnya para Dajjal, sebagian di antara fenomena itu telah terjadi. Di antara mereka ada yang sudah timbul dulu sejak di jaman Bani Abbas dan selain mereka. Dan termasuk dari mereka (para Dajjal) itu (sosok yang bernama) Ma’ad (Al Mu’iz) dari ‘Ubaidiyyah yang menguasai (sebagian wilayah) Afrika. Ada yang menghikayatkan bahwa dia itu telah memerintahkan petugas untuk mengumandangkan adzan dengan ucapan:
ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﻌﺪا ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ
‘Aku bersaksi bahwa Ma’ad adalah Rasulullah.’
sebagai ganti dari lafal yang semestinya:
ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪا ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ
‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.’
Lalu si petugas ketika benar-benar menjalankan perintah itu, kaum mukminin pun (gempar sampai) hendak membunuh si petugas itu. Namun kemudian mereka berpikir ulang, untuk menanyakan kepada Ma’d memastikan apakah benar tugas itu berasal dari perintahnya?
Hingga ketika tuntutan rakyatnya itu sampai kepada si Ma’ad, diapun memerintahkan, ‘Kembalikan cara adzan mereka seperti semula!’ Semoga Allah melaknatnya.” (Al I’tishom, 2/423)
Begitu pula kepemimpinan mereka bani Ubaid ini, walaupun fakta kekuasaannya tidak diabaikan, namun kedustaan pengakuan sebagai keturunan Ahli Bait (keluarga) Nabi shallallahu alaihi wasallam tetap harus diluruskan. Syaikh Ahmad bin Abdurrahim Waliyuddin Ibnul ‘Iraqi (w. 826 H) mengingatkan,
ﻭاﻟﻤﺘﻐﻠﺒﻮﻥ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﻈﺮ ﻓﻲ ﺃﻣﻮﺭ اﻟﺮﻏﺒﺔ ﺑﻄﺮﻳﻖ اﻟﺸﻮﻛﺔ ﻻ ﻳﻨﻜﺮﻭﻥ ﺃﻥ اﻟﺨﻼﻓﺔ ﻓﻲ ﻗﺮﻳﺶ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﺰﻋﻤﻮﻥ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺑﻄﺮﻳﻖ اﻟﻨﻴﺎﺑﺔ ﻋﻨﻬﻢ
“Sebenarnya, pihak yang melakukan kudeta walaupun ada kritikan perihal motivasinya dengan cara kekerasan (tapi keabsahan kekuasaannya) tidak perlu dingkari. Bahwa yang (paling berhak) memegang tampuk khilafah adalah dari Quraisy, sampai mereka (bani Ubaid) meyakini bahwa satu-satunya cara yang bisa mewujudkannya adalah dengan mendompleng nasab kepada mereka (Quraisy, padahal dusta).
ﻭﻟﻤﺎ ﺗﻐﻠﺐ العبيديون ﻋﻠﻰ اﻟﺒﻼﺩ اﻟﻤﺼﺮﻳﺔ ﻭاﻟﻤﻐﺮﺑﻴﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻭاﺩﻋﻮا اﻟﺨﻼﻓﺔ ﺯﻋﻤﻮا ﺃﻧﻬﻢ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ ﻣﻦ ﺫﺭﻳﺔ ﻋﻠﻲ – ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ -، ﻭﺇﻥ ﻃﻌﻦ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﻓﻲ ﻧﺴﺒﻬﻢ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻮﻧﻮا ﺧﻠﻔﺎء اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻓﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺧﻼﻓﺔ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ اﻟﻤﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺑﺒﻐﺪاﺩ ﻓﻲ ﺑﻨﻲ اﻟﻌﺒﺎﺱ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
Ketika Al ‘Ubaidiyyun berhasil menaklukan negeri Mesir dan wilayah Maghrib (Maroko, Al Jazair, Tunisia dan sekitarnya-pen) juga selainnya, merekapun mengaku sebagai kekhilafahan (kepemimpinan umat), mereka mengaku dari suku Quraisy, dari keturunan Ali radhiyallahu anhu, walaupun pihak lain mencurigai kebenaran sisilah mereka.
Sehingga jika demikian, mereka itu tidak bisa disebut khalifah bagi seluruh muslimin. Jadi tetaplah khilafah bagi muslimin di seluruh wilayahnya yang disepakati (di masa itu pusat pemerintahannya) ada di Baghdad pada Bani Al Abbas (Dinasti Abbasiyyah-pen), wallahu a’lam.” (Thorhu At Tatsrib fi Syarh At Taqrib, hal. 80)
Demikianlah pembaca yang budiman, sekelumit petikan catatan sejarah yang merekam kondisi Dinasti Ubaidiyyin dalam kaca mata para ulama Islam. Semoga menjadi pelajaran berharga bagi kita sekaligus bahan pertimbangan matang agar tidak serampangan ikut-ikutan melestarikan perayaan yang lebih kental nuansa pencitraan untuk mempertahankan hegemoni sosial maupun politik dibandingkan bukti kecintaan sejati kepada Nabi. Pilihan ada di tangan kita, akan membuktikan cinta kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan cara para sahabat yang telah meraih ridha Ilahi, ataukah musuh-musuh mereka yang sarat kebencian dan pemalsuan terhadap syariat Nabi? Semoga akal sehat masih tertanam dalam sanubari.
Penulis: Abu Abdirrohman Sofian