Ketika Sebagian Ulama Tidak Berkenan Disyuting Atau Diambil Gambar Beliau
Syaikh al-Albaniy rahimahullah
Syaikh al-Albaniy rahimahullah pernah menyampaikan:
ما فائدة تجاوبي مع اللجنة المسئولة في التلفاز أن ألقي درسا منظما بواسطة التلفاز ، ما الذي يستفيده الناس سوى أن يروا صورتي؟ لكن يمكنهم أن يسمعوا صوتي بدون طريقة التلفاز ، واضح ؟ فالفائدة المرجوه والمؤثرة ليست هو بروزي أنا بشكلي وإنما بروزي أنا بصوتي ، فإذا ليس هناك فائدة كبرى من وراء تبرير هذا العمل من أجل إفادة الناس الآخرين ، فليكن ذلك بطريق الإذاعة بالراديوا وليس بالتلفاز
Apa faidahnya saya memenuhi permintaan stasiun televisi agar saya menyampaikan pelajaran (ilmu agama) dan disyuting dengan media televisi? Apa yang manusia akan ambil manfaat selain melihat gambar saya? Memungkinkan bagi mereka untuk mendengar suara saya tanpa melalui media televisi. Jelas? Faidah yang diharapkan dan yang berpengaruh bukanlah dengan tampilnya saya. Yang lebih penting adalah suara saya. Sehingga tidak ada faidah yang besar dari kegiatan tersebut jika tujuannya untuk memberikan manfaat kepada manusia yang lain. Jadikanlah (penyampaian ilmu itu) melalui media radio, bukan televisi (Silsilah al-Huda wan Nuur nomor 288)
Perhatikanlah, bagaimana Syaikh al-Albaniy rahimahullah salah seorang Ulama hadits yang banyak dijadikan rujukan kaum muslimin dalam menilai keshahihan atau kelemahan hadits melihat apa urgensi penampilan gambar bergerak atau video jika hanya menampilkan wajah penceramah saja. Bukankah faidah yang diharapkan bisa tercapai dengan melalui nukilan suara atau audio?
Betapa ilmu yang sampai kepada kita dari sejak Nabi dan para Sahabat adalah melalui perantaraan penukilan suara yang didengar. Dalam sebuah hadits dinyatakan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Kalian mendengar (hadits/ilmu dariku), dan akan ada orang yang mendengar dari kalian, dan akan ada orang yang mendengar dari orang yang mendengar dari kalian (H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh al-Albaniy)
Selain melalui nukilan suara, ilmu sampai kepada kita melalui dokumentasi tulisan. Nabi shollallahu alaihi wasallam sangat takjub dengan keimanan umat beliau yang tidak pernah melihat beliau secara langsung, tapi beriman dengan tulisan mushaf alQuran ataupun hadits Nabi yang juga merupakan wahyu dari Allah yang ternukil sampai pada mereka.
عَن أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيه وَسَلَّم: أَيُّ الْخَلْقِ أَعْجَبُ إِيمَانًا؟ قَالُوا: الْمَلائِكَةُ، قَالَ: الْمَلائِكَةُ كَيْفَ لَا يُؤْمِنُونَ؟ قَالَ: النَّبِيُّونَ، قَالَ: النَّبِيُّونَ يُوحَى إِلَيْهِمْ فَكَيْفَ لَا يُؤْمِنُونَ؟ قَالُوا: الصَّحَابَةُ، قَالَ: الصَّحَابَةُ يَكُونُونَ مَعَ الأَنْبِيَاءِ، فَكَيْفَ لا يُؤْمِنُونَ، وَلكن أَعْجَبَ النَّاسِ إِيمَانًا: قَوْمٌ يجيؤون مِنْ بَعْدِكُمْ، فَيَجِدُونَ كِتَابًا مِنَ الْوَحْيِ، فَيُؤْمِنُونَ بِهِ، وَيَتَّبِعُونَهُ، فَهُمْ أَعْجَبُ النَّاسِ، أَوِ الْخَلْقِ، إِيمَانًا
Dari Anas ia berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Makhluk manakah yang paling menakjubkan keimanannya? Para Sahabat berkata: Para Malaikat. Nabi bersabda: Para Malaikat, bagaimana bisa mereka tidak beriman? (Tentu saja layak bagi mereka untuk beriman, pen). Ada yang berkata: Para Nabi. Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam bersabda: Para Nabi mendapatkan wahyu. Bagaimana mereka kemudian tidak beriman? Orang-orang berkata: Para Sahabat Nabi. Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam bersabda: Para Sahabat bersama dengan para Nabi. Bagaimana bisa mereka sampai tidak beriman? Namun, manusia yang paling menakjubkan keimanannya adalah suatu kaum yang datang setelah kalian. Mereka mendapati adanya kitab (tertulis) berupa wahyu, kemudian mereka beriman dan mengikutinya. Merekalah manusia atau makhluk yang paling menakjubkan keimanannya (H.R al-Bazzar dan lainnya, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah as-Shahihah nomor 3215 sebagai koreksi dan rujuk terhadap penilaian hadits sebelumnya yang beliau pernah nilai lemah dalam Misykatul Mashobih maupun Silsilah ad-Dhaifah).
Alhamdulillah ilmu dari Nabi dan para Sahabat Nabi sampai kepada kita tanpa kita pernah melihat langsung orang-orang mulia tersebut. Bahkan begitu banyak para Ulama yang ilmunya menerangi kehidupan kita, tanpa kita pernah melihat wajahnya.
Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkhali hafidzhahullah
Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkhali hafidzhahullah juga sangat mengingkari pengambilan gambar (foto maupun video) saat penyampaian kajian beliau. Dalam salah satu pelajaran Syarh Ma’arijul Qobul yang beliau sampaikan, ada salah seorang penuntut ilmu yang menyampaikan bahwa ada hadirin yang mengambil gambar dengan HP atau smartphone. Maka Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkhali hafidzahullah menyatakan:
اتركوا التصوير ، التصوير حرام ” لعن الله المصورين “، التصوير حرام ، ” أشد الناس عذاباً يوم القيامة المصورون”، بارك الله فيكم
Tinggalkanlah mengambil gambar (makhluk bernyawa). Mengambil gambar (makhluk bernyawa) adalah haram. Allah melaknat para penggambar. Mengambil gambar (makhluk bernyawa) adalah haram. (Dalam hadits disebutkan yang artinya) Manusia paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah para penggambar/pelukis (makhluk bernyawa)(H.R al-Bukhari dan Muslim, pen). Baarakallaahu fiikum (semoga keberkahan tercurah kepada kalian)(petikan audio dari salah satu pelajaran Syarh Ma’arijul Qobul yang disampaikan Syaikh Robi’).
Apakah anda merasa heran dengan pandangan Syaikh Robi’ tersebut? Sesungguhnya pandangan Syaikh Robi’ itu sama dengan fatwa al-Lajnah ad-Daaimah nomor 5807 yang disampaikan oleh beberapa Ulama besar yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (sebagai ketua), Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
Al-Lajnah ad-Daaimah memandang penggunaan kamera untuk memotret hal-hal tersebut diperbolehkan untuk keperluan yang penting dan mendesak, seperti penggunaan kartu identitas, paspor, dan semisalnya. Sebagaimana disebutkan dalam fatwa terhadap pertanyaan ke-4 nomor 2358. Dalam fatwa terhadap pertanyaan ke-2 nomor 16259 al-Lajnah ad-Daaimah juga menyamakan hukumnya penggunaan fotografi dengan kamera video yang itu juga terlarang.
Meskipun memang ada pandangan yang berbeda dari sebagian Ulama Ahlussunnah tentang apakah menggunakan kamera video dan fotografi terhitung menggambar atau tidak. Kita menghormati perbedaan pendapat itu sebagai sisi ijtihadiyyah para Ulama.
Seorang Ulama atau dai yang lain mungkin saja memandang tidak perlunya kajian divideokan meskipun mereka berpandangan bahwa penggunaan kamera itu tidaklah terhitung mengambil gambar yang terlarang. Alasan lainnya, di antaranya adalah:
Pertama: Apa urgensinya? Sama seperti penjelasan Syaikh al-Albaniy di atas, kalau sekedar untuk menampilkan sosok sang pemateri. Bahkan, rekaman audio ketika diunggah di media sosial akan lebih mudah termanfaatkan karena ukuran filenya jauh lebih kecil, dibandingkan ukuran file video. Sebuah kajian antara shalat Maghrib dengan shalat Isya berdurasi sekitar 30 menit, kalau dalam bentuk audio ukurannya bisa belasan MB saja. Bandingkan dengan ukuran video yang bisa puluhan MB bahkan bisa di atas 100 MB. Tidak banyak kaum muslimin yang memiliki kuota internet banyak.
Selain itu, sebagian pihak yang punya kuota banyak, silakan menjadi bahan introspeksi diri secara jujur ketika mereka meminta kajian-kajian ilmu divideokan, apakah penggunaan kuota anda lebih banyak digunakan untuk hal-hal lain, ataukah lebih banyak untuk kajian ilmu? Ataukah ketika berselancar di youtube maupun medsos yang menampilkan video lainnya anda lebih banyak menyimak kajian ilmu dari asatidzah yang jelas ahlussunnah, ataukah lebih banyak melihat tontonan lain? Anda sendiri yang bisa menjawabnya dengan jujur.
Kedua: Dikhawatirkan menjadi celah untuk memperluas penggunaan video atau foto untuk hal-hal lain yang jelas terlarang atau sia-sia. Artinya, penggunaannya kemudian melebar ke mana-mana. Sebagaimana hal itu memang terjadi pada sebagian pihak. Sebagian Ulama membolehkan menampilkan video yang berisi kajian ilmu agama, tapi kemudian dijadikan dalih sebagian pihak untuk memvideokan momen-momen lain yang sia-sia atau bahkan terlarang. Bahkan, sebagiannya kemudian memvideokan kajian yang disampaikan ustadzah (penceramah perempuan) dan diunggah di medsos yang menyebabkan ditonton oleh laki-laki yang bukan mahram. Orang-orang yang memvideokan diri dan keluarganya atau bahkan berfoto selfie beralasan bahwa toh ada Ulama yang membolehkan penggunaan video. Padahal, penggunaan video yang diperbolehkan sebagian Ulama itu terbatas untuk maslahat tertentu, tapi kemudian justru diperluas ke hal-hal lain yang bukan untuk itu fatwa tersebut dimaksudkan.
Wallaahu A’lam.
Penulis: Abu Utsman Kharisman