Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Dalam kehidupan bermasyarakat asas praduga tak bersalah kerap dijadikan dasar pembelaan khalayak terhadap tuduhan dan persangkaan yang belum terbukti validitasnya. Dan fitrah suci manusia tidak mungkin menerima apabila orang mulia dalam sekejap divonis sebagai penjahat hanya gegara tuduhan sepihak begitupun persangkaan seadanya.

Pada pembahasan ilmu agama, persangkaan disebut sebagai zhan (الظن) atau buruk sangka. Tahukah anda, bahwa zhan itu beragam bentuk dan kondisinya, sehingga tidak sama pula hukumnya?

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan bentuk persangkaan (kecurigaan), karena sebagian dari persangkaan itu dosa.” (QS Al Hujurat: 12)

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kita untuk menjauhi sebagian bentuk persangkaan yang masuk kategori dosa. Berarti tidak semua persangkaan terlarang dan berakibat dosa.

Singkatnya ada yang terlarang, ada yang diperbolehkan bahkan ada yang justru diharapkan. Apa saja itu?

1. Persangkaan atau praduga bersalah yang terlarang

Tidak boleh berprasangka negatif terhadap Allah, kesucian tauhid-Nya, firman-Nya, para Nabi utusan-Nya. Begitu pula jangan berprasangka negatif terhadap sosok muslim yang bertakwa yang tampak jelas kebaikan dan keutamaannya dalam agama. Hendaklah kita menjauhi dugaan buruk yang tak berdasar.

وَمَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang tuduhan itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm: 28)

Ibnu Muflih rahimahullah menyatakan,

ﻭﺫﻛﺮ اﻟﻘﺮﻃﺒﻲ ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ اﻟﻤﻬﺪﻭﻱ ﻋﻦ ﺃﻛﺜﺮ اﻟﻌﻠﻤﺎء: ﺃﻥ ﻇﻦ اﻟﻘﺒﻴﺢ ﺑﻤﻦ ﻇﺎﻫﺮﻩ اﻟﺨﻴﺮ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ، ﻭﺇﻧﻪ ﻻ ﺣﺮﺝ ﺑﻈﻦ اﻟﻘﺒﻴﺢ ﺑﻤﻦ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﻗﺒﻴﺢ

“Al Qurthubi menyebutkan ucapan Al Mihdawi dari mayoritas ulama: Bahwa persangkaan buruk terhadap orang yang tampak kebaikannya, tidaklah diperbolehkan. Dan bahwasanya tidak mengapa berburuk sangka kepada pihak yang memang menampakkan keburukannya.” (Al Adab Asy Syar’iyyah 1/46)


Artikel terkait yang semoga bermanfaat: Mengedepankan Persangkaan Baik Terhadap Seorang Muslim yang Dzhahirnya Menampakkan Keadilan


2. Buruk sangka yang diperbolehkan

Imam Al Bukhari rahimahullah meletakkan bab khusus bernomor 56 dalam kitab shahih beliau.

 ﺑﺎﺏ ﻣﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﻣﻦ اﻟﻈﻦ

“Bab Jenis Buruk Sangka yang Diperbolehkan.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا

“Aku mengira bahwa si-A dan si-B keduanya tidak mengerti agama kita sedikitpun!”

Dari jalur lain disebutkan dengan redaksi,

يَا عَائِشَةُ، مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ دِينَنَا الَّذِي نَحْنُ عَلَيْهِ

“Wahai ‘Aisyah, aku menduga si-A dan si-B itu tidak mengetahui seperti apa agama yang kita berada padanya!”

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam syarahnya,

وحاصل الترجمة أن مثل هذا الذي وقع في الحديث ليس من الظن المنهي عنه؛ لأنه في مقام التحذير من مثل من كان حاله كحال الرجلين، والنهي إنما هو عن الظن السوء بالمسلم السالم في دينه وعرضه

Sehingga kesimpulan (kaitan dengan) judul (yang disebutkan Imam Al Bukhari) bahwa ucapan yang terjadi semisal yang disebutkan dalam bukan termasuk persangkaan buruk yang terlarang. Karena perkataan tersebut dalam konteks memberi peringatan dari (bahaya) siapapun yang keadaannya seperti dua orang tersebut. Adapun larangan hanyalah diberlakukan terhadap buruk sangka kepada sosok muslim yang tampak baik perilaku agama dan kehormatannya.” (Fathul Bari 10/485-486)


Baca Juga: Kedepankan Prasangka Baik pada Saudaramu Ahlussunnah yang Secara Dzahir Bersikap Adil


3. Persangkaan buruk yang justru diharapkan

Ibnu Muflih rahimahullah juga menyebutkan,

ﻭﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﻫﺒﻴﺮﺓ اﻟﻮﺯﻳﺮ اﻟﺤﻨﺒﻠﻲ: ﻻ ﻳﺤﻞ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺤﺴﻦ اﻟﻈﻦ ﺑﻤﻦ ﺗﺮﻓّﺾ، ﻭﻻ ﺑﻤﻦ ﻳﺨﺎﻟﻒ اﻟﺸﺮﻉ ﻓﻲ ﺣﺎﻝ

Ibnu Hubairah Al Wazir Al Hanbali rahimahullah menyatakan: “Tidak halal, demi Allah, untuk berbaik sangka terhadap orang berpaham (syiah) rafidhah, tidak pula terhadap orang yang menyelisihi syariat dalam kondisi itu.” (Al Adab Asy Syar’iyyah 1/46)

Bahkan pada pihak-pihak tertentu yang telah dikenal sebagai musuh agama, dugaan buruk kepada mereka setara dengan makna keyakinan akan buruknya paham & perilaku mereka.

Ibnu Bath-thal rahimahullah menukilkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma,

ﻛﻨﺎ ﻧﺴﻤﻰ ﺳﻮﺭﺓ ﺑﺮاءﺓ: اﻟﻔﺎﺿﺤﺔ. ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ: ﻣﺎ ﺯاﻟﺖ ﺗﻨﺰﻝ (ﻭمنهم…) (ﻭﻣﻨﻬﻢ …) ﺣﺘﻰ ﺧﺸﻴﻨﺎ. ﻷﻥ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺪ ﺣﻜﻰ ﻓﻴﻬﺎ اﻗﻮاﻝ اﻟﻤﻨﺎﻓﻘﻴﻦ ﻭﺃﺫاﻫﻢ ﻟﻠﻨﺒﻰ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ ﻭﻟﻤﺰاﻫﻢ ﻓﻰ اﻟﺼﺪﻗﺎﺕ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ، ﺇﻻ ﺃﻥ اﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﻳﺄﻣﺮﻩ ﺑﻘﺘﻠﻬﻢ، ﻭﻧﺤﻦ ﻻﻧﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻈﻦ ﻣﺜﻞ ﻣﺎﻋﻠﻤﻪ اﻟﻨﺒﻰ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ ﻷﺟﻞ ﻧﺰﻭﻝ اﻟﻮﺣﻰ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻠﻢ ﻳﺠﺐ ﻟﻨﺎ اﻟﻘﻄﻊ ﻋﻠﻰ اﻟﻈﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻧﻪ ﻣﻦ ﻇﻬﺮ منه ﻓﻌﻞ منكر ﻓﻘﺪ ﻋﺮﺽ ﻧﻔﺴﻪ ﻟﺴﻮء اﻟﻈﻦ ﻭاﻟﺘﻬﻤﺔ ﻓﻰ ﺩﻳﻨﻪ ﻓﻼ ﺣﺮﺝ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺃﺳﺎء ﺑﻪ اﻟﻈﻦ

“Dulu kami menyebut surah Baro’ah (At Taubah) sebagai Al Fadhihah (pembuka aib oramg munafiq).”

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma melanjutkan perkataannya, “Terus berlanjut diturunkan ayat yang menyebut ‘dan di antara mereka…’, ‘dan di antara mereka’, hingga kami merasa khawatir. Karena Allah Ta’ala telah menyebutkan di dalam surah itu beberapa ucapan orang-orang munafik, dan gangguan mereka terhadap Nabi’ alaihissalam, dan cibiran mereka terhadap harta-harta sedekah, juga keburukan lainnya.

Hanya saja Allah belum memerintahkan beliau untuk membunuh mereka. Sedangkan kami belum mengetahui secara pasti (siapa saja mereka-pen) melainkan sekadar dugaan, tidak seperti pengetahuan Nabi alaihissalam karena wahyu diturunkan kepada beliau. Sehingga kami tidak bisa memastikan kebenaran dugaan tersebut. Hanya saja siapa pun yang tampak jelas melakukan kemungkaran, berarti dia telah mengajukan dirinya untuk diduga dengan persangkaan buruk dan tuduhaan tentang agamanya. Sehingga tidak ada dosa bagi orang yang berburuk sangka terhadap pihak semacam itu.” (Syarh Shahih Al Bukhori 9/262)


Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan