Loyalitas Kepada Sesama Mukminin Terutama Para Ulama
Loyalitas tanpa batas!, begitulah slogan yang kita pernah mendengarnya beberapa kali digaungkan. Generasi kini, suka sensasi. Bahasa formal bisa jadi hal yang menjemukan bagi sebagian kalangan. Sayangnya hanya demi sensasi, batasan agama tak jarang diabaikan.
Slogan itu kerap dijadikan seruan pendukung tokoh politik, penyemangat kampanye partai, dukungan sporter pertandingan cabang olahraga, atau bahkan merambah ke dunia dakwah.
Konsekwensi loyalitas sesama muslim adalah saling membantu dan mendukung berbagai amal kebaikan sebagai ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Belum sempurna loyalitas seseorang hanya dalam batin tanpa upaya saling berhubungan baik dan mendukung amal ketaatan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka merupakan penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Luas Hikmah-Nya.” (QS At Taubah: 71)
Artikel yang semoga bermanfaat pula: Terhubung Dengan Ulama Adalah Sebab Terhindar Dari Penyimpangan
Permisalan sempurna loyalitas sesama kaum beriman telah diterapkan secara konsisten oleh para sahabat Muhajirin dan Anshor yang langsung dibimbing dengan wahyu dari atas langit yang disampaikan melalui lisan Nabi shalallahu alaihi wasallam kepada mereka. Allah menggambarkan keteladanan mereka,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوا وَّنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُم مِّن وَلَايَتِهِم مِّن شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, tidaklah ada kewajiban sedikitpun bagi kalian melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan kecuali dalam menghadapi kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS Al Anfal: 72)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat tersebut menggambarkan loyalitas persaudaraan antara para sahabat Muhajirin dan Anshar, yang telah berjuang dan membantu perjuangan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau menekankan,
فهؤلاء بعضهم أولياء بعض، لكمال إيمانهم وتمام اتصال بعضهم ببعض.
“Mereka (para sahabat Muhajirin dan Anshar) saling berloyalitas satu sama lain. Karena kesempurnaan iman mereka, dan kemapanan hubungan di antara mereka.”
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا
فإنهم قطعوا ولايتكم بانفصالهم عنكم في وقت شدة الحاجة إلى الرجال،فلما لم يهاجروا لم يكن لهم من ولاية المؤمنين شيء.
Adapun orang-orang yang belum beriman tidak pula ikut hijrah, tidak perlu kalian loyal dalam bentuk apapun kepada mereka, sampai mereka berhijrah, “karena mereka sengaja memutus hak sikap loyal dari kalian dengan sikap mereka memisahkan diri dari kalian, di waktu sangat diperlukannya jumlah masa (yang mendukung). Di kala mereka tidak berhijrah, saat itulah mereka tidak perlu memperoleh dukungan loyalitas berupa apapun dari mukminin.”
(Taisir Al Karim Ar Rahman).
Ayat tersebut diturunkan pada masa ujian keimanan saat itu yang tampak adalah siapa yang berhijrah dialah mukmin, dan begitu sebaliknya.
Namun, tidak berarti bahwa bagi yang menampakkan secara lahiriah beriman, perbuatannya yang salah langsung berkonsekwensi diterapkan baro’ (tidak membantu) apalagi hajr (boikot) terhadap pelakunya secara total. Pernah diingatkan hal ini oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah dalam salah satu fatwa beliau,
أما الأعمال فنتبرأ من كل عمل محرم، ولا يجوز لنا أن نألف الأعمال المحرمة، ولا أن نأخذ بها، والمؤمن العاصي نتبرأ من عمله بالمعصية، ولكننا نواليه، ونحبه على ما معه من الإيمان
“Sedangkan (menyikapi) amal-amal (saudara kita), kita berlepas diri dari seluruh tindakan yang diharamkan. Dan juga tidak boleh kita mentolerir perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Tidak pula menirunya. Jadi, seorang mukmin yang bermaksiat, kita berlepas diri dari perbuatan maksiatnya. Akan tetapi (tetap ada bagian) kita loyal kepadanya, kita juga mencintainya karena adanya keimanan pada dirinya.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Al Utsaimin 3/12)
Bagi ummat Islam, loyalitas tanpa batas hanyalah kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Tidak boleh ada kemutlakan dalam simpati kita kepada pihak selain itu. Jika kita perlu teguh membela dan bersimpati, maka tentu kepada para ulamalah tingkatan sikap loyal berikutnya patut diarahkan. Hal ini merupakan salah satu keyakinan yang disepakati kaum muslimin.
Artikel yang semoga bermanfaat pula: Tetap Sholat Mengikuti Imam Walaupun Berbeda Madzhab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah setelah bertahmid dan bersholawat beliau membuka salah satu kitabnya dengan pengantar yang menukilkan kesepakatan tersebut, dengan tulisan beliau;
ﻭﺑﻌﺪ: ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ -ﺑﻌﺪ ﻣﻮاﻻﺓ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﻣﻮاﻻﺓ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻛﻤﺎ ﻧﻄﻖ ﺑﻪ اﻟﻘﺮﺁﻥ. ﺧﺼﻮﺻﺎ اﻟﻌﻠﻤﺎء, اﻟﺬﻳﻦ ﻫﻢ ﻭﺭﺛﺔ اﻷﻧﺒﻴﺎء اﻟﺬﻳﻦ ﺟﻌﻠﻬﻢ اﻟﻠﻪ ﺑﻤﻨﺰﻟﺔ اﻟﻨﺠﻮﻡ, ﻳﻬﺘﺪﻯ ﺑﻬﻢ ﻓﻲ ﻇﻠﻤﺎﺕ اﻟﺒﺮ ﻭاﻟﺒﺤﺮ. ﻭﻗﺪ ﺃﺟﻤﻊ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻫﺪاﻳﺘﻬﻢ ﻭﺩﺭاﻳﺘﻬﻢ. ﺇﺫ ﻛﻞ ﺃﻣﺔ -ﻗﺒﻞ ﻣﺒﻌﺚ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﻓﻌﻠﻤﺎﺅﻫﺎ ﺷﺮاﺭﻫﺎ, ﺇﻻ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﻋﻠﻤﺎءﻫﻢ ﺧﻴﺎﺭﻫﻢ؛ ﻓﺈﻧﻬﻢ ﺧﻠﻔﺎء اﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺃﻣﺘﻪ, ﻭاﻟﻤﺤﻴﻮﻥ ﻟﻤﺎ ﻣﺎﺕ ﻣﻦ ﺳﻨﺘﻪ. ﺑﻬﻢ ﻗﺎﻡ اﻟﻜﺘﺎﺏ, ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻣﻮا, ﻭﺑﻬﻢ ﻧﻄﻖ اﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺑﻪ ﻧﻄﻘﻮا
“Adapun setelahnya:
Merupakan kewajiban bagi muslimin setelah cinta dan loyal kepada Allah Rasul-Nya shollallahu alaihi wasallam, mereka juga wajib cinta dan loyal orang-orang beriman sebagaimana Al Quran telah membicarakannya. Khususnya (loyalitas) kepada para ulama. Yang beliau-beliau itu adalah para pewaris nabi-nabi. Merekalah yang oleh Allah diposisikan kedudukannya laksana bintang-bintang, yang diteladani di tengah kegelapan baik di daratan maupun lautan. Dan sungguh kaum muslimin telah bersepakat untuk (menerima) petunjuk dan ilmu yang mereka ajarkan.
Di kala seluruh umat sebelum diutusnya Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam sosok terburuknya adalah para ulamanya.
Berbeda dengan kaum muslimin ini. Karena sesungguhnya para ulama mereka merupakan tokoh-tokoh terbaik mereka. Merekalah para penerus (perjuangan) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di tengah ummat beliau. Merekalah juga yang (berjuang) menghidupkan kembali sunnah-sunnah beliau. Bersama mereka Kitabullah dapat tegak (tersampaikan), dan dengan rujukan Al Kitab tersebutlah mereka menerapkannya. Tentang mereka Al Quran telah membicarakan (pujian), dan ucapan merekapun bersandar (seputar) Alquran.”
(Rof’ul Malam ‘an A-immat Al A’lam, hal. 8)
Merekalah para ulama yang memiliki kapasitas ilmu dan keahlian mumpuni dalam memahami problematika dakwah. Para pakar dalil syariat beserta perangkat hukumnya, tentulah berbeda sikapnya dengan selain mereka.
Artikel yang semoga bermanfaat pula: Tuntunan Mengohormati dan Rujuk Kepada Ulama Terutama di Kala Fitnah Melanda
Al ‘Allamah Ibnul Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah menegaskan sisi pembeda pada ulama,
ﻟﻮ ﻭﺭﺩﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ اﻟﺸﺒﻪ ﺑﻌﺪﺩ اﻣﻮاﺝ اﻟﺒﺤﺮ ﻣﺎ اﺯاﻟﺖ ﻳﻘﻴﻨﻪ ﻭﻻ ﻗﺪﺣﺖ ﻓﻴﻪ ﺷﻜﺎ ﻻﻧﻪ ﻗﺪ ﺭﺳﺦ ﻓﻲ اﻟﻌﻠﻢ ﻓﻼ ﺗﺴﺘﻔﺰﻩ اﻟﺸﺒﻬﺎﺕ ﺑﻞ ﺇﺫا ﻭﺭﺩﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﺩﻫﺎ ﺣﺮﺱ اﻟﻌﻠﻢ ﻭﺟﻴﺸﻪ ﻣﻐﻠﻮﻟﺔ ﻣﻐﻠﻮﺑﺔ ﻭاﻟﺸﺒﻬﺔ ﻭاﺭﺩ ﻳﺮﺩ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻠﺐ ﻳﺤﻮﻝ ﺑﻴﻨﻪ ﻭﺑﻴﻦ اﻧﻜﺸﺎﻑ اﻟﺤﻖ ﻟﻪ ﻓﻤﺘﻰ ﺑﺎﺷﺮ اﻟﻘﻠﺐ ﺣﻘﻴﻘﺔ اﻟﻌﻠﻢ ﻟﻢ ﺗﺆﺛﺮ ﺗﻠﻚ اﻟﺸﺒﻬﺔ ﻓﻴﻪ ﺑﻞ ﻳﻘﻮﻯ ﻋﻠﻤﻪ ﻭﻳﻘﻴﻨﻪ ﺑﺮﺩﻫﺎ ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﺑﻄﻼﻧﻬﺎ
“Walaupun berbagai syubhat datang kepadanya sebanyak buih di lautan, tidaklah semua itu menyebabkan keyakinannya sirna, tidak pula menjadikannya bimbang. Karena dia memang telah memiliki keilmuan yang matang. Sehingga bermacam syubhat tidak akan menjadikannya gelisah.
Bahkan jika syubhat menghampirinya, dia akan menangkalnya sebagaimana posisi penjaga ilmu dan tentaranya, sehingga (dia akan berhasil meringkusnya) dengan rantai dan mengalahkannya. Padahal syubhat itu ketika datang akan menghampiri hati lalu akan menjadi penghalang antara hati seseorang dengan tersingkapnya kebenaran baginya.
Kapanpun hati telah dilapisi dengan ilmu hakiki, bermacam syubhat itu tidak akan mempengaruhinya. Bahkan keilmuan serta keyakinannya akan semakin kuat dengan bantahannya dan pengenalan terhadap kebatilannya.”
(Miftah Dar As Sa’adah 1/140)
Lalu setelah terangnya hak loyalitas kepada ulama ini telah diingatkan, pantaskah bagi kita mengedepankan loyalitas kepada selain para ulama? Sungguh tenggelam dalam syubhat dan fitnah menjadi kekhawatiran kita bersama. Semoga Allah menjaga kita dari berbagai bahaya syubhat dan fitnah, baik tersembunyi ataupun tampak dengan memberikan taufiq kepada kita semua untuk loyal kepada mukminin terkhusus para ulama rabbaniyin di kalangan mereka.
?️ Ditulis oleh:
Abu Abdirrohman Sofian