Kerukunan dan Persatuan Lebih Diutamakan daripada Menerapkan Pendapat Pilihan dalam Fiqh
Dalam beberapa kondisi terkadang kita dihadapkan pada permasalahan yang dilematis. Apakah tetap menjalankan suatu pendapat yang secara syar’i disukai (mustahab) dan lebih utama (afdhol), ataukah lebih mendahulukan pendapat lain yang tidak lebih utama (mafdhul) walaupun masih dalam taraf diperbolehkan. Apabila tindakan yang mafdhul lebih dekat kepada tercapainya kerukunan dan persatuan muslimin, merupakan kebaikan dan hikmah apabila kita menjalaninya walaupun untuk sementara meninggalkan yang mustahab dan afdhol.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:
ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﻟﻠﺮﺟﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﺼﺪ ﺇﻟﻰ ﺗﺄﻟﻴﻒ ﻫﺬﻩ اﻟﻘﻠﻮﺏ ﺑﺘﺮﻙ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺴﺘﺤﺒﺎﺕ؛ ﻷﻥ ﻣﺼﻠﺤﺔ اﻟﺘﺄﻟﻴﻒ ﻓﻲ اﻟﺪﻳﻦ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻓﻌﻞ ﻣﺜﻞ ﻫﺬا، ﻛﻤﺎ ﺗﺮﻙ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﻐﻴﻴﺮ ﺑﻨﺎء اﻟﺒﻴﺖ ﻟﻤﺎ ﺭﺃﻯ ﻓﻲ ﺇﺑﻘﺎﺋﻪ ﻣﻦ ﺗﺄﻟﻴﻒ اﻟﻘﻠﻮﺏ
“Dianjurkan bagi seseorang untuk mengedepankan kerukunan antar hati ini, walaupun perlu meninggalkan beberapa hal yang disunnahkan.
Karena nilai manfaat bersatunya hati lebih agung kedudukannya dalam agama ini dibandingkan penerapan amalan mustahab semacam ini.
Sebagaimana Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam pernah mengurungkan rencana restorasi (mengembalikan) bangunan kakbah. Tatkala beliau mempertimbangkan bahwa membiarkannya tetap pada bentuknya saat itu menjadi bagian penyatuan antar hati mereka.”
(Al Qowa’id anNuroniyyah hal. 46)
Beliau rahimahullah juga mengingatkan dengan hikmah fatwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻟﻤﺎ ﺳﺄﻟﻪ ﺭﺟﻞ ﻋﻦ ﻭﻗﺖ اﻟﺮﻣﻲ، ﻓﺄﺧﺒﺮﻩ، ﺛﻢ ﻗﺎﻝ: اﻓﻌﻞ ﻛﻤﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﺇﻣﺎﻣﻚ، ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
“Demikian pula Anas bin Malik rahimahullah ketika ada seseorang yang bertanya kepada beliau tentang waktu melempar jumroh, beliaupun menjelaskan batasan ketentuannya, lalu berkata: (jika sulit) lakukanlah sebagaimana dilakukan pemimpinmu!
Wallahu a’lam”
(Al Fatawa Al Kubro Kitab ashSholah hal. 252)
Artikel Lainnya:
Batasannya pernah beliau rahimahullah singgung pula di tempat lain dengan pernyataan beliau:
ﻭﻟﻬﺬا ﻧﺺ اﻷﺋﻤﺔ ﻛﺄﺣﻤﺪ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺑﺎﻟﺒﺴﻤﻠﺔ ﻭﻓﻲ ﻭﺻﻞ اﻟﻮﺗﺮ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﻓﻴﻪ اﻟﻌﺪﻭﻝ ﻋﻦ اﻷﻓﻀﻞ ﺇﻟﻰ اﻟﺠﺎﺋﺰ اﻟﻤﻔﻀﻮﻝ ﻣﺮاﻋﺎﺓ اﺋﺘﻼﻑ اﻟﻤﺄﻣﻮﻣﻴﻦ ﺃﻭ ﻟﺘﻌﺮﻳﻔﻬﻢ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﻣﺜﺎﻝ ﺫﻟﻚ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
“Karenanyalah para imam semisal Imam Ahmad dan selainnya telah menyatakan hal itu (seperti) pada permasalahan (dimakluminya mengeraskan) bacaan basmalah, disambungnya rokaat sholat witir dan yang selainnya dengan mentolerir penerapan berbeda dari penerapannya yang afdhol menjadi sekedar menerapkan hal yang masih diperbolehkan (walaupun) mafdhul. Hal itu dilakukan sebagai upaya menjaga sikap kasih sayang pada mukminin, atau agar mereka bisa mengerti sunnah, dan tujuan lain semisal itu. Wallahu a’lam.”
(Majmu’ Al Fatawa 22/437)
Sehingga tatkala sosok ahlussunnah yang dikenal kebaikannya menerapkan suatu tindakan yang tidak masuk kategori afdhol, selama bukan merupakan dosa ataupun permusuhan, jika kita tidak sepakat dengan tindakannya hendaknya diberikan sekian udzur baginya.
Baca Pula:
Tiga Etika Dasar Pergaulan
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan:
“Dan telah dihikayatkan oleh Az Zuhri dan lainnya bahwa diantara alasan Utsman radhiyallahu ‘anhu menggenapkan (jumlah rokaat di Mina) karena terdapat kekhawatiran nantinya kalangan badui pedalaman (yang ikut hadir) akan meyakini bahwa sholat memang difardhukan cukup 2 rokaat saja.
Ada juga yang menyatakan kemungkinannya bahwa beliau memiliki istri di Mekah. Dimana Ya’la dan lainnya pernah meriwayatkan hadits Ikrimah bin Ibrahim;
“Telah menceritakan kepada saya Abdullah bin Abdurrohman bin Al Harits bin Abi Dzubab dari ayahandanya bahwasanya Utsman pernah sholat bersama mereka sejumlah 4 rokaat. Lalu Utsman menghadap ke arah mereka seraya berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﺇﺫا ﺗﺰﻭﺝ اﻟﺮﺟﻞ ﺑﺒﻠﺪ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺃﻫﻠﻪ
Barangsiapa yang beristrikan penduduk suatu negeri, maka dia juga menjadi penduduk negeri tersebut.
Sehingga aku sengaja menyempurnakan (jumlah roka’at sholat) karena memang aku beristrikan penduduk daerah ini sejak aku tiba di daerah ini.”
(Al Bidayah wan Nihayah 7/244)
Walaupun hadits tersebut selanjutnya telah dikomentari sendiri oleh Al Hafidz ibnu Katsir sebagai hadits yang tidak shohih, namun kita tetap dapat mengambil pelajaran tentang upaya mencarikan udzur dari para ulama terkait tindakan Utsman radhiyallahu ‘anhu. Memang, toleransi yang tepat dan mengedepankan persatuan adalah upaya yang patut disyukuri dan diteladani.
Wallahu a’lam
Ditulis oleh:
Abu Abdirrahman Sofian
Sumber Artikel:
Grup WhatsApp Al I’tishom