Ibadah Puasa Sebagai Metode Islam Dalam Mengekang Syahwat Sekaligus Pembeda dari Umat Lainnya
Begitu mulia dan adil tuntunan norma individu dan kemasyarakatan dalam Islam. Islam jaya dan unggul dibandingkan berbagai norma versi budaya buatan peradaban manusia manapun dan kapanpun juga. Selain menanamkan pemenuhan hak-hak Allah, nyatanya hak-hak para hamba juga mendapatkan porsi bimbingan yang menentramkan.
Kawula muda yang mengalami gejolak libido menjadi problematika manusia sepanjang sejarah peradaban mereka. Beragam cara menangani masalah ini dimunculkan konsep dan teorinya. Era modern kini ada yang menawarkan konsep ekstrim kanan dengan polesan istilah “pendidikan seksual” bagi para remaja yang justru malah menggelorakan hasrat nafsu mereka tanpa kendali. Menyadari dampak buruknya, tak heran diskursus dan seruan antipati terhadap konsep ini mulai mengemuka. Ada pula yang memilih secara ekstrim kiri untuk menjadi rahib atau pendeta dalam arti mengharamkan dirinya menikah dan membina rumah tangga. Atau seperti kalangan yang memilih menyalahkan bagian organ tertentu dengan melakukan mutilasi bagian organ kelamin atau disebut kebiri sebagai pelarian dari tanggung jawab mental dalam sanubari untuk menjadi sosok bertanggungjawab dan bijaksana. Hingga tak ayal, kebiri menjadi salah satu ciri budaya Cina kuno dan Barat (terkhusus gereja) di sekitar abad 17 masehi yang lalu. Konsep itu juga menjadi pelarian sebagian ahli kitab dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan mereka, dengan cara yang menurut perasaan mereka paling aman, namun merugikan hak pribadi dan keluarga mereka sendiri. Wallahulmusta’an.
Baca Juga: Anjuran Menikah Bagi yang Mampu
Pengebirian Terlarang dalam Islam
Alhamdulillah, kita merasakan kemuliaan Islam. Rasulullah telah melarang cara kebiri walaupun itu adalah model penanganan yang terkesan “berbudaya” versi negeri adidaya Romawi kala itu. Bahkan di masa adanya kebutuhan mendesak untuk mengekang libido bagi para mujahidin yang menjalani masa-masa tugas bertempur sekalipun cara kebiri sama sekali tidak diperbolehkan.
Dalam Islam tindakan mengebiri hewan ternak secara asal terlarang, kecuali terdapat bahaya akibat perkembangbiakannya yang nyata jika tidak ditangani dengan cara tersebut.
Artikel terkait: Bolehkah Mengebiri Kucing?
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma beliau menyatakan,
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ نهى عن صَبْرِ ذي الرُّوحِ وعن إخصاءِ البهائمِ نهيًا شديدًا
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang perbuatan menahan dan menjadikan sasaran lontaran terhadap setiap makhluk bernyawa dan juga dari perbuatan mengebiri terhadap binatang ternak dengan pelarangan yang keras.” (HR Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid, Abu Ya’la, Al Bazzar dan Al Baihaqi. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash-Shaghir).
Terlebih terhadap manusia, apalagi muslim yang beriman. Pengebirian organ menjadi hal yang tidak diperbolehkan walaupun dalam rangka tujuan yang baik. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu pernah berkata,
كُنَّا نَغْزُو مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَيْسَ لَنَا نِسَاءٌ، فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نَسْتَخْصِي؟ فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ
“Kami pernah menjalani masa peperangan menyertai Nabi shallallahu alaihi wasallam, dalam kondisi tidak ada istri yang mendampingi kami. Lalu kamipun meminta izin, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah kami melakukan kebiri?’ Beliaupun melarang kami dari tindakan itu.” (HR Al Bukhari)
Imam Ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan, sampai kepada Anas bin Malik radhiyallahu anhu, beliau berkata:
ﻫﻮ اﻹﺧﺼﺎء، ﻳﻌﻨﻲ ﻗﻮﻝ اﻟﻠﻪ: وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ
Maksudnya adalah pengebirian, yaitu terkait firman Allah ta’ala menghikayatkan janji setan:
وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ
“Dan aku (setan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS An-Nisa: 119)
Beliau (Imam Ath-Thobari) juga meriwayatkan salah satu pendapat dalam tafsir ayat:
لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ
“… Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah…” (QS Ar-Rum: 30)
ثنا ابن عيينة، عن حميد الأعرج، قال: قال عكرِمة: الإخصاء
“Telah menceritakan kepada kami ‘Uyainah dari Humaid Al A’roj dia berkata, ‘Ikrimah telah berkata: (maksudnya) pengebirian.”
قال: ثنا حفص بن غياث، عن ليث، عن مجاهد، قال: الإخصاء
(Ath-Thobari) berkata: “Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Laits dari Mujahid dia berkata: (yaitu) Pengebirian.”
Tahapan solusi secara syari yang telah dihapuskan
Dalam riwayat lain juga dalam Kitab An Nikah pada shahih Al Bukhari disebutkan,
ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ، ثُمَّ قَرَأَ عَلَيْنَا : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Kemudian (pasukan) kami diberikan keringanan untuk menikahi wanita sekadar bermahar baju selama batas waktu tertentu (mut’ah). Lalu beliau membacakan kepada kami (firman Allah):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan hal-hal baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. Jangan pula kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al Maidah: 87)
Nikah mut’ah memang pernah disyariatkan secara terbatas di masa perang, sebagai solusi darurat karena pasukan diharapkan tidak berpuasa agar tetap kuat fisiknya. Namun kemudian hukum tersebut telah mansukh/dihapuskan. Demikianlah keyakinan muslimin Ahlussunnah yang berbeda dengan keyakinan sekte Syi’ah.
Dalil bagi keyakinan Ahlussunnah secara tegas disebutkan dalam beberapa hadits dalam shahih Al Bukhari dan Muslim serta selainnya. Antara lain, hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ، وَلُحُومِ حُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah pada tahun terjadinya perang Khaibar, juga (melarang memakan) daging keledai-keledai jinak.”
Solusi tetapnya dengan berpuasa
Puasa menjadi salah satu dari sekian buktinya, sekaligus ciri mulia yang membedakan dari peradaban lainnya.
Ketika manusia diberi pengetahuan anatomi bahwa sakrotum (dalam buah dzakar) dimaklumi sebagai organ yang bekerja memproduksi sperma, non muslim menyangka cara menghilangkan libido adalah dengan wija’ (meremukkan sakrotum) ataupun khisho’ (kebiri dengan menghilangkannya sama sekali). Hal ini sama saja berarti dengan menganggap bahwa organ tersebut tidak bermanfaat secara positif bagi manusia sama sekali. Padahal tidak ada hasil ciptaan Allah yang tidak berguna. Hanya saja bagaimana, kapan dan pada apa suatu organ difungsikan perlu upaya pengekangan yang terbimbing. Agar ketika berhasil dikekang dari perkara negatif yang merugikan, tetap dapat dimanfaat pada perkara positif yang dianjurkan.
Sementara Allah Yang Maha menciptakan seluruh organ para makhluk sekaligus yang meletakkan asas tujuan penciptaan seluruhnya itu telah memberi solusi dengan tidak menghilangkan.
Karenanyalah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ؛ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai kawula muda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu menanggung berbagai kewajiban pernikahan hendaklah dia menikah. Sedangkan barangsiapa yang tidak mampu hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu (di antara manfaatnya bagaikan) wija’ (membuat testis rusak/tidak berfungsi).” (HR Al Bukhari)
Lalu Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan antara lain,
ﻭﻓﻴﻪ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ اﻟﻤﻄﻠﻮﺏ ﻣﻦ اﻟﺼﻮﻡ ﻓﻲ اﻷﺻﻞ ﻛﺴﺮ اﻟﺸﻬﻮﺓ
Pada bab ini terdapat isyarat bahwa misi yang diharapkan dari puasa secara asal adalah menekan syahwat.”(Fathul Bari, 9/110).
Beliau rahimahullah juga menjelaskan,
وفي الحديث أيضا إرشاد العاجز عن مؤن النكاح إلى الصوم؛ لأن شهوة النكاح تابعة لشهوة الأكل تقوى بقوته وتضعف بضعفه
“Pada hadits ini juga terdapat bimbingan bagi orang yang tidak mampu menanggung konsekwensi pernikahan diarahkan menuju puasa. Karena hasrat bersenggama selaras dengan hasrat makan. Libido itu akan menguat dengan menguatnya hasrat makan tersebut, juga akan berlipat gejolaknya dengan berlipatnya konsumsi makanan.” (Fathul Bari 9/111)
Artikel terkait lainnya: Keutamaan Puasa
Bahkan saat kepasrahan untuk mengebiri diri telah siap dijalani sebagian sahabat yang berhatap bisa maksimal beribadah kepada Allah, puasa menjadi solusi yang diberikan Nabi shallalahu alaihi wasallam.
Dalam hadits shahih disebutkan,
أنَّ عثمانَ بنَ مظعونٍ أرادَ أن يَخْتَصِيَ ويَسيحَ في الأرضِ ، فقال لهُ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : أليسَ لكَ فيَّ أُسوةٌ حسنةٌ؟ فأنا آتِي النساءَ، وآكلُ اللحمَ، وأصومُ وأُفطرُ، إنَّ خِصَاءَ أمتي الصيامُ ، وليسَ من أمتي من خَصَى، أو اخْتَصَى
“Bahwa Utsman bin Madz’un radhiyallahu anhu pernah terbersit keinginan untuk mengebiri diri dan bebas berkelana menjelajah bumi (tanpa khawatir fitnah wanita-pen). Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada beliau radhiyallahu anhu: “Tidakkah diriku menjadi teladan yang baik bagi dirimu? Padahal aku berhubungan dengan istri-istriku, aku juga mengkonsumsi daging, akupun terkadang berpuasa, kadang berbuka. Sesungguhnya cara mengebiri pada umatku dengan berpuasa. Juga tidak boleh ada yang dikebiri ataupun mengebiri pada umatku.” (As Silsilah Ash-Shahihah 4/445)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah kemudian di antaranya beliau menjelaskan,
ﻭﻓﻲ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﺗﻮﺟﻴﻪ ﻧﺒﻮﻱ ﻛﺮﻳﻢ ﻟﻤﻌﺎﻟﺠﺔ اﻟﺸﺒﻖ ﻭﻋﺮاﻣﺔ اﻟﺸﻬﻮﺓ ﻓﻲ اﻟﺸﺒﺎﺏ اﻟﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﺠﺪﻭﻥ ﺯﻭاﺟﺎ، ﺃﻻ ﻭﻫﻮ اﻟﺼﻴﺎﻡ
“Pada hadits ini terdapat wejangan nabawi yang mulia dalam upaya terapi gejolak libido dan gejolak syahwat bagi para pemuda yang tidak memiliki istri, yaitu dengan cara berpuasa.” (Silsilah Al Ahadits Ash-Shahihah 4/446)
Imam Asy-Syathibi rahimahullah memberi keterangan,
ﻭﻓﻲ اﻟﺼﺤﻴﺢ: ﺭﺩ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ اﻟﺘﺒﺘﻞ ﻋﻠﻰ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻣﻈﻌﻮﻥ، ﻭﻟﻮ ﺃﺫﻥ ﻟﻪ ﻻﺧﺘﺼﻴﻨﺎ ﻭﻫﺬا ﻛﻠﻪ ﻭاﺿﺢ ﻓﻲ ﺃﻥ ﺟﻤﻴﻊ ﻫﺬﻩ اﻷﺷﻴﺎء ﺗﺤﺮﻳﻢ ﻟﻤﺎ ﻫﻮ ﺣﻼﻝ ﻓﻲ اﻟﺸﺮﻉ، ﻭﺇﻫﻤﺎﻝ ﻟﻤﺎ ﻗﺼﺪ اﻟﺸﺎﺭﻉ ﺇﻋﻤﺎﻟﻪ ـ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﺼﺪ ﺳﻠﻮﻙ ﻃﺮﻳﻖ اﻵﺧﺮﺓ ؛ ﻷﻧﻪ ﻧﻮﻉ ﻣﻦ اﻟﺮﻫﺒﺎﻧﻴﺔ، ﻭﻻ ﺭﻫﺒﺎﻧﻴﺔ ﻓﻲ اﻹﺳﻼﻡ
Dan pada kitab shahih (Al Bukhari & Muslim, dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqosh radhiyallahu anhu-pen) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang Utsman bin Madz’un untuk hidup membujang, padahal jika ternyata diberi ijin, niscaya kami (menurut para sahabat) akan ikut mengebiri diri.
Semua ini begitu jelas menunjukkan bahwa seluruh sikap-sikap tersebut mengharamkan hal-hal yang justru dihalalkan dalam ketentuan syariat, sekaligus mengabaikan perkara yang diharapkan penerapannya oleh Sang Pembuat syariat ini. Sekalipun hal tersebut diniatkan dalam rangka menempuh jalan menuju (kebaikan) akhirat. Karena sikap tersebut termasuk bagian dari konsep kependetaan, sementara tidak ada konsep kependetaan dalam Islam.” (Al I’tishom 2/212)
Penutup
Alhamdulillah, berati kita berkesempatan menjalankan suatu jenis ibadah yang terkumpul padanya sekian banyak manfaat dunia dan akhirat. Termasuk sebagai bentuk baro-ah (antipati) kita terhadap sekian banyak ciri dan kebiasaan tercela umat ahli kitab dan non muslim secara umum. Tampaknya inilah bagian bimbingan ‘al furqon’ yang menjadi pembeda antara konsep petunjuk dan kebatilan, yang Al Quran sebagai Al Furqon diturunkan di bulan Ramadhan. Jelas tak berlebihan apabila kapasitas untuk mengekang nafsu agar taat kepada Sang Pencipta semata diiringi upaya serius menyelisihi musuh-musuh-Nya merupakan wujud keimanan yang semestinya.
Pada bulan Ramadhan, muslimin berkesempatan memperoleh ampunan dengan mewujudkan iman dan harapan kuat balasan baik hanya kepada Allah semata. Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman yang benar dan berharap mendapat balasan kebaikan dari Allah pasti akan diampuni dosanya yang telah lalu. Demikian makna hadits shahih yang selalu menjadi pelecut jiwa yang bertakwa di bulan penuh barokah ini.
Mari ajarkan dan budayakan ibadah puasa kepada anak-anak dan remaja kita. Semoga Allah memberi kita semua taufiq-Nya untuk bisa meraih kebaikan dan keberkahan itu semuanya. Semoga Allah Yang Maha Perkasa menjauhkan kita dari berbagai kerusakan moral dan penyakit sosial di tengah muslimin.
Penulis: Abu Abdirrahman Sofian