Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Dalam Kitabun Nikah Min Bulughil Maram Karya Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany rahimahullah pada Hadits no. 967 disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Abdullah bin Mas’ud -semoga Allah meridainya- Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada kami: Wahai sekalian para pemuda, barang siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan, hendaknya menikah. Karena itu lebih mampu menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, hendaknya berpuasa. Karena puasa itu meredakan nafsu syahwat.
(Muttafaqun alaih)

Penjelasan:

Anjuran dalam hadits ini adalah untuk para pemuda karena kebanyakan dorongan untuk menikah ada pada para pemuda. Namun, apabila hal itu juga terjadi pada orang yang sudah tua, anjuran itu juga berlaku untuk mereka (disarikan dari Ihkaamul Ahkaam karya Ibnu Daqiiqil ‘Ied (1/390)).

Hadits ini adalah anjuran Nabi shollallahu alaihi wasallam untuk menikah bagi laki-laki yang sudah memiliki kemampuan. Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa menikah itu menyempurnakan separuh Dien.

إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدْ كَمُلَ نِصْفُ الدِّينِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي

Jika seorang hamba menikah, sungguh ia telah menyempurnakan separuh agama. Hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada separuh yang tersisa (H.R al-Baihaqiy dan atThobaroniy, dihasankan oleh Syaikh al-Albaniy)


Baca Juga: Mengarahkan Naluri Insani Pada Bimbingan Ilahi


Pernikahan yang secara asal dianjurkan menjadi wajib hukumnya bagi seorang laki-laki yang sudah mampu menikah dan mengkhawatirkan dirinya terjatuh ke dalam perbuatan zina (disarikan dari Fathu Dzil Jalaali wal Ikram (4/422)).

Apabila seorang pemuda belum mampu menikah, Nabi menganjurkan untuk berpuasa sebagaimana disebutkan dalam hadits ini. Dalam hadits yang lain pernah datang seorang laki-laki yang meminta izin kepada Nabi untuk mengebiri dirinya sendiri. Namun Nabi shollallahu alaihi wasallam mengarahkan dia untuk berpuasa dan beliau bersabda:

خِصَاءُ أُمَّتِي الصِّيَامُ

Pengebirian (yang diperbolehkan pada) umatku adalah puasa (H.R Ahmad dan atThobaroniy, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah al-Ahaadits as-Shahihah)

Artinya, fungsi pengebirian untuk meredakan syahwat bisa didapatkan dengan berpuasa secara benar. Sedangkan pengebirian secara fisik pada manusia adalah terlarang meskipun alasannya adalah agar lebih fokus dalam beribadah.


Baca Juga: Pornografi Merusak Generasi


Hadits ini juga menunjukkan haramnya perbuatan onani atau masturbasi karena Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak mengarahkan pada perbuatan itu bagi orang yang tidak mampu menikah, namun justru mengarahkan pada puasa. Padahal perbuatan onani itu lebih mudah dilakukan dibandingkan berpuasa (penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram (4/424)).

Selain itu, dalam al-Quran disebutkan bahwa seseorang beriman hanyalah diperbolehkan melampiaskan nafsu syahwatnya dalam tuntunan syariat kepada istri atau hamba sahaya saja. Tidaklah memuaskan nafsunya dengan diri sendiri.

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap para istri atau hamba sahaya mereka, sesungguhnya dalam hal itu mereka tidak tercela. Barang siapa yang menginginkan selain dari itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas (Q.S al-Mu’minuun ayat 5-7)

Hanya saja di masa kini, di Indonesia ataupun di Asia Tenggara dan kebanyakan negara di dunia sudah tidak ada lagi orang yang berstatus sebagai hamba sahaya. Namun pembahasan tentang perbudakan dan hamba sahaya masih tetap tertulis dalam kitab-kitab fiqh dan akan tetap diperlukan karena bisa jadi di masa yang akan datang akan terjadi lagi perbudakan apabila jihad yang syar’i kembali bisa terlaksana.

Wallaahu A’lam

 

Penulis:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan