Untuk Para Ayah yang Akan Menikahkan Putrinya
Putri kita dilamar seseorang. Memang sudah waktunya ia menikah. Tentu kita tidak boleh gegabah dalam menerima atau menolak pinangan itu.
Nabi shollallahu alaihi wasallam memberikan patokan utama untuk menerima pinangan seorang laki-laki adalah kebaikan agama dan akhlaknya.
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ
Jika ada seorang yang mengajukan lamaran kepada kalian (untuk wanita yang di bawah perwalian kalian), yang orang itu kalian ridhai agama dan akhlaknya, nikahkanlah dia… (H.R atTirmidzi, dihasankan Syaikh al-Albaniy)
Baik agamanya, artinya berkomitmen kuat untuk menjalankan ajaran-ajaran agama Islam. Apa yang dia ketahui sebagai perintah, ia berusaha menjalankannya. Apa yang dia ketahui sebagai larangan, ia berusaha meninggalkannya. Ia pun bersemangat untuk terus mempelajari ajaran Islam.
Ia pun baik akhlaknya. Menjaga tutur kata dan sikapnya sehingga tidak menyakiti muslim lainnya. Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Tidak suka berbuat zhalim kepada siapapun. Mudah menerima nasihat dan diarahkan pada kebaikan.
Memang tidak mungkin kita mendapat yang sempurna. Namun, setidaknya sisi kebaikannya masih lebih dominan.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika seseorang menunda menikahkan putrinya karena belum ada seorang yang dia ridhai agama dan akhlaknya, sesungguhnya (wali tersebut) tidaklah berdosa. Karena penundaan ini untuk kemaslahatan wanita itu. Karena sesungguhnya orang yang tidak diridhai agama dan akhlaknya akan menjadi bencana bagi sang istri di masa yang akan datang. Bisa jadi ia akan menghalangi sang istri dari (menjalankan) agamanya, atau akan bersikap terhadap istri dengan sikap yang buruk…”. (al-Liqaausy Syahri (1/475))
Mengapa kita harus begitu cermat dalam mempersiapkan calon suami bagi putri kita? Karena nantinya hak suami masih lebih besar dibandingkan hak orangtua. Demikian pendapat yang dipilih oleh al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad, dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah.
Nabi shollallahu alaihi wasallam mengibaratkan para istri adalah bagaikan tawanan bagi suaminya:
فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ
Sesungguhnya mereka (para istri) adalah tawanan kalian (H.R Ibnu Majah, dihasankan Syaikh al-Albaniy)
Artinya, kita harus selektif untuk memilih, kepada siapakah putri kita nantinya ‘ditawan’.
Sebagai seorang muslim yang cinta kepada saudaranya, kita juga jangan menutup informasi tentang putri kita, termasuk dalam hal-hal yang sangat perlu diketahui oleh calon suaminya. Jangan sampai sang calon suami hanya mendapat penilaian yang baik-baik saja tentang calon istrinya. Tentunya juga harus bersikap bijak dalam hal itu.
Baca Juga: Ringkasan Akad Nikah yang Syar’i
Meskipun nantinya hak suami lebih besar dibandingkan orangtua, namun sang ayah atau wali, maupun calon istri, memiliki hak untuk mempersyaratkan hal-hal tertentu yang harus dipatuhi oleh sang suami nantinya. Hal itu bisa disampaikan sebelum akad nikah. Baik secara lisan dengan adanya saksi jika diperlukan, ataukah secara tertulis. Ayah atau wali punya hak untuk mengadakan perjanjian pra nikah. Tentunya, poin-poin isi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan syariat Allah. Tidak boleh bertentangan pula dengan tujuan pernikahan.
Contoh poin perjanjian yang tidak sah adalah: tidak boleh berduaan dengan istri, atau tidak boleh memiliki anak dari istri tersebut. Atau, mempersyaratkan agar sang laki-laki itu menceraikan istri sebelumnya. Ini contoh poin persyaratan yang tidak sah.
Sedangkan contoh poin perjanjian yang sah, di antaranya adalah: tidak boleh memindahkan sang istri dari kota tempatnya saat ini berdomisili. Syarat yang sah pula adalah: apabila orangtua sakit di rumah sakit, sang suami harus mengizinkan sang istri untuk merawat orangtuanya setidaknya selama beberapa hari tertentu. Atau sang calon istri mempersyaratkan bahwa ia ingin berada di rumah yang terpisah baik dengan orangtuanya sendiri maupun mertuanya. Ini termasuk contoh persyaratan yang sah.
Persyaratan-persyaratan yang sah itu haruslah dipenuhi. Bahkan termasuk persyaratan yang paling layak untuk dipenuhi. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam:
أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
Persyaratan-persyaratan yang paling layak untuk dipenuhi adalah yang dengannya dihalalkan farji (melalui pernikahan, pent) (H.R al-Bukhari)
Baca Juga: Walimah yang Mudah nan Diharapkan Berkah
Karena itu dalam penentuan poin-poin itu sebelum akad nikah ada diskusi dan tawar menawar. Kedua pihak punya pilihan untuk lanjut atau tidak lanjut. Mereka tidak ada yang dipaksa harus lanjut. Masih ada pilihan untuk tidak lanjut. Kalau mau berlanjut, berarti ada komitmen yang harus dijalankan. Perjanjian atau persyaratan-persyaratan tersebut bisa diajukan pada saat akad atau sebelum akad.
Apabila ternyata dalam pelaksanaannya sang suami melanggar komitmen pada poin-poin perjanjian atau persyaratan itu, sang istri berhak untuk membatalkan pernikahan (faskh).
Semoga Allah Ta’ala memberkahi dan menolong upaya baik kaum muslimin yang ingin menikah sesuai dengan tuntunan syariat.
Wallaahu A’lam
Ditulis oleh: Abu Utsman Kharisman