Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Ragam kondisi acap kali menuntut ragam ketentuan. Batas waktu berkunjung bisa berbeda satu tempat dengan tempat lainnya. Batas masa tunggu juga disesuaikan kebutuhan. Begitu pula dalam waktu-waktu yang berkaitan dengan ibadah. Berbeda dengan adat, penentuannya perlu mempelajari aspek-aspek yang diajarkan dalam agama kita. Jeda waktu tunggu antara kumandang adzan dan iqomat untuk sholat berjemaah masuk juga dalam hal ini.

Karena kita menjumpai jeda waktu di satu masjid dengan masjid lainnya cukup beragam, bahkan tak jarang perbedaan waktunya cukup lama.

Sebenarnya apakah ada ketentuan tentang hal ini, dan berapa batas waktu jeda antara kumandang adzan dan iqomat? Mari kita pahami bersama pembahasan berikut ini, semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kekuatan pemahaman yang benar dalam urusan agama bagi kita semua.

Disyariatkannya

Dari beberapa kitab fiqh rujukan 4 madzhab fikih terkemuka diperoleh kesimpulan bahwa semua madzhab tersebut menyatakan disyariatkannya jeda waktu pemisah antara adzan dan iqomat.

Ibnu Qudamah rahimahullah bahkan menyebutnya sebagai hal yang disunnahkan,

ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﺃﻥ ﻳﻔﺼﻞ ﺑﻴﻦ اﻷﺫاﻥ ﻭاﻹﻗﺎﻣﺔ

“Dan disunnahkan memberi (jeda) pemisah antara adzan dan iqomat.” (Al Mughni 1/299)

Beliau juga menyimpulkan dari ucapan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,

ﻳﻘﻌﺪ اﻟﺮﺟﻞ ﻣﻘﺪاﺭ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺇﺫا ﺃﺫﻥ اﻟﻤﻐﺮﺏ. ﻗﻴﻞ ﻣﻦ ﺃﻳﻦ؟ ﻗﺎﻝ: ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﻧﺲ ﻭﻏﻴﺮﻩ: ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫا ﺃﺫﻥ اﻟﻤﺆﺫﻥ اﺑﺘﺪﺭﻭا اﻟﺴﻮاﺭﻱ ﻭﺻﻠﻮا ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﻭﻷﻥ اﻷﺫاﻥ ﻣﺸﺮﻉ ﻟﻹﻋﻼﻡ، ﻓﻴﺴﻦ اﻻﻧﺘﻈﺎﺭ ﻟﻴﺪﺭﻙ اﻟﻨﺎﺱ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﻳﺘﻬﻴﺌﻮا ﻟﻬﺎ

“Seseorang boleh duduk (menunggu) sekadar masa menunaikan dua rokaat sholat jika adzan maghrib baru dikumandangkan.” Saat ada yang bertanya; ‘Dari mana (dalilnya)?’ Beliau menjawab rahimahullah: “Dari hadits Anas dan selainnya, bagaimana para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika telah dikumandangkan adzan, mereka bersegera menuju tiang-tiang masjid, lalu melakukan sholat dua rokaat. Juga dikarenakan adzan itu disyariatkan (tujuannya) dalam rangka pemberitahuan. Sehingga disunnahkan masa tunggu. Supaya masyarakat bisa mendapati sholat dan mempersiapakan diri dengan baik untuk hal itu.” (Al Mughni 1/299)


Artikel yang semoga bermanfaat pula: Jarak Waktu Antara Adzan dan Iqomat


Beberapa amalan yang dianjurkan pada waktu tersebut

1. Sholat sunnah

Berdasarkan keumuman hadits Abdullah bin Mughoffal radhiyallahu anhu dia berkata, telah bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، لِمَنْ شَاءَ

“Pada setiap waktu antara dua adzan ada kesempatan sholat. Pada setiap waktu antara dua adzan ada kesempatan sholat, bagi siapa yang hendak melakukannya.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasai dengan sanad yang shahih)

Demikian juga nukilan kesepakatan ulama oleh Ibnu Baththol yang dikutip dalam Fathul Bari,

ولم يختلف العلماء في التطوع بين الأذان والإقامة إلا في المغرب

“Para ulama tidak berbeda pendapat tentang (disyariatkannya) sholat sunnah antara waktu adzan dan iqomat, kecuali di waktu maghrib.”

Ada perbedaan terkait sholat setelah adzan maghrib, karena waktunya yang relatif sempit dibandingkan sholat fardhu yang lain. Namun An Nawawi rahimahullah menepisnya, beliau menjelaskan,

قول من قال إن فعلهما يؤدي إلى تأخير المغرب عن أول وقتها خيال فاسد منابذ للسنة، ومع ذلك فزمنهما زمن يسير لا تتأخر به الصلاة عن أول وقتها

“Ucapan kalangan yang berpendapat bahwa melakukannya (sholat sunnah sebelum sholat maghrib) akan membawa dampak diakhirkannya pelaksanaan sholat maghrib dari awal waktunya adalah khayalan yang rusak dan bertentangan dengan sunnah Nabi. Bersamaan dengan itu, sebenarnya masa penunaiannya hanya perlu waktu sebentar. Tidak sampai menyebabkan sholat diundur dari awal waktunya.”

Hal ini menguatkan pernyataan Imam At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits Abdullah bin Al Mughoffal radhiyallahu anhu, beliau menyimpulkan,

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ

“Sungguh telah diriwayatkan tidak hanya dari satu orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa mereka biasa menunaikan shalat sebelum sholat maghrib sebanyak dua rokaat pada waktu antara adzan dan iqomat.”

Adapun atsar, telah driwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu,

كُنَّا بِالْمَدِينَةِ، فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ لِصَلَاةِ الْمَغْرِبِ ابْتَدَرُوا السَّوَارِيَ، فَيَرْكَعُونَ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ الْغَرِيبَ لَيَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَيَحْسِبُ أَنَّ الصَّلَاةَ قَدْ صُلِّيَتْ مِنْ كَثْرَةِ مَنْ يُصَلِّيهِمَا

“Dulu saat kami di Madinah, jika muadzdzin telah mengumandangkan adzan untuk melaksanakan sholat maghrib, para sahabatpun berbondong-bondong menuju tiang-tiang masjid (menjadikannya sebagai sutroh-pen). Kemudian masing-masing mereka sholat dua rokaat. Sampai-sampai orang asing yang baru tiba (di masjid) akan mengira bahwa shalat (fardhu) telah usai ditunaikan, karena begitu banyaknya (sahabat) yang melakukan sholat (menunggu iqomat-pen).” (HR Muslim)

Seorang Tabi’i dari Kufah, Al Mukhtar bin Fulful rahimahullah pernah bertanya kepada Anas radhiyallahu anhu, Apakah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat kalian seperti itu? Maka Anas radhiyallahu anhu menjawab:

نَعَمْ، رَآنَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا

“Ya, beliau melihat kami. Dan beliau tidak memerintahkan juga tidak melarang kami.” (HR Abu Dawud dengan sanad yang shahih).

Sedangkan sebenarnya telah ada anjuran hal itu langsung dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dari Abdullah bin Al Muzani radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda,

صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ. قَالَ فِي الثَّالِثَةِ : لِمَنْ شَاءَ

“Silakan kalian sholat sebelum sholat maghrib!” Lalu beliau menyatakan pada kali yang ketiga: “Bagi yang ingin melakukannya.” (HR Al Bukhori dan Abu Dawud)

2. Duduk untuk berdoa, berdzikir atau membaca Al Quran

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda,

لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ

“Suatu doa tidak akan ditolak ketika dipanjatkan pada waktu antara adzan dan iqomat.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasai dengan sanad shahih).

Kesempatan yang sangat berharga untuk berdoa ini tidak akan bisa diperoleh jika tidak ada jeda waktu yang mencukupi antara adzan dan iqomat.

Jika berdoa disyariatkan, maka amalan kalbu dan lisan yang sejenis juga perlu dilakukan. Dzikir misalnya, telah ada beberapa dalil yang menunjukkan dzikir khusus selain dzikir umum yang boleh dibaca lirih.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda, “Barang siapa yang (usai) mendengar muadzdzin, dia membaca:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا

Aku bersaksi bahwa tidak ada berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus Rasul-Nya. Aku ridha Allah sebagai Tuhan, dan Muhammad sebagai Rasul, serta Islam sebagai Agama.

(Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda): “Diampuni dosanya.” (HR Muslim)

Seorang hamba hendaklah memperhatikan jenis ibadah apakah yang lebih dia perlukan di saat itu. Al ‘Allamah Ibnul Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah menyatakan,

ﻭﻫﻜﺬا اﻷﺫﻛﺎﺭ اﻟﻤﻔﻴﺪﺓ ﺑﻤﺤﺎﻝ ﻣﺨﺼﻮﺻﺔ ﺃﻓﻀﻞ ﻣﻦ اﻟﻘﺮاءﺓ اﻟﻤﻄﻠﻘﺔ، ﻭاﻟﻘﺮاءﺓ اﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﺃﻓﻀﻞ ﻣﻦ اﻷﺫﻛﺎﺭ اﻟﻤﻄﻠﻘﺔ، اﻟﻠﻬﻢ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﺽ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﻣﺎ ﻳﺠﻌﻞ اﻟﺬﻛﺮ ﺃﻭ اﻟﺪﻋﺎء ﺃﻧﻔﻊ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻗﺮاءﺓ اﻟﻘﺮﺁﻥ

“Dan demikianlah (terkadang) berbagai jenis dzikir yang bermanfaat pada posisi tertentu lebih utama dari pada membaca Al Quran secara mutlak (yaitu kegiatan membaca mushaf sendirinya, bukan bagian dari dzikir atau doa-pen). Sedangkan membaca Al Quran secara mutlak, lebih utama dari dzikir-dzikir yang dibaca mutlak (yang dibaca tersendiri, bukan ikut bagian dari bacaan Al Quran atau doa -pen). Allahumma, kecuali tampak jelas bagi seorang hamba, kondisi yang menuntut membaca dzikir atau doa lebih bermanfaat baginya dibandingkan membaca Al Quran.” (Al Wabil Ash-Shoyyib hal. 91)

Amalan-amalan ini tentunya diucapkan dengan suara lirih, tanpa saling mengganggu sesama muslim.

Sementara membaca dzikir dan puji-pujian kepada Allah atau mengkhususkan sholawat dengan suara keras apalagi sampai dengan menggunakan pengeras suara, cara semacam itu tidak diperoleh bimbingan secara khusus dalam ajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pula bimbingan ulama salaf yang jelas dan gamblang. Justru mengeraskannya akan mengganggu sesama muslim dan melanggar hadits terkait hal itu. Terlebih ketika pemerintah melalui Menteri Agama telah aturan ketentuan batas penggunaan pengeras suara, seperti di negeri kita maupun Saudi Arabia. Wallahu a’lam


Artikel yang semoga bermanfaat pula: Bersholawat Untuk Nabi Setelah Mendengar Adzan


3. Memberi kesempatan jemaah berjalan menuju sholat dengan tenang sehingga memperoleh keutamaannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ نَفْسٍ كُتِبَ عَلَيْهَا الصَّدَقَةُ كُلَّ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ، فَمِنْ ذَلِكَ : أَنْ يَعْدِلَ بَيْنَ الِاثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَأَنْ يُعِينَ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ فَيَحْمِلَهُ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ، وَيَرْفَعَ مَتَاعَهُ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ، وَيُمِيطُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ خُطْوَةٍ يَمْشِي إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ

“Setiap jiwa tercatat baginya (keutamaan) sedekah pada setiap hari selama matahari terbit. Keutamaan itu mencakup, berbuat adil dalam menengahi perselisihan antar dua pihak tercatat sedekah. Sikap membantu orang lain naik ke atas tunggangannya sehingga kendaraannya bisa membawanya termasuk sedekah. Upaya mengangkatkan barang orang lain ke atas kendaraannya termasuk sedekah. Menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk sedekah. Begitu juga setiap langkah menuju sholat (di masjid) ternilai sedekah.” (HR Ahmad dengan sanad yang shahih)

Idealnya memang jemaah yang terjauhpun dapat mendatangi sholat berjemaah sambil berjalan tenang tidak tergesa, karena demikianlah sunnah ajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Dari Abu Qotadah radhiyallahu anhu beliau berkata: “Ketika kami tengah sholat bersama Nabi shallalahu alaihi wasallam, tiba-tiba terdengar jelas suara pergerakan langkah kaki. Setelah sholat usai dikerjakan, Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya,

مَا شَأْنُكُمْ؟

“Apa yang terjadi pada kalian tadi?”

Para sahabatpun menjawab, “(Ada diantara) kami tergesa-gesa berjalan menuju sholat.”

Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan nasehat,

فَلَا تَفْعَلُوا؛ إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

“Tidak perlu kalian melakukannya! Apabila kalian mendatangi sholat, hendaklah kalian (berjalan) dengan tenang. Lalu bagaimanapun kondisi yang kalian dapati ikutlah sholat (mengikuti imam). Sedangkan bagian yang terlewat, sempurnakanlah sendiri.” (HR Al Bukhori dan Muslim)

Namun tentu hal ideal tersebut juga perlu mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi masyarakat lain di sekitarnya. Termasuk ketika sudah banyak jemaah yang telah berkumpul di masjid, dan di antara mereka ada orang-orang yang tetap tinggal menunggu sholat berikutnya di masjid itu.

Dari Abu Musa radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda,

أَعْظَمُ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ فَأَبْعَدُهُمْ مَمْشًى، وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ، حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي يُصَلِّي ثُمَّ يَنَامُ

“Orang yang paling besar pahalanya dalam sholatnya, adalah yang paling jauh (tempat tinggalnya) di antara mereka. Merekalah yang paling banyak langkah kakinya. Sementara orang yang (tetap di masjid) menunggu sholat sehingga dia bisa (kembali) sholat bersama imam lebih besar pahalanya daripada yang sholat kemudian tidur.” (HR Al Bukhori dan Muslim)

Aspek-aspek tersebut (di samping juga hal lain dalam meraih kemaslahatan dan menghindari mudhorot lainnya) perlu menjadi bahan pertimbangan imam dan petugas iqomat untuk menentukan jeda waktu yang pas di masjid mereka.


Artikel yang semoga bermanfaat pula: Saat-Saat dan Kondisi Mustajabah Doa


Batasan waktunya

Sebenarnya teriwayatkan hadits yang jelas (shorih) tentang anjuran memberi jeda waktu antara adzan dan iqomat, seperti hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan Imam At Tirmidzi dalam Sunannya,

يَا بِلَالُ، إِذَا أَذَّنْتَ فَتَرَسَّلْ فِي أَذَانِكَ، وَإِذَا أَقَمْتَ فَاحْدُرْ، وَاجْعَلْ بَيْنَ أَذَانِكَ وَإِقَامَتِكَ قَدْرَ مَا يَفْرُغُ الْآكِلُ مِنْ أَكْلِهِ، وَالشَّارِبُ مِنْ شُرْبِهِ، وَالْمُعْتَصِرُ إِذَا دَخَلَ لِقَضَاءِ حَاجَتِهِ، وَلَا تَقُومُوا حَتَّى تَرَوْنِي

“Wahai Bilal, apabila engkau mengumandangkan adzan, berilah jeda antar kalimatnya dalam adzanmu. Adapun jika engkau mengumandangkan iqomat, sambunglah antar kalimatnya. Dan jadikanlah jeda waktu antara adzan dan iqomatmu takaran waktu seorang yang tengah makan dapat menghabiskan makanannya, begitu pula yang tengah minum bisa menghabiskan minumannya, serta orang yang sedang menunaikan hajatnya telah menyelesaikannya ketika dia sudah masuk ke toilet. Jangan pula engkau bergegas mengumandangkan iqomat sampai engkau melihat diriku (sebagai imam telah tiba).”

Hanya saja derajat hadits ini walaupun memiliki sekian penguat dari riwayat Abu Hurairah, Salman maupun Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhum jami’an berdasarkan penelitian ulama tetaplah dinyatakan sebagai hadits yang lemah (antara lain dilemahkan Al Hafidz dalam Fathul Bari).

Terkhusus waktu subuh, sebenarnya terdapat dalil yang tersirat yang bisa kita ambil sebagian kesimpulannya dari hadits Qotadah rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu,

تَسَحَّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، ثُمَّ قَامَا فَدَخَلَا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ. فَقُلْنَا لِأَنَسٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ : قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الْإِنْسَانُ خَمْسِينَ آيَةً

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam makan sahur bersama Zaid bin Tsabit. Kemudian kedua beliau bangkit untuk mengikuti sholat subuh.” (Qotadah berkata): ‘Kami bertanya kepada Anas, berapa lama jarak watu antara selesainya beliau berdua dengan bergabungnya beliau berdua dalam sholat tersebut?’ (Anas) menjawab: “Sekitar lamanya waktu seseorang membaca 50 ayat (Al Quran).” (HR An Nasai dan asalnya dalam Shahih Al Bukhori)

Adapun keumuman waktu-waktu sholat fardhu lainnya, belum diperoleh dalil tegas tentang takaran jeda waktunya. Imam Malik bin Anas rahimahullah menegaskan tidak adanya batasan tertentu,

ﻟﻢ ﻳﺒﻠﻐﻨﻲ ﻓﻲ اﻟﻨﺪاء ﻭاﻹﻗﺎﻣﺔ ﺇﻻ ﻣﺎ ﺃﺩﺭﻛﺖ اﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻴﻪ. ﻓﺄﻣﺎ اﻹﻗﺎﻣﺔ، ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻻ ﺗﺜﻨﻰ. ﻭﺫﻟﻚ اﻟﺬﻱ ﻟﻢ ﻳﺰﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺒﻠﺪﻧﺎ. ﻭﺃﻣﺎ ﻗﻴﺎﻡ اﻟﻨﺎﺱ، ﺣﻴﻦ ﺗﻘﺎﻡ اﻟﺼﻼﺓ، ﻓﺈﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﺳﻤﻊ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺑﺤﺪ ﻳﻘﺎﻡ ﻟﻪ. ﺇﻻ ﺃﻧﻲ ﺃﺭﻯ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﻃﺎﻗﺔ اﻟﻨﺎﺱ. ﻓﺈﻥ ﻣﻨﻬﻢ اﻟﺜﻘﻴﻞ ﻭاﻟﺨﻔﻴﻒ. ﻭﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻌﻮﻥ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻧﻮا ﻛﺮﺟﻞ ﻭاﺣﺪ

“Belum pernah ada yang menyampaikan kepadaku terkait adzan dan iqomat, kecuali kebiasaan yang aku dapati dari masyarakat (negeri Madinah) tentang hal itu. Adapun iqomat, lafadznya tidak digandakan. Demikianlah yang selalu diterapkan oleh ulama di negeri kami. Sedangkan terkait (kapan) bangkitnya jemaah saat dikumandangkan iqomat menjelang sholat, sesungguhnya aku belum pernah mendengar tentang hal itu adanya batasan waktu tertentu. Hanya saja aku memandang hal itu tergantung kemampuan masyarakat. Karena di antara mereka terdapat orang yang memiliki tanggungan dan ada pula yang banyak kesempatannya. Tentu saja mereka tidak bisa diposisikan seperti keadaan satu orang saja.” (Al Muwath-tho’ 2/96)

Sama pula kesimpulan Ibnu Baththal yang dinukil dalam Fathul Bari,

لا حد لذلك غير تمكن دخول الوقت واجتماع المصلين

“Tidak ada batasan dalam hal itu, selain memperhatikan masuknya waktu dan berkumpulnya jemaah sholat.”

Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyebutkan,

ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﺃﻥ ﻳﻔﺼﻞ ﺑﻴﻦ اﻷﺫاﻥ ﻭاﻹﻗﺎﻣﺔ، ﺑﻘﺪﺭ اﻟﻮﺿﻮء ﻭﺻﻼﺓ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ، ﻳﺘﻬﻴﺌﻮﻥ ﻓﻴﻬﺎ

“Juga disunnahkan memisahkan antara waktu adzan dan iqomat dengan takaran waktu sekadar (cukup untuk) melakukan wudhu’ lalu sholat dua rokaat, mempersiapkan diri untuk menegakkannya.” (Al Mughni 1/299)

Begitu pula penegasan Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah,

ﻭﻟﻬﺬا ﻗﺎﻝ اﻟﻌﻠﻤﺎء: ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻓﻲ ﻫﺬا ﺃﻥ ﻳﻔﺴﺮ اﻟﺘﻌﺠﻴﻞ ﺑﻤﻘﺪاﺭ ﺣﺎﺟﺘﻪ، ﻣﻦ ﻭﺿﻮء، ﻭﺻﻼﺓ ﻧﺎﻓﻠﺔ ﺧﻔﻴﻔﺔ ﺃﻭ ﺭاﺗﺒﺔ

“Karena hal ini, para ulama berkata: Sepantasnya dalam masalah ini, menafsirkan kata ‘menyegerakan’ (التعجيل) sekadar kebutuhannya, berupa (kegiatan) berwudhu’, (mengerjakan) sholat sunnah yang tambahan (nafilah) ataupun yang mengikuti fardhu (rotibah) secara ringkas.” (Syarh Al Mumti’ 2/78)

Demikianlah pembahasan seputar jeda waktu antara adzan dan iqomat, semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat dan menjadi pertimbangan arif bagi pengelola masjid menentukan yang terbaik bagi jemaah masjid dan muslimin di sekitarnya.

والله أعلم بالصواب

Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan