Bolehnya Mencium Istri Saat Berpuasa Bagi yang Mampu Menjaga Syahwatnya
KAJIAN KITABUS SHIYAAM MIN BULUGHIL MARAM (Bag ke-11)
Hadits no 664
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ. وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: فِي رَمَضَانَ
Dan dari Aisyah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mencium (istri beliau) pada saat beliau berpuasa. Beliau juga bersentuhan kulit (dengan istri beliau) pada saat berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling bisa menahan syahwatnya. (Hadits muttafaqun alaih. Lafadz sesuai riwayat Muslim. )
Ada tambahan dalam sebagian riwayat: di (bulan) Ramadhan.
Penjelasan:
Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang suami mencium istrinya saat berpuasa jika ia menduga kuat mampu menahan nafsunya sehingga tidak sampai terjadi persetubuhan atau menyebabkan keluarnya mani. Apabila ia merasa tidak mampu, maka semestinya hal itu dihindari saat berpuasa.
Dalam sebagian hadits, Nabi shollallahu alaihi wasallam melarang seorang pemuda untuk melakukan ciuman atau persentuhan kulit -yang bukan jimak- dengan istrinya saat berpuasa. Namun beliau membolehkan hal itu bagi seorang yang sudah lanjut usia:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ
Dari Abu Hurairah bahwasanya seseorang bertanya kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam tentang bersentuhan kulit dengan istri (selain persetubuhan, pent) bagi orang berpuasa. Nabi memberikan keringanan kepadanya. Kemudian datang orang lain bertanya kepada beliau (hal yang sama) tapi Nabi melarang. Ternyata yang diberi keringanan adalah orang yang sudah lanjut usia dan yang dilarang adalah pemuda. (H.R Abu Dawud, dinyatakan sanadnya hasan shahih oleh Syaikh al-Albaniy dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Dalam riwayat lain dari hadits Abdullah bin ‘Amr disebutkan:
إِنَّ الشَّيْخَ يَمْلِكُ نَفْسَهُ
Sesungguhnya orang yang sudah tua (kebanyakan) lebih bisa menahan dirinya. (H.R Ahmad)
Itu adalah kondisi kebanyakan. Mayoritas orang yang sudah lanjut usia lebih bisa menahan hawa nafsunya dibandingkan para pemuda.
___________________________
kajian puasa sebelumnya:
Apabila seorang menduga kuat bahwa ia aman untuk mencium atau bersentuhan kulit dengan istrinya, hal itu tidak mengapa. Baik kondisi dia masih muda atau sudah tua. Sebaliknya, meskipun ia sudah tua namun tidak merasa aman dari hal itu, semestinya dihindari. Ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah.
Salah satu dalil al-Imam asy-Syafi’i adalah hadits Umar bin Abi Salamah. Umar bin Abi Salamah yang saat itu masih muda pernah bertanya kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam tentang hukum mencium (pasangan) bagi orang yang berpuasa. Nabi shollallahu alaihi wasallam menyuruh bertanya kepada Ummu Salamah –ibu kandung Umar bin Salamah– dan Ummu Salamah menyampaikan bahwa Nabi pernah melakukan hal itu.
عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِى سَلَمَةَ أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَيُقَبِّلُ الصَّائِمُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَلْ هَذِهِ. لأُمِّ سَلَمَةَ. فَأَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصْنَعُ ذَلِكَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَتْقَاكُمْ لِلَّهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ
Dari Umar bin Abi Salamah bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam: Apakah orang yang berpuasa boleh mencium (istrinya)? Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tanyalah pada (wanita) ini. (Nabi mengisyaratkan kepada) Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah pun mengkhabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melakukan hal itu. Maka orang itu berkata: Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni dosa anda yang telah terjadi maupun yang akan datang. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Demi Allah, sesungguhnya aku adalah yang paling bertakwa dan takut kepada Allah (H.R Muslim)
(Faidah penjelasan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/151))
Sebab pertanyaan Umar bin Abi Salamah itu adalah karena ia menyangka bahwa kebolehan mencium itu hanyalah khusus untuk Nabi shollallahu alaihi wasallam saja. Maka Nabi pun mengingkari persangkaan Umar bin Abi Salamah tersebut. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi marah dengan ucapan itu.
(Disarikan dari al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj karya anNawawiy (7/219))
Apabila seseorang mencium istrinya atau bermesraan/ bercumbu meski tidak sampai terjadi persetubuhan kemudian keluar mani, hal itu membatalkan puasanya. Ibnu Qudamah rahimahullah tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat Ulama dalam hal itu (al-Mughni (6/81)).
Bagi orang yang sedang berpuasa juga dilarang untuk berbincang atau berbicara hal-hal yang mesum atau kotor. Baik saat berbincang dengan istrinya sendiri atau orang lain. Sebagaimana sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam:
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ
Jika kalian berada dalam kondisi berpuasa, janganlah rofats (berbicara atau berbuat hal yang kotor atau mesum). (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
(Faidah penjelasan as-Suyuthiy dalam Hasyiyah Sunan anNasaai (3/380))
Oleh: Abu Utsman Kharisman