Fiqh Hukum Penggunaan Bejana
Pembahasan ini akan menjelaskan tentang hukum-hukum terkait penggunaan bejana. Bejana yang dimaksud adalah segala bentuk media untuk menampung air atau makanan. Digunakan untuk bersuci atau makan dan minum, sehingga bejana bisa berupa timba, gayung, tempat air minum, piring, atau gelas, tempayan, dan semisalnya.
Apakah Hukum Menggunakan Bejana dari Emas dan Perak untuk Makan dan Minum?
Jawab:
Hukumnya haram. Berdasarkan hadits:
لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ والْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ
Janganlah kalian minum dengan bejana dari emas dan perak, dan jangan makan dengan bejana yang terbuat dari keduanya. Karena itu bagi mereka (orang kafir) di dunia, dan bagi kalian (wahai orang beriman) di akhirat (Muttafaqun ‘alaih)
Bolehkah Menggunakan Bejana dari Emas atau Perak untuk Selain Makan dan Minum?
Jawab :
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam hal itu. Jumhur (mayoritas) Ulama’ berpendapat tidak boleh. Sebagian lagi menyatakan boleh. Karena Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang khusus untuk penggunaan makan dan minum saja. Ummul Mukminin, istri Nabi, Ummu Salamah juga memiliki al-juljul (tempat penyimpanan dengan semacam genta di dalamnya) yang terbuat dari perak (diriwayatkan alBukhari dalam Shahihnya).
Pendapat yang lebih kuat adalah boleh. Namun, sebagai bentuk wara’ sebaiknya tidak digunakan untuk kehati-hatian (Syarh Riyadhus Sholihin Syaikh alUtsaimin (1/2162)).
Hal yang jelas tidak diperbolehkan adalah jika maksud penggunaannya untuk berbangga dan bermewah-mewah.
Jika sebuah bejana ada lubang atau retak, bolehkah ditambal dengan emas atau perak?
Jawab:
Tidak boleh ditambal dengan emas, namun boleh dengan perak. Syaratnya, tambalannya sedikit dan dilakukan karena keperluan bukan sebagai perhiasan.
Dalilnya adalah:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْكَسَرَ فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ
Dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu bahwa gelas Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam retak (sedikit pecah) maka beliau (menambal) tempat yang retak itu dengan jalinan dari perak (H.R alBukhari)
Bagaimana Hukum Menggunakan Bejana dan Pakaian yang Sebelumnya Pernah Dipakai Orang Kafir?
Jawab:
Boleh dipakai jika telah suci dari najis. Jika terlihat ada najis pada benda-benda itu maka dicuci hingga suci, baru kemudian bisa dipakai. Jika tidak tampak adanya najis, maka boleh langsung digunakan.
Nabi dan para Sahabat pernah berwudhu dengan menggunakan tempat air besar dari kulit (mazaadah) milik seorang wanita musyrik (Muttafaqun ‘alaih, dinukil secara makna oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram).
Umar bin al-Khottob juga pernah berwudhu’ dari bejana (tempayan) milik orang Nashrani (riwayat asy-Syafi’i dan alBaihaqy, dishahihkan oleh asy-Syaukaany dalam Nailul Authar).
Namun, hendaknya penggunaan bejana orang kafir untuk makan dan minum adalah alternatif terakhir jika tidak ditemui lagi yang lainnya.
Dalam hadits, Abu Tsa’labah pernah bertanya:
يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ
Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami berada di negeri kaum Ahlul Kitab. Apakah kami boleh makan dari bejana mereka?
Nabi menjawab:
فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلَا تَأْكُلُوا فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا
Kalau engkau bisa menemukan yang selainnya, janganlah makan dengan bejana itu, namun jika engkau tidak menemukan selainnya, cucilah, dan makanlah darinya (H.R alBukhari)
Bagaimana Hukum Menggunakan Bejana yang terbuat dari Kulit?
Jawab:
Boleh menggunakan bejana dari kulit, dengan syarat:
- Kulit tersebut adalah kulit binatang yang halal dimakan, seperti : sapi, kambing, rusa, kelinci, unta, dan semisalnya.
- Kulit tersebut sudah disamak (jika berasal dari bangkai, tidak melalui penyembelihan syar’i).
Sebagai contoh, jika seandainya ada bejana yang dibuat dari kulit kucing, maka tidak boleh digunakan, karena bukan berasal dari kulit binatang yang halal dimakan (poin 1). Meski telah disamak kulit itu tetap najis tidak bisa digunakan, karena Nabi bersabda:
فَإِنَّ دِبَاغَهَا ذَكَاتُهَا
Karena sesungguhnya menyamaknya adalah (bagaikan) penyembelihan terhadapnya (H.R Abu Dawud, anNasaai, Ahmad, adDaraquthny, al-Hakim dengan lafadz anNasaai, dan alHafidz Ibnu Hajar menyatakan sanadnya shahih dalam Talkhiisul Habiir).
Pendapat ini adalah pendapat dari al-Imam Ahmad dan dikuatkan oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan asy-Syaikh al-Utsaimin.
Sedangkan jika hewan yang termasuk jenis hewan yang halal dimakan (poin ke-1) dan telah disembelih dengan sesembelihan syar’i, maka secara otomatis kulitnya sudah menjadi suci tanpa harus disamak (Syaikh al-Utsaimin dalam Liqaa’ Baabil Maftuh).
Yang harus disamak kulitnya adalah jika ada jenis hewan pada poin ke-1 menjadi bangkai karena mati sakit, tertabrak, dan semisalnya.
Mohon ringkasan pembagian kulit binatang yang harus disamak dengan tidak
Jawab:
Ada 3 jenis kulit binatang berdasarkan kategori kesucian maupun boleh disamak atau tidaknya.
- Kulit binatang yang suci meski disamak atau tidak, yaitu kulit binatang yang halal dimakan (sapi, kambing, rusa, kelinci, dsb) dan telah disembelih secara syar’i.
- Kulit binatang yang menjadi suci jika disamak, yaitu kulit binatang pada poin ke-1 namun tidak melalui penyembelihan syar’i
- Kulit binatang yang tidak pernah bisa disucikan meski disamak, yaitu kulit binatang yang tidak halal dimakan.
(Syaikh Ibn Utsaimin dalam Liqaa’ Baabil Maftuuh)
Apakah yang Dimaksud dengan ‘disamak’?
Jawab:
‘Menyamak’ adalah proses membersihkan kulit dari kotoran-kotoran dan menghilangkan bau yang ada padanya, sehingga bisa dimanfaatkan lebih lanjut. Proses ini bisa dilakukan secara tradisional ataupun dengan proses yang lebih modern. Secara tradisional, prosesnya adalah dengan air dan semacam daun akasia.
Nabi bersabda tentang kulit bangkai kambing (yang perlu disamak):
يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ
Akan membuat kulit itu suci: air dan al-Qorodzh (semacam daun akasia) (H.R Abu Dawud dan atTirmidzi)
Apakah Menutup Bejana adalah Sunnah? Apakah ada Hikmahnya?
Jawab:
Benar. Menutup bejana seperti tempayan, gelas, dan semisalnya adalah Sunnah, terlebih pada malam hari. Pada saat menutupnya disertai dengan menyebut Nama Allah. Hikmahnya adalah supaya syaithan tidak bisa membukanya (untuk masuk atau memberikan mudharat kepadanya) dan juga supaya penyakit tidak menghinggapinya.
وَأَوْكِ سِقَاءَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ وَخَمِّرْ إِنَاءَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ تَعْرُضُ عَلَيْهِ شَيْئًا
Dan ikatlah tempat minummu dan sebutlah Nama Allah, dan tutuplah bejanamu dan sebutlah Nama Allah, meski (menutupnya) dengan (cara) membentangkan sesuatu (batang) di atasnya (H.R alBukhari)
غَطُّوا الْإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ وَأَغْلِقُوا الْبَابَ وَأَطْفِئُوا السِّرَاجَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَحُلُّ سِقَاءً وَلَا يَفْتَحُ بَابًا وَلَا يَكْشِفُ إِنَاءً فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا أَنْ يَعْرُضَ عَلَى إِنَائِهِ عُودًا وَيَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ فَلْيَفْعَلْ
Tutuplah bejana, ikatlah tempat minum, tutuplah pintu, matikan lampu (yang dari api) karena syaithan tidaklah bisa membuka ikatan tempat minum, tidak bisa membuka pintu, tidak bisa menyibak tutupan bejana. Kalaulah kalian tidak menemukan kecuali hanya membentangkan di atas bejananya suatu batang dan menyebut Nama Allah, maka lakukanlah (H.R Muslim)
غَطُّوا الْإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ فَإِنَّ فِي السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيهَا وَبَاءٌ لَا يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ أَوْ سِقَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ وِكَاءٌ إِلَّا نَزَلَ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ الْوَبَاءِ
Tutuplah bejana, ikatlah tempat minum, karena dalam satu tahun ada suatu malam yang turun padanya wabah (penyakit). Tidaklah wabah itu melewati bejana yang tidak tertutup atau tempat minum yang tidak terikat, kecuali akan hinggap padanya (H.R Muslim)
Dikutip dari:
Buku “Fiqh Bersuci dan Sholat”, Abu Utsman Kharisman, penerbit Cahaya Sunnah Bandung