Mengungkapkan Kelemahan di Hadapan Allah dan Menyebut Nikmat Allah Terdahulu dalam Doa
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
Ia berkata: Wahai Rabbku, sesungguhnya telah lemah tulangku dan rambutku telah beruban. Namun aku tidak pernah sengsara dalam berdoa kepada-Mu
(Q.S Maryam ayat 4)
Di antara adab dalam doa yang menjadikan doa lebih mudah terkabulkan adalah seperti yang dilakukan Nabi Zakariyya ini, yaitu mengungkapkan kelemahan dan kekurangannya di hadapan Allah serta mengungkapkan kembali nikmat Allah sebelumnya yang telah ia terima, yaitu ia tidak pernah merugi dalam berdoa. Doanya sebelumnya selalu dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy dalam Tafsirnya.
فتوسل إلى الله تعالى بضعفه وعجزه، وهذا من أحب الوسائل إلى الله، لأنه يدل على التبري من الحول والقوة، وتعلق القلب بحول الله وقوته
Nabi Zakariyya bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan kelemahannya. Ini termasuk perantara yang paling dicintai Allah. Karena itu menunjukkan bahwa ia (seorang hamba dalam doanya) berlepas diri dari daya dan kekuatannya sendiri. Hatinya bergantung dengan daya dan kekuatan Allah (Tafsir as-Sa’diy)
لم تكن يا رب تردني خائبا ولا محروما من الإجابة، بل لم تزل بي حفيا ولدعائي مجيبا، ولم تزل ألطافك تتوالى علي، وإحسانك واصلا إلي، وهذا توسل إلى الله بإنعامه عليه، وإجابة دعواته السابقة، فسأل الذي أحسن سابقا، أن يتمم إحسانه لاحقا
Wahai Rabbku, Engkau tidak pernah mengembalikan tengadah tanganku dalam doa kosong tanpa hasil dan tanpa dikabulkan. Engkau terus menerus menyayangiku dan mengabulkan doaku. Kelembutan-Mu terus menerus mengguyurku. Kebaikan-Mu terus terhubung kepadaku. Ini adalah bentuk tawassul kepada Allah dengan (menyebutkan) nikmat-nikmat Allah kepadanya dan dikabulkannya doa terdahulu. Maka dia meminta kepada Dzat yang telah berbuat baik di masa lalu untuk menyempurnakan kebaikannya di masa yang akan datang (Tafsir as-Sa’diy)
Dikutip dari: Draft Buku “Nabi Isa dan Bunda Maryam dalam Pandangan Islam”, Abu Utsman Kharisman