Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Meluruskan Kesalahan Mendiang Buya Syakur Dalam Menjelaskan Kronologi Penyusunan Mushaf AlQuran (Bagian ke-2)

Mengesankan Naskah Mushaf Yang Ada Saat Ini Berbeda Dengan Transkrip Aslinya

Buya Syakur menyatakan: “Nah, sudah di kumpulkan yang aslinya itu di musnahkan semuanya dan ini menjadi masalah, sehingga kita ketika mencari aslinya yang mana, manuskrip yang asli yang ditulis para sahabat awal pertama mana ga ada, kita ga temukan, nah itu masalahnya…itu”.

Sanggahan terhadap Pernyataan Buya Syakur:

Meskipun sebagian catatan alQuran ada yang terserak di sebagian media seperti kulit, tulang, dan semisalnya, tapi masih terdapat para penghafal alQuran pada waktu itu. Artinya, media itu bukanlah referensi utama. Karena secara asal, lebih banyak Sahabat Nabi yang menerima pengajaran alQuran dengan menghafal dibandingkan dengan mencatatnya.

Selain itu, proses pengumpulan alQuran yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu juga memberlakukan persaksian dari 2 orang yang adil saat akan menuliskannya. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Laits bin Saad rahimahullah:

أَوَّلُ مَنْ جَمَعَ الْقُرْآنَ أَبُو بَكْرٍ وَكَتَبَهُ زَيْدٌ وَكَانَ النَّاسُ يَأْتُونَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَكَانَ لَا يَكْتُبُ آيَةً إِلَّا بِشَاهِدَيْ عَدْلٍ

Pertama kali yang mengumpulkan alQuran adalah Abu Bakr, dan Zaid yang menuliskannya. Manusia mendatangi Zaid bin Tsabit dan beliau tidaklah menuliskan suatu ayat melainkan dengan persaksian dari 2 saksi yang adil (al-Itqon fi Ulumil Quran karya as-Suyuthiy 1/206)

Jadi, seandainya pun tanpa manuskrip asli, hal itu tidak masalah. Karena Zaid bin Tsabit sendiri hafal alQuran. Namun beliau tidak mendasarkan pada hafalan alQuran beliau sendiri. Beliau selain menelusuri catatan di tulisan yang terserak, juga mengambil persaksian dari 2 orang yang adil setiap kali menuliskan 1 ayat dalam mushaf.

Saat penyusunan mushaf itu masih ada banyak penghafal alQuran. Karena tujuan penyusunan mushaf itu adalah mengantisipasi agar jangan sampai para penghafal alQuran banyak terbunuh di medan pertempuran hingga tidak tersisa lagi.

Karena masih banyaknya penghafal alQuran itu termasuk Abu Bakr dan Umar yang menginisiasi penyusunan mushaf tersebut, proses controlling setelah mushaf selesai disusun juga berjalan. Tidak ada komplain dari para penghafal alQuran itu.

Selain itu, tahapan penyusunan mushaf alQuran untuk menyeragamkan dengan dialek Quraisy berlanjut di masa Utsman bin Affan. Bahkan salinannya dikirim ke berbagai penjuru yang saat itu masih hidup sebagian Sahabat Nabi dan para Ulama Tabiin yang senior. Mereka juga memanfaatkan mushaf itu. Tidak ada teguran atau kritikan terkait hal itu. Bahkan Utsman sendiri yang hafal alQuran dan sering mengkhatamkan alQuran dalam satu rakaat shalat malam, sering membaca mushaf dengan melihatnya. Tapi beliau tidak melihat sebagai susunan yang salah atau ada ayat yang kurang atau ada ayat yang diada-adakan di dalamnya.

Jadi, pernyataan Buya Syakur yang menganggap sebagai masalah karena manuskrip aslinya dimusnahkan adalah hal yang salah dan tidak benar. Ucapan beliau itu justru dikhawatirkan akan menimbulkan keraguan pada sebagian muslim akan keaslian alQuran. Padahal Allah Ta’ala telah menjamin kemurnian alQuran.

Menyesalkan Terbunuhnya Kaum Intelektual Mu’tazilah

Buya Syakur menyatakan: “Nah ketika berbeda pendapat, itu kan pikiran manusia, nah jadi akhirnya timbullah pertanyaan oleh mu’tazilah, kaum rasional disitu, eh bung begini ini Al qur’an ini makhluk atau bukan makhluk? disinilah mulai perpecahan pemahaman budaya dan agama, itu sudah 1200 tahun yang lalu, dan ketika itu korbannya sampai 10 ribu kaum intelektual dibantai padahal sama-sama islam kaum mu’tazilah itu, jadi kalau seandainya kaum mu’tazilah waktu itu tidak di bantai mungkin islam sekarang akan menguasai dunia kok dengan pengetahuan-pengetahuan tapi bagaimana sejarahnya seperti itu”.

Sanggahan terhadap Pernyataan Buya Syakur tersebut:

Pertama: Seharusnya Buya Syakur memperhatikan kesepakatan Ulama kaum muslimin bahwa alQuran adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Abu Zur’ah dan Abu Hatim ar-Raziy menyatakan:

أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الْأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، وَالْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ بِجَمِيعِ جِهَاتِه

Kami mendapati Ulama di berbagai penjuru baik Hijaz, Iraq, Syam, dan Yaman, di antara pendapat (keyakinan) mereka adalah iman berupa ucapan dan amalan bisa bertambah dan berkurang, alQuran adalah Kalam Allah bukan makhluk pada seluruh sisinya (riwayat al-Laalikaaiy dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah).

Bahkan, Al-Imam asy-Syafii rahimahullah juga menegaskan bahwa yang berkeyakinan bahwa alQuran makhluk, maka ia kafir.

الرَّبِيع بْن سُلَيْمَانَ يَقُولُ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ

arRobi’ bin Sulaiman berkata: Aku mendengar asy-Syafii berkata: Barang siapa yang mengatakan alQuran adalah makhluk, maka ia kafir (riwayat al-Laalikaaiy dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah)

Jika memahami hal ini, maka seseorang tidak akan menganggap ringan perbedaan pendapat bahwa alQuran adalah makhluk atau bukan. Bukan dianggap sebagai perbedaan pendapat yang bisa ditoleransi.

Kedua: Tentu kita tidak setuju jika ada pembantaian kaum muslimin bukan melalui cara yang dibenarkan syariat. Nyawa seorang muslim saja sangat tinggi nilainya. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

Sungguh musnahnya dunia masih lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang laki-laki muslim (H.R atTirmidzi)

Ketiga: Kejayaan Islam bukanlah diraih dengan penyimpangan dalam akidah. Sedangkan Mu’tazilah adalah salah satu kelompok yang menyimpang dari sisi akidah. Justru kejayaan Islam akan diraih dengan ketakwaan dan sikap meneladani Nabi dan para Sahabat beliau.

Al-Imam Malik rahimahullah menyatakan:

لاَ يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّة إِلَّا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا

Tidaklah akan menjadi baik akhir dari umat ini melainkan dengan yang telah membuat baik generasi awalnya (Ushulul Imam fi Dhou-il Kitaabi was Sunnah)

Artinya, sebagaimana generasi awal umat Islam menjadi baik dan jaya dengan berpegang teguh dengan alQuran dan sunnah, demikian juga generasi akhir hanya akan menjadi baik dengan hal itu juga.


<< Bersambung, insyaallah…>>

Penulis: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan