Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Lengser dan Pemakzulan Terhadap Penguasa, Sebuah Tanggapan Kritis

Saudaraku rahimakumullah, munculnya pertanyaan politik dalam sebuah rubrik bertajuk konsultasi keluarga cukup memprihatinkan kita. Seakan rumah tangga yang sarat dengan problematika dan memerlukan begitu banyak bimbingan syariat sudah tidak penting dibahas. Atau mungkinkah ini cerminan kondisi rakyat masa kini yang sibuk memikirkan masalah pemimpinnya daripada berpikir perbaikan diri dan anggota keluarganya. Sebuah ketidakpantasan sebenarnya, yang memerlukan introspeksi kita semua.

Namun jika yang hendak diakomodir dalam konteks “keluarga” mencakup pula pemimpin negara yang bertindak laksana orang tua dalam rumah tangga bangsa yang majemuk, isi jawaban selanjutnya semestinya mempertahankan stigma ini; mendudukkan kepala negara yang dijaga bersama kehormatannya, bagaikan ayahanda kita, sang pemimpin rumah tangga. Sayangnya pembaca gagal menemukannya dalam kalimat-kalimat jawaban.

Sebelum kita menanggapi jawaban yang telah disampaikan pengasuh rubrik, ada baiknya kita mencoba memahami pertanyaan yang diajukan. Menjawab pertanyaan terlebih yang dibaca khalayak, merupakan bagian metode pengajaran yang baik. Dimana mengenali tingkat pemahaman dan suasana kejiwaan mereka menjadi bahan studi yang patut dipertimbangankan. Apabila sosok yang bertanya adalah seorang yang berjiwa pesimis, hasungan motivasi perlu ditonjolkan agar dia memahami secara tepat. Sebaliknya jika dikenal sebagai karakter yang berlebihan atau mudah terprovokasi, perlu ditekankan nilai-nilai kepasrahan, sabar dan tunduk kepada batasan syariat. Itulah sikap hikmah, yang telah banyak diteladankan Nabi kita Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam.

Stabilitas hubungan rakyat dan penguasa di negeri kita yang dirasakan tidak cukup harmonis, sepatutnya didinginkan dengan jawaban yang menghasung penunaian kewajiban lebih ditekankan daripada menuntut hak. Jangan sampai jawaban yang diharapkan ilmiah justru menjadi pemicu kobaran provokasi yang sejatinya terus membara. Bukankah agama ini sebagaimana sering disuarakan adalah rahmatan lil ‘alamin?


Baca Juga: Apakah “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” Itu?


Demikian pula, dalam perbedaan pandangan seorang muslim, terlebih bagi ahlussunnah, wajib merujuk kepada kitabullah dan sunnah nabi-Nya, bukan pada pendapat perorangan atau kelompok. Dan pada perbedaan dalil, seharusnya mengacu pada yang muhkam (telah pasti hukumnya), meninggalkan yang mutasyabihat (menurut sebagian orang bisa dibawa kepada beberapa makna berbeda). Apabila kita konsekwen dalam prinsip ini, jawaban syar’i yang diharapkan akan diperoleh, bitaufiqillah.

Berikut ini ditanggapi dan diluruskan secara umum saja, adapun rinciannya diperlukan pembahasan ilmiah tersendiri, semoga tercukupi dengan berbagai tulisan dalam tema ketaatan kepada penguasa yang sebenarnya telah banyak dinukilkan, hendaklah merujuk kembali kepada dalil-dalil muhkam tersebut, barakallahu fikum.

Tanggapan Pertama

Pada bagian pertama jawaban, ustadz Hamim menekankan bahwa melengserkan pemimpin bukan hal tabu, dan beliau seakan hendak menguatkannya dengan menyebut bahwa dalam berbagai kitab siyasah syar’iyah pembahasan melengserkan penguasa selalu dibahas. Agar tidak tendensius, perlu diingatkan bahwa pembahasan suatu bab dalam suatu kitab bukanlah menunjukkan bahwa masalah tersebut masalah yang lumrah terjadi, biasa-biasa saja. Justru adanya pembahasan (jika dibahas secara benar), boleh jadi dalam rangka menjelaskan mana yang boleh dan bagaimana yang tidak boleh. Pembahasannya menunjukkan luas dan lengkapnya cakupan syariat Islam dalam mengatur kehidupan pemeluknya, mulai urusan privat individu, ritual, hingga masalah besar yang terkait dengan hajat hidup masyarakat luas, semua dibahas dan diatur.

Jadi adanya pembahasan bab semacam ini, bukanlah menunjukkan hal tersebut lumrah (baca: tidak tabu), bahkan justru mengisyaratkan hal ini masalah besar yang tidak boleh diterapkan serampangan, karena ada rambu-rambu syariat yang mengaturnya. Umat ini mestinya dididik dengan sosialisasi rambu-rambu tersebut dengan memperkenalkan batasan dalil ayat dan hadits serta pemahaman para sahabat nabi, bukan justru diajari analisa dan pengarahan pada suatu konsep politik.

Kita memperoleh wejangan berharga dari alHafidz Abu Zakariyya Yahya anNawawi asySyafi’i rahimahullah dalan Syarh Shohih Muslim 12/229, dengan kesimpulan beliau:

ﻭﺃﺟﻤﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻨﻌﺰﻝ ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺑﺎﻟﻔﺴﻖ ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻓﻲ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻔﻘﻪ ﻟﺒﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﻌﺰﻝ ﻭﺣﻜﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻐﻠﻂ ﻣﻦ ﻗﺎﺋﻠﻪ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻺﺟﻤﺎﻉ

Ahlussunnah telah bersepakat, bahwa penguasa tidak boleh dimakzulkan hanya karena kefasikan. Adapun yang terlanjur termaktub dalam kitab-kitab fiqh karya beberapa rekan (semadzhab) kami bahwa penguasa boleh dimakzulkan, dan juga yang dihikayatkan dari sekte (sesat) Mu’tazilah, adalah (pandangan) yang salah dari pihak yang menyatakannya, bertentangan dengan ijma’.

Tanggapan kedua

Pernyataan tentang tugas pemimpin dalam urusan dunia dan agama sejatinya adalah tugas pada tataran yang ideal, namun bukan syarat sahnya kepemimpinan harus menjalankan keduanya secara sempurna.

Pendalilan dengan ayat dalam surat anNisa’: 59, bila kita merujuk kepada penafsiran para ulama justru melegitimasi adanya pemimpin agama (ulama) di satu sisi dan pemimpin urusan duniawi (penguasa) di sisi lainnya sebagai bagian dari makna ulil amri yang disebut pada ayat.

AlHafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya setelah membawakan pendapat beberapa tabi’in tentang makna ayat:

وأولوا الأمر منكم

Dan Ulil Amri kalian

Beliau berkata:

والظاهر – والله أعلم – أن الآية في جميع أولي الأمر من الأمراء والعلماء

“Dan yang tampak – wallahu a’lam – bahwa ayat ini (mengandung makna) mencakup semuanya (baik itu) Ulil Amri dari kalangan pemerintah dan para ulama.”

Sehingga kita nyatakan, bila sesosok penguasa tidak cukup cakap dalam fungsi kepemimpinan agama, umat tidak lantas kehilangan sosok yang dirujuk dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya selama mereka masih memperoleh bimbingan (yaitu kepemimpinan) para ulama.

Tanggapan Ketiga

Penggunaan istilah mandataris ummat perlu dikritisi. Secara bahasa menurut KBBI (di antara) arti mandat adalah perintah atau arahan yang diberikan oleh orang banyak (rakyat, perkumpulan, dan sebagainya) kepada seseorang (beberapa orang) untuk dilaksanakan sesuai dengan kehendak orang banyak itu. Jika dilazimkan pada penguasa negeri muslimin akan membawa konotasi pemimpin hanya sebagai yang menjalankan tugas dari rakyat, dan batasan seperti ini hanya dipenuhi sistem demokrasi saja tidak pada monarkhi dan yang lainnya.

Apalagi pada kalimat setelahnya setelah meniadakan kemaksuman pada penguasa sebagaimana manusia biasa, ustadz Hamim mengaitkannya dengan hak muslim meluruskan penguasa (ketika terjadi kesalahan). Jelaslah makna “bukan sakral” dan “tidak tabu” ternyata yang dimaksudkan terarah pada hak muslim meluruskan penguasa.

Tidakkah kisah Dzulkhuwaisiroh membuat kita khawatir?

Ingatlah ucapan secara terang-terangan pelopor khowarij tersebut terhadap pembagian pertama ghonimah yang tidak diperuntukkan bagi kaum fuqoro‘, hanya pada beberapa kalangan ekonomi cukup dan baru masuk islam, yang diharapkan menarik dan menguatkan mereka sebagaimana dalam riwayat Shahih Muslim:

ﻭَﺍﻟلَّهِ ﺇِﻥَّ ﻫَﺬِﻩِ ﻟَﻘِﺴْﻤَﺔٌ ﻣَﺎ ﻋَﺪَﻝَ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﺃُﺭِﻳْﺪَ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻭَﺟْﻪُ ﺍﻟلَّهِ

“Demi Allah, sesungguhnya ini adalah suatu pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah Allah”.

Adapun cuplikan khutbah 2 Kholifah Rasyidah, Abu Bakar dan Umar (terlepas dari pembahasan derajat riwayatnya) apabila dianggap shahih, sebenarnya tidak menunjukkan bahwa syariat Islam membuka lebar upaya pelurusan kesalahan yang dilakukan pimpinan.


Baca Juga: Peringatan Keras Dari Kesesatan Khawarij


Mesti dipilah antara adab dan keharusan. Tidak ada yang memungkiri bahwa kedua sahabat mulia tersebut memiliki adab yang sangat tinggi. Demikian tingginya hingga pernyataan membuka diri terhadap nasehat dan kritikan disampaikan secara terbuka, dan telah dibuktikan pelaksanaan menerima nasehat sepanjang sejarah kepemimpinan keduanya, radhiyallahu ‘anhuma.

Namun sama sekali tidak terkandung pada kedua kisah ini legitimasi bolehnya meluruskan pemimpin dengan segala cara yang dimaui rakyat. Jika rakyat suka unjuk rasa berarti silakan demonstrasi, tidak, sama sekali tidak demikian. Namun kembali yang seperti ini tidak disinggung dalam jawaban sehingga rawan dijadikan “amunisi” pembenaran atas nama menegakkan keadilan.

Sementara hadits Nabi telah secara gambalang menyebutkan bahwa Allah yang akan meminta pertanggungjawaban para pemimpin,

ﻓَﺎﻟْﺄَﻣِﻴﺮُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺭَﺍﻉٍ، ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﺴْﺌُﻮﻝٌ ﻋَﻦْ ﺭَﻋِﻴَّﺘِﻪِ

“… Seorang penguasa bagi suatu bangsa adalah pemimpin dan akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya…”
(petikan dari Hadits Muttafaq ‘alaihi dari Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Sehingga lebih tepat dijawab secara syar’i bahwa yang pasti adalah penguasa bertanggungjawab kepada Allah terhadap kepemimpinannya.

Sementara dalam rubrik di atas, sebagai pembaca kita merasakan ungkapan jawaban beliau, seakan memosisikan penguasa hanya layaknya orang yang bekerja melaksanakan tugas dari majikannya yaitu orang banyak. Cukup membingungkan memang menjadi tidak jelas sebenarnya siapa yang berkuasa, siapa yang dipimpin? atau kata “penguasa” dan “pemimpin” telah berubah maknanya?

Pernyataan selanjutnya menegaskan arah yang dimaukan, mari kita cermati.


Baca Juga: Hujjah di Hadapan Allah Bagi yang Taat Kepada Pemimpinnya


Tanggapan Keempat

Bagian keempat terbaca jelas, penulis memosisikan penguasa tak ubahnya pekerja yang akan dinilai kinerjanya oleh majikannya. Kepemimpinan seakan dipersepsikan sebagai kontrak kerja, beliau mengukur layak tidaknya diputus atau dilengserkannya dengan melihat kondite, dan ada tidaknya cacat termasuk pada moralitasnya. Sungguh pernyataan semacam ini bak angin surga bagi kaum liberal dan penyeru kebebasan, Allahulmusta’an.

Betapa banyak tengara dan dugaan syubhat tentang pemikiran komunis misalnya yang telah secara masif dituduhkan kepada sebagian pemimpin kita hanya karena setiap rakyat yang tidak suka dan berprasangka dianggap berhak menilai kondite sang penguasa. Sebenarnya beliau (sang ustadz, ghofarallahu lana walahu) sedang membahas tema ini dalam kacamata syariat atau demokrasi? Tentu keduanya adalah hal yang berbeda namun ironisnya terus diupayakan “temu-gathuk”, walaupun secara tersirat. Namun kita perlu meluruskannya, karena beliau sedang ditanya dalam timbangan syariat, dan beliau menulis pada majalah yang dilabeli Islam.

Kemudian pernyataan sang ustadz, “syariat islam membolehkan pelengseran pemimpin jika melakukan tindakan yang menurunkan kondite dan kinerjanya. Yakni cacat dalam keadilan, moralitas, dan integritas, serta cacat tubuh dan gangguan fisik.” kami tidak mengetahui asal kesimpulan semacam ini.

Sementara hukum yang muhkam telah ditetapkan dalam banyak hadits, di antaranya:

Imam alBukhori rahimahullah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ أَمَّرَعَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

Bahwa Rasulullah shollallahu ‘alihi wasallam bersabda: “Hendaklah kalian (tetap) mendengarkan/mengindahkan dan taat (terhadap penguasa), meskipun yang memimpin kalian (asalnya) seorang budak dari Habasyi (demikian buruknya sampai) seakan kepalanya seperti kismis.”

Para ulama mengategorikan penyebutan kepala seperti kismis adalah kiasan akan buruknya fisik, dalam bahasa pengasuh rubrik yang kita tanggapi berarti “cacat tubuh dan gangguan fisik.”

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab shahih beliau dari Hudzaifah ibnulYaman radhiyallahu ‘anhu:

Secara ringkasnya ditekankan pada Sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam:

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Akan muncul sepeninggalku para pemimpin yang tidak menjadikan petunjukku sebagai pedomannya, tidak pula berjalan sesuai sunnahku, dan akan berkuasa pada mereka orang-orang yang hati-hatinya laksana hati-hati setan dalam jasad manusia.” Hudzaifah berkata: Aku bertanya kepada beliau shollallahu ‘alaihi wasallam: Apa yang harus saya lakukan wahai Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- apabila saya menjumpai keadaan seperti itu? Beliau shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tetap simaklah dan taatilah pemimpin itu walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, tetaplah menyimak perintahnya dan taatilah ia.”

Cacat moralitas macam apa lagi yang lebih rendah dari ungkapan tegas yang disebutkan dalam hadits di atas? Toh demikian, syariat telah tandas menghukumi kita tetap mengindahkan dan taat.


Baca Juga: Larangan Puasa Berbicara dan Perintah Menaati Perintah Dalam Hal yang Ma’ruf


Tanggapan Kelima

Sepatutnya disinggung bagaimana batasan mashlahah ammah yang disebutkan, agar tidak semua yang diatasnamakan kepentingan umum dianggap halal dalam islam. Apakah membangun anjungan untuk melarung sesajen pada masyarakat yang gemar melakukannya harus diakomodir oleh seorang pemimpin karena itu adalah kepentingan umum Tentu tidak, Islam mewajibkan pemimpin mencegahnya walaupun seandainya dia sendirian dan dituding memaksakan kepentingan pribadinya.

Pada kasus AlHasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, tidak tepat sebutan dilengserkan. Lebih bijak jika membahasakannya sebagai mengundurkan diri atau melengserkan diri. Dan tentu pembaca cukup mudah membedakannya, penguasa yang melengserkan diri berbeda jauh hukumnya dengan upaya melengserkannya atau dimakzulkan. Sehingga jika kita setuju dengan hal ini, tidak pas lagi menyebutkannya sebagai contoh kasus melengserkan penguasa dalam sejarah Islam.

Sementara pada contoh kasus Abdullah bin azZubair radhiyallahu ‘anhu juga tidak bisa dijadikan hujah karena:

  • Hanyalah ijtihad yang ternyata salah (sebagaimana pengingkaran sahabat lainnya dalam hal ini).

Semoga beliau mendapatkan satu pahala sebagaima disebutkan dalam hadits.

ﺇِﺫَﺍ ﺍﺟْﺘَﻬَﺪَ ﺍﻟْﺤَﺎﻛِﻢُ ﻓَﺄَﺻَﺎﺏَ ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮَﺍﻥِ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﺟْﺘَﻬَﺪَ ﻓَﺄَﺧْﻄَﺄَ ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮٌ

“Apabila seorang hakim berijtihad, lalu dia benar, dia memperoleh dua pahala. Dan jika seorang hakim berijtihad, dan ternyata keliru, dia mendapat satu pahala.”
(HR. alBukhori & Muslim)

Kemudian penting diingatkan, tidak boleh kita mencederai kehormatan para sahabat Nabi dan para Ulama yang penuh jasa terhadap Islam, selama mereka secara asal adalah mukmin dari Ahlussunnah. Terkhusus Abdullah ibnu azZubair radhiyallahu ‘anhu, kita perlu mengingat bahwa beliau adalah cucu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, keponakan tersayang sekaligus murid utama ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, pejuang Islam sebenarnya sejak beliau kecil, berjasa besar dalam pembukaan negeri-negeri di Afrika dan usaha awal menaklukan Konstantinopel, pengawal dan membela sepenuh raga terhadap Utsman bin ‘Affan hingga nyaris wafat saat menghadang para pemberontak, dan sekian keutamaan lainnya yang tidak cukup tertulis di sini, radhiyallahu ‘anhuma.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan dalam alFatawa alKubro 6/92 tentang para ulama semacam beliau:

ﺇﻥَّ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﺠﻠﻴﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻗﺪﻡ ﺻﺎﻟﺢ ﻭﺁﺛﺎﺭ ﺣﺴﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺃﻫﻠﻪ ﺑﻤﻜﺎﻧﺔ ﻋﻠﻴﺎ، ﻗﺪ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﻬﻔﻮﺓ ﻭﺍﻟﺰﻟﺔ ﻫﻮ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻌﺬﻭﺭ ﺑﻞ ﻣﺄﺟﻮﺭ؛ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺘﺒﻊ ﻓﻴﻬﺎ! ﻣﻊ ﺑﻘﺎﺀ ﻣﻜﺎﻧﺘﻪ ﻭﻣﻨﺰﻟﺘﻪ ﻓﻲ ﻗﻠﻮﺏ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ

“Sesungguhnya tokoh yang mulia, yang telah mempersembahkan kebaikan bagi Islam, serta pengaruh yang baik, sementara dia memiliki kedudukan di dalam Islam pada posisi yang tinggi, boleh jadi didapati darinya kesalahan dan ketergelinciran, maka dia dalam hal tersebut memperoleh udzur bahkan pahala, tidak boleh mencari-cari kesalahannya! Dengan tetap langgengnya derajat dan kedudukannya pada sanubari orang-orang mukmin. “

  • Pengingkaran para shahabat lainnya terhadap sikap beliau (baik dalam menyikapi fitnah di masa alHajjaj atau sebelumnya).

Terdapat faidah dari akhina Ust. Kharisman waffaqohullah tentang atsar Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma riwayat al-Bukhari dalam menasehati anak-anaknya agar tetap dalam baiat:

جَمَعَ ابْنُ عُمَرَ حَشَمَهُ وَوَلَدَهُ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُنْصَبُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَإِنَّا قَدْ بَايَعْنَا هَذَا الرَّجُلَ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنِّي لَا أَعْلَمُ غَدْرًا أَعْظَمَ مِنْ أَنْ يُبَايَعَ رَجُلٌ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُنْصَبُ لَهُ الْقِتَالُ وَإِنِّي لَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْكُمْ خَلَعَهُ وَلَا بَايَعَ فِي هَذَا الْأَمْرِ إِلَّا كَانَتْ الْفَيْصَلَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ

Ibnu Umar mengumpulkan kerabat dan anak-anaknya kemudian mengatakan; Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Setiap pengkhianat diberi bendera (sbg tanda pengkhianatannya yg terlihat jelas) pada hari kiamat”. (Ibnu Umar melanjutkan perkataannya) Saya telah membaiat orang ini (Yazid bin Muawiyah) atas baiat Allah dan Rasul-Nya, dan saya tidak tahu pengkhianatan yang lebih besar daripada seseorang yang telah dibai’at atas baiat Allah dan Rasul-Nya, kemudian pemimpin itu diperangi. Dan aku tidak tahu salah seorang di antara kalian jika melepaskan baiatnya, atau tidak pula ia berbaiat dalam urusan ini, melainkan antara aku dan dia ada batas pemisah.”
(H.R al-Bukhari)

  • Selain itu alHafidz anNawawiy dalam syarah shohih muslim menukilkan pandangan jumhur ulama tentang kasus alHajjaj bin Yusuf tersebut; pada juz 12 hal 229 beliau menjelaskan:

وحجة الجمهور أن قيامهم على الحجاج ليس بمجرد الفسق بل لما غير من الشرع وظاهر من الكفر

“Sementara mayoritas ulama berhujah bahwa upaya pelengseran yang dilakukan mereka terhadap alHajjaj bukanlah semata disebabkan kefasikan (yang dilakukannya) namun akibat tindakan mengubah sebagian syariat dan menampakkan sebagian jenis kekufuran.”

Artinya, sangat mungkin Abdullah bin azZubair bersama pengikut beliau memandang telah terjadi kekafiran yang nyata, dan mereka merasa cukup kuat untuk menggulingkan, namun mereka tersalah dalam hal ini, rahimahumullah.

Sehingga dari sini, kita berkesimpulan bahwa statemen dalam majalah “alasan utamanya karena Hajjaj dinilai otoriter dan zhalim” telah secara ilmiah terbantahkan.

  • Tidak cukup sampai di sana, masih pada halaman yang sama beliau, alhafidz anNawawi menukilkan penjelasan alQodhi (Iyadh) rahimahumullah:

وقيل إن هذا الخلاف كان أولا ثم حصل الإجماع على منع الخروج عليهم والله أعلم

“Disebutkan sebagian ulama, bahwa perselisihan ini (boleh/tidak melengserkan penguasa) hanya terjadi di awal masalah, namun kemudian sudah menjadi konsensus (ijma’) tentang larangan keluar dari ketaatan terhadap mereka (para penguasa muslim-pent.), wallahu a’lam.”

Demikianlah, saudaraku, semoga Allah memuliakan kita dalam Islam dan Sunnah Nabi-Nya… tatkala kita telah memahami penjabaran tanggapan ini, ditambah dengan kajian dari kitab-kitab para ulama, seyogyanya kita berkesimpulan, bahwa:

  • Kekuasaan adalah kedudukan yang tidak setiap orang diberikan amanah semacam tersebut. Sehingga penting untuk menghargainya dan mendudukkannya sebagaimana mestinya.

Diriwayatkan oleh Abu Umar adDani dalam asSunan alWaridah filFitan, dari Hudzaifah ibnulYaman radhiyallahu ‘anhu:

ﺍﻷﻣﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ – ﻋﺰ ﻭﺟﻞ – ، ﻓﻤﻦ ﻃﻌﻦ ﻓﻲ ﺍﻷﻣﻴﺮ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﻳﻄﻌﻦ ﻓﻲ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ – ﻋﺰ ﻭﺟﻞ

“Kepemimpinan itu merupakan ketentuan Allah -‘Azza waJalla-, barangsiapa yang mencela sang pemimpin sesungguhnya dia telah mencela ketentuan Allah -‘Azza waJalla-.

  • Hanyalah yang mengakibatkan dimungkinkannya pemakzulan adalah kekufuran dan meninggalkan sholat yang nyata tanpa kesamaran. Itupun harus dengan mempertimbangkan kemampuan rakyat muslimin dalam menggantikannya tanpa madharat yang lebih besar.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ubadah bin ashShomit radhiyallahu ‘anhu, perkecualian ketaatan kepada penguasa:

ﺇِﻻ ﺃَﻥْ ﺗَﺮَﻭْﺍ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﺑَﻮَﺍﺣًﺎ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓِﻴﻪِ ﺑُﺮْﻫَﺎﻥٌ

“Kecuali kalian telah menyaksikan langsung kekufuran besar yang gamblang, yang kalian memiliki bukti terhadap hal itu di sisi Allah.”
(HR. alBukhori dan Muslim)

Atau sebagaimana larangan dalam hadits yang dibatasi:

ﻻ، ﻣَﺎ ﺻَﻠَّﻮْﺍ

“Jangan (memberontak/menentang), selama mereka masih sholat.”
(HR. Muslim)

  • Kedzaliman dalam bentuk apapun, demikian juga kefasiqan dalam taraf apapun selama masih bukan secara nyata berupa kekufuran (baca: kafir berupa keluar dari Islam) dan meninggalkan sholat tidak melegalkan pemakzulan.

Kembali kita beroleh faidah dari Ust. Kharisman, dengan penyampaian hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut:

ْ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

Dari Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda; Ikatan-ikatan Islam akan terlepas satu demi satu, setiap kali satu ikatan terlepas orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terlepas adalah masalah hukum dan yang terakhir adalah shalat.
(H.R Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban, juga al-Albaniy dalam Shahih atTarghib dan Shahihul Jami’)

Hadits itu menunjukkan bahwa sholat adalah ikatan terakhir seseorang dalam Islam. Sebelum itu, bisa saja terlepas darinya hukum Islam, namun ia masih terhitung muslim (selama tdk meyakini hukum lain setara atau lebih baik dari hukum Islam).

Dan banyak hadits yang menegaskan kewajiban rakyat untuk bersabar dalam situasi tersebut.

Ketika memberi judul bab dan syarh (penjelasan) Kitab Shahih Muslim, kali ini anNawawiy rahimahullah menekankan:

ﺑﺎﺏ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﺼﺒﺮ ﻋﻨﺪ ﻇﻠﻢ ﺍﻟﻮﻻﺓ ﻭﺍﺳﺘﺌﺜﺎﺭﻫﻢ ﺗﻘﺪﻡ ﺷﺮﺡ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻪ ﻓﻲ ﺍﻷﺑﻮﺍﺏ ﻗﺒﻠﻪ ﻭﺣﺎﺻﻠﻪ ﺍﻟﺼﺒﺮ ﻋﻠﻰ ﻇﻠﻤﻬﻢ ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﺗﺴﻘﻂ ﻃﺎﻋﺘﻬﻢ ﺑﻈﻠﻤﻬﻢ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ

“Bab tentang perintah untuk bersabar terhadap kedzaliman penguasa dan pelanggaran hak rakyat. Telah berlalu penjelasan hadits-haditsnya dalam bab-bab sebelumnya, dan hasil (hukum) yang diambil (adalah kewajiban) bersabar terhadap kedzaliman mereka, dan bahwasanya tidaklah gugur kewajiban taat kepada mereka, (hanya) karena kedzaliman mereka, wallahu a’lam.”

  • Semua hal yang berkaitan dengan menyikapi penguasa sebagai salah satu unsur Ulil amri, harus dikembalikan kepada AlQuran dan Sunnah Rasul dengan bimbingan unsur lainnya dari Ulil amri itu sendiri yaitu para Ulama yang lurus aqidah dan manhajnya. Rakyat tidak memiliki kewenangan menentukan sikap sendiri.

Pengasuh rubrik yang kita tanggapi telah menyebutkan dalilnya dalam surat AnNisa’, semoga kita konsisten mentadabburi dan mengamalkan kandungannya.

  • Pelengseran penguasa secara asal bukan solusi yang berasal dari syariat. Namun apabila secara faktual terjadi dan berhasil, maka yang melakukannya menjadi penguasa baru, dan (terlepas dari pelanggaran yang dilakukannya) selama masih muslim dia berhak didengar dan ditaati pada perkara yang bukan kemaksiatan.

Sebagaimana diisyaratkan dalam hadits-hadits yang mengharuskan ketaatan kepada penguasa walaupun seandainya dipimpin seorang budak (yang diperintah atasannya untuk menguasi suatu wilayah atau mantan budak).

AlHafidz Ibnu Hajar alAsqolani rahimahullah dalam Fathul Bari menjelaskan kemungkinan tersebut:

ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﻟَﻮْ ﺗَﻐَﻠَّﺐَ ﻋَﺒْﺪٌ ﺣَﻘِﻴﻘَﺔً ﺑِﻄَﺮِﻳﻖِ ﺍﻟﺸَّﻮْﻛَﺔِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻃَﺎﻋَﺘَﻪُ ﺗَﺠِﺐُ ﺇِﺧْﻤَﺎﺩًﺍ ﻟِﻠْﻔِﺘْﻨَﺔِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﻣُﺮْ ﺑِﻤَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻛَﻤَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﺗَﻘْﺮِﻳﺮُﻩُ

“Adapun apabila seandainya seorang budak benar-benar secara nyata menggulingkan (penguasa sebelumnya) dengan cara pemberontakan fisik, sesungguhnya ketaatan kepadanya (tetap) diwajibkan sebagai upaya mencegah dampak prahara (terhadap umat-pent.), selama dia tidak memerintahkan kepada kemaksiatan, sebagaimana telah berlalu pembahasannya.”

Sebagai penutup kita mengingatkan diri kita masing-masing dengan hadits dari Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

من رأى من أميره شيئا فكرهه فليصبر; فإنه ليس أحد يفارق الجماعة شبرا فيموت إلا مات ميتة جاهلية

“Barangsiapa menyaksikan sesuatu yang tidak disukainya pada pemimpinnya hendaklah dia bersabar, karena sesungguhnya tidak seorangpun yang memisahkan diri dari jama’ah (yang tetap taat dan tidak menentang) sejengkal saja, kemudian dia mati (dalam kondisi demikian) melainkan dia mati laksana bangkai jahiliyyah.”
(HR. AlBukhori dan Muslim).

Mari sama-sama memastikan sikap sabar benar-benar tetap tercantum dalam kamus muamalah kita terhadap penguasa muslimin, jangan segan menebalkannya kembali saat gesekan syubhat mulai memudarkannya. Kita menjaganya, karena kita yakin inilah solusi yang telah diturunkan dari lisan yang tidak berkata dalam syariat mulia ini melainkan hakekatnya berdasar wahyu yang diturunkan kepada beliau, sholawatullah wasalmuhu ‘alaihi.

Semoga menjadi pencerahan yang bermanfaat, bahan mawas diri bagi pengasuh rubrik untuk rujuk kepada prinsip ahlussunnah, dan nasehat yang membangun untuk semua pembaca, karena kita bersaudara, dan diperintahkan untuk saling mengingatkan di atas kesabaran dan kebenaran sesama kita.

 

Ditulis oleh:
Saudara anda dalam Islam,
Abu Abdirrahman Sofian – semoga memperoleh ampunan Allah –

Artikel ini telah terbit di grup WA al I’tishom pada bulan Jumadal Ula 1438 H

Tinggalkan Balasan