Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Bantahan Terhadap Artikel Berjudul: “Inilah Sejarah yang Benar Tentang Awal Perayaan Maulid Nabi”

Pendahuluan

Para Ulama telah sepakat bahwa peringatan Maulid Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak pernah dilakukan di masa Nabi, para Sahabat, Tabi’in, maupun Atbaaut Tabi’in.

Berikut ini akan disebutkan nukilan ucapan Ulama Syafiiyyah yang menunjukkan hal itu:

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaaniy rahimahullah menyatakan:

أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة

Asal perbuatan (memperingati) Maulid (Nabi) adalah bid’ah yang tidak pernah ternukil dari Salafus Sholih seorangpun dari 3 kurun generasi (awal)…
(al-Haawiy lil Fataawa lis-suyuuthiy (1/282)).

Al-Imam as-Sakhowiy rahimahullah menyatakan:

أصل عمل المولد الشريف لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون الثلاثة الفاضلة، وإنما حدث بعدها بالمقاصد الحسنة

Asal perbuatan (memperingati) Maulid yang mulia tidaklah ternukil dari Salafus Sholih seorangpun pada 3 kurun generasi yang utama. (Peringatan Maulid itu) hanyalah dilaksanakan setelah (3 kurun itu) dengan maksud*) yang baik …
(al-Maulidur Rowiy fil Maulidin Nabawiy karya Mula Ali Qoriy halaman 12)


Catatan:

*) Sekedar berlandaskan maksud yang baik belumlah cukup untuk dikategorikan sebagai amal sholih. Bersama syarat berikutnya berupa kesesuaian dengan tuntunan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menjadi 2 syarat mutlak diterimanya amal ibadah seseorang.


Kami kutipkan di sini sesuai substansi pembahasan inti bahwa kedua Ulama Syafiiyyah itu sepakat bahwa peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilaksanakan pada 3 generasi terbaik (Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Atbaut Tabi’in). Generasi Atbaut Tabi’in adalah hingga tahun 220 Hijriyah. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany rahimahullah menyatakan:

واتفقوا على أن آخر من كان من أتباع التابعين ممن يقبل قوله من عاش إلى حدود العشرين ومئتين

Para Ulama sepakat bahwa akhir Atbaaut Tabiin yang bisa diterima ucapannya adalah yang masa kehidupannya hingga batasan tahun 220 (Hiriyah)
(Fathul Baari karya Ibnu Hajar al-Asqolaany (7/6)).

Sebagian Ahli sejarah menyatakan bahwa Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam meninggal di tahun 11 Hijriyah. Sebagian lagi menyatakan: 12 Hijriyah. Anggaplah kita ambil tahun 12 Hijriyah, berarti selama 208 tahun tidak pernah ada dan tidak pernah terpikir oleh 3 generasi terbaik umat ini untuk mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Benar, tidak pernah terpikir oleh mereka, padahal berbagai kejadian dan pertempuran-pertempuran (jihad) banyak terjadi di masa itu, tapi tidak pernah ada yang berinisiatif untuk memperingati hari kelahiran Nabi dengan alasan membangkitkan kembali semangat juang kaum muslimin. Padahal mereka adalah orang-orang yang kecintaannya kepada Nabi melebihi kecintaan orang-orang setelahnya.

Pada kesempatan ini, sekedar kita ingat kembali keutamaan 3 generasi tersebut, untuk menyadarkan kita bahwa seharusnya mereka menjadi patokan dan teladan kita dalam beragama:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (Nabi dan para Sahabatnya) kemudian yang setelahnya (tabiin) kemudian yang setelahnya (Atbaut Tabiin) kemudian akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya (orang-orang yang banyak berdusta dan tidak bisa dipercaya)
(H.R al-Bukhari dan Muslim)

Juga dalam sebuah hadits:

لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَآنِي وَصَاحَبَنِي , وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ , مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي , وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي , وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ , مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي , وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي

Kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihatku dan menjadi sahabatku (Sahabat Nabi). Demi Allah kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihat orang yang melihatku dan menjadi Sahabat dari Sahabatku (Tabi’in). Demi Allah, kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihat orang yang melihat orang yang melihatku dan menjadi Sahabat dari Sahabat para Sahabatku (Atbaaut Tabi’in)
(H.R Ibnu Abi Syaibah dan al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan sanadnya hasan dalam Fathul Bari).

Setiap perbuatan kebaikan terkait ibadah yang sangat memungkinkan dilakukan di masa para Sahabat Nabi ridhwaanullahi ‘alaihim ‘ajmaiin namun itu tidak dilakukan –bahkan tidak terpikirkan oleh mereka untuk mengerjakannya-, maka sesungguhnya itu bukanlah bagian dari Dienul Islam ini.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ

…Kalau seandainya itu adalah kebaikan, niscaya mereka tidak akan mendahului kita dalam hal itu…
(Q.S al-Ahqoof ayat 11)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan dalam tafsirnya:

وأما أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها

Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah mereka mengatakan pada setiap perbuatan dan ucapan yang tidak ada dari para Sahabat Nabi, maka itu adalah bid’ah. Karena jika hal itu (ucapan atau perbuatan itu) baik, niscaya mereka (para Sahabat Nabi) akan mendahului kita dalam hal itu. Karena mereka (para Sahabat Nabi) tidaklah meninggalkan satu saja perilaku kebaikan kecuali mereka adalah yang terdepan dalam mengerjakannya (Tafsir Ibn Katsir dalam menafsirkan surat al-Ahqoof ayat 11).

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ

…dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan…
(Q.S al-An’aam ayat 153)

Mujahid rahimahullah (seorang Tabi’i) menafsirkan makna “jalan-jalan” itu adalah kebid’ahan dan syubuhat (lihat Tafsir atThobariy).

Sehingga makna ayat itu adalah Allah melarang kita mengikuti jalan kebid’ahan dan syubuhat. Perlu diingat bahwa penafsiran dari Mujahid sering dijadikan acuan oleh al-Imam asy-Syafi’i, Ahmad, bahkan al-Bukhari dalam Shahihnya.

Sahabat Nabi Hudzaifah bin al-Yaman –semoga Allah meridlainya- berkata:

كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فَإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan peluang berbicara (dalam Dien) bagi orang yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu
(Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah).

Umar bin Abdil Aziz rahimahullah menyatakan:

أوصيك بتقوى الله , والإقتصاد في أمره , واتباع سنة رسوله وترك ما أحدث المحدثون بعده مما قد جرت سنته وكفوا مؤونته. واعلم أنه لم يبتدع إنسان قط بدعة إلا قد مضى قبلها ما هو دليل عليها وعبرة فيها. فعليك بلزوم السنة, فإنها لك بإذن الله عصمة. واعلم أن من سن سنة قد علم ما في خلافها من الخطأ والزلل والتعمق والحمق. فإن السابقين الماضين على علم توقفوا. وببصر ناقد كفوا

Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, sederhana dalam menjalankan perintahNya, mengikuti Sunnah RasulNya dan meninggalkan hal-hal yang diada-adakan oleh orang-orang setelahnya. Padahal telah berjalan Sunnah beliau dan mereka telah tercukupi kebutuhannya. Ketahuilah, bahwa tidaklah seseorang melakukan suatu kebid’ahan apapun kecuali telah berlalu sebelumnya (Sunnah) yang menjadi dalil yang menentangnya dan ibroh (pelajaran) di dalamnya. Wajib bagimu berpegangteguh dengan Sunnah. Karena (Sunnah) itu dengan idzin Allah adalah sebagai penjagaan. Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencontohkan suatu Sunnah, ia telah mengetahui bahwa yang menyelisihi Sunnah itu adalah kesalahan, ketergelinciran, terlalu masuk (dalam hal yang tidak perlu, pent), dan kebodohan. Karena (para Sahabat Nabi) terdahulu, mereka berhenti di atas ilmu dan menahan diri (untuk tidak berbuat sesuatu) berdasarkan pandangan yang tajam
(riwayat Ibnul Jauziy dalam kitab Siiroh wa Manaaqib Umar bin Abdil Aziz al-Kholifah az-Zaahid halaman 84)

Sesungguhnya menjelaskan al-haq dan memerangi kebid’ahan adalah jihad dan bagian dari keimanan. Kebid’ahan adalah mengerjakan (ibadah) yang tidak diperintahkan. Berjihad memerangi kebid’ahan sesuai kemampuan adalah bagian keimanan. Minimal, jika tidak mampu dengan tangan atau lisan, kita membencinya dalam hati. Itu adalah selemah-lemahnya iman. Inilah yang diwasiatkan oleh teladan kita yang mulya Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam dalam haditsnya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

Dari Abdullah bin Mas’ud –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah ada seorang Nabipun yang Allah utus kepada umatnya sebelumku kecuali dari umatnya ada Hawawiyyun (para penolong) dan Sahabat-Sahabat (Nabi tersebut) yang mengambil (ajaran) Sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian akan datang setelahnya generasi yang mengucapkan hal yang tidak diperbuat dan mengerjakan hal yang tidak diperintahkan (mengerjakan bid’ah, pent). Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka ia adalah orang yang beriman. Barangsiapa yang berjihad dengan lisannya maka ia adalah orang yang beriman. Barangsiapa yang berjihad dengan hatinya maka itu adalah orang yang beriman. Tidak ada keimanan lagi (yang sempurna) di belakang itu meski sebesar biji sawi
(H.R Muslim dalam Kitabul Iman Bab ke-20 hadits no 80)

Jika kita tidak mampu untuk mengingkari kebid’ahan dengan lisan dan tulisan kita. Minimal kita membencinya dalam hati. Jangan justru menjadi pembela dan pendukungnya. 


Baca juga:


Awal Mula Penyelenggaraan Maulid Nabi

Telah jelas dari paparan di atas bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam belum pernah dilakukan pada masa-masa 3 generasi terbaik umat ini. Lalu, sejak kapan penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi?

Sebagian Ahli Sejarah Islam dan Ulama menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah pemerintahan al-Mu’izz lidiinillah pada tahun 362 Hijriyah (sebagian referensi menyebut 361 Hijriyah). Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Bakhit al-Muthi’iy seorang mufti Mesir terdahulu dalam kitabnya berjudul Ahsanul Kalaam fiimaa yata’allaqu bissunnah wal bid’ah minal ahkaam halaman 44-45. Al-Muizz li diinillah ini adalah keturunan Bani Ubaid al-Fathimiyyun. Ia yang pertama memprakarsai peringatan 6 Maulid: Maulid Nabi, Maulid Ali bin Abi Tholib, Maulid Fathimah, Maulid al-Hasan, Maulid al-Husain, Maulid Khalifah pada saat itu.

Ini juga diperkuat oleh penjelasan al-Maqriziy dalam kitabnya al-Mawaa-‘idzh wal I’tibar, demikian juga Ali Mahfudzh dalam kitabnya al-Ibdaa’ fi Madhaaril Ibtidaa’ halaman 126. Termasuk juga dikuatkan oleh Hasan as-Sandubiy dalam Tarikh al-Ihtifaal bi Maulidin Nabi. Juga tidak ketinggalan Ali al-Jundiy dalam kitabnya Nafkhul Azhaar, dan juga Syaikh Ismail al-Anshariy dalam kitabnya al-Qoulul Fashl fii hukmil Ihtifaal bi maulidi khoyrir Rasul halaman 64 – 72.

Kemudian ada yang menyanggah pernyataan-pernyataan ini. Ditulislah sebuah artikel berjudul “Inilah Sejarah yang Benar tentang Awal Perayaan Maulid Nabi”. Pada artikel itu dinyatakan: “Pernyataan di atas tidak benar sama sekali. Dan jauh dari fakta kebenarannya”. Kemudian penulis artikel tersebut berusaha memaparkan bukti-buktinya.

Namun, sangat disayangkan, ternyata artikel tersebut sangat jauh dari sisi keilmiyahan. Salah sasaran dalam membantah. Tidak mengena sama sekali. Mengapa demikian?

Karena artikel itu sebenarnya ingin membatalkan argumen bahwa pihak yang pertama kali merayakan Maulid Nabi adalah dinasti Fathimiyyun yang merayakan sejak 362 Hijriyah. Artikel itu ditulis untuk menunjukkan siapa yang pertama kali merayakan Maulid Nabi.

Mestinya, kalau ingin membantah argumen tersebut, penulis bisa menempuh beberapa cara:

Pertama, menyebutkan bukti-bukti yang menunjukkan kesalahan pemaparan fakta itu. Misalkan dengan menyatakan: Tidak benar Dinasti Fathimiyyun memerintah di tahun itu. Semestinya di tahun itu yang memerintah adalah raja ini dan ini.

Kedua, jika tidak dengan cara pertama, harusnya penulis menunjukkan bukti adanya pihak yang memperingati Maulid Nabi sebelum tahun 362 Hijriyah.

Jika dua hal ini tercapai, maka gugurlah argumen yang menyatakan bahwa pihak pertama yang merayakan Maulid Nabi adalah Dinasti Fathimiyyun di tahun sekitar 362 Hijriyah.

Tapi ternyata penulis artikel itu salah sasaran. Ia justru mengemukakan bukti-bukti peringatan Maulid yang semuanya di atas tahun 500 Hijriyah! Berikut ringkasan beberapa bukti yang dia kemukakan:

  • Ibnu Jubair seorang Rohalah (lahir tahun 540 Hijriyah)
  • Sulthan Nuruddin Zanki dan Syaikh Umar al-Mulla (wafat tahun 570 Hijriyah).
  • Al-Mudzhoffar, penguasa Irbil, atau yang bernama Abu Said Gokburu bin Zainiddin Ali bin Baktakin (sebagian referensi menyebutkan masa kehidupan beliau adalah tahun 549 sampai 630 Hijriyah).

Artinya, tidak bisa menggugurkan argumen bahwa peringatan Maulid awal adalah di sekitar tahun 362 Hijriyah dengan menyebutkan bukti peringatan Maulid di atas tahun 500-an Hijriyah. Karena hal itu berarti peringatan awal Maulid adalah di sekitar tahun 362 Hijriyah kemudian di tahun-tahun berikutnya ada lagi peringatan Maulid lainnya di atas tahun 500 Hijriyah.

Berikut ini kesimpulan yang dipaparkan oleh Syaikh Bakhit al-Muthi’iy seorang mufti Mesir:

من ذلك تعلم أن مظفر الدين إنما أحدث المولد النبوي في مدينة إربل على الوجه الذي وصف فلا ينافي ما ذكرناه من أن أول من أحدثه بالقاهرة الخلفاء الفاطميون من قبل ذلك فإن دولة الفاطميين انقرضت بموت العاضد بالله أبي محمد عبد الله بن الحافظ بن المستنصر في يوم الإثنين عاشر المحرم سنة سبع وستين وخمسمائة هجرية. وما كانت الموالد تعرف في دولة الإسلام من قبل الفاطميين

Dari hal itulah anda mengetahui bahwa Mudzhaffarud Dien mengadakan (peringatan) Maulid Nabi di kota Irbil dalam bentuk seperti yang sudah disebutkan. Ini tidaklah meniadakan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya bahwa yang pertama kali mengadakannya di Kairo (Mesir) adalah para Khalifah al-Fathimiyyun sebelum itu. Karena Daulah al-Fathimiyyun baru berakhir dengan kematian al-Adhid billaahi Abu Muhammad Abdullah bin al-Hafidz bin al-Mustanshir dari hari Senin tanggal 10 Muharram di tahun 567 Hijriyah. Sebelum dinasti Fathimiyyun, tidaklah dikenal peringatan Maulid-maulid pada negara Islam
(Ahsanul Kalaam fiimaa yata’allaqu bissunnah wal bid’ah minal ahkaam karya Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthi’iy hal 70)

Telah dipaparkan di atas bahwa peringatan Maulid Nabi tidaklah dikenal di kalangan Ulama Salaf (pada 3 generasi terbaik), maka tidaklah menjadikan sesuatu yang bid’ah menjadi Sunnah semata-mata banyaknya orang yang melakukan atau adanya raja yang adil yang melakukannya. Suatu perbuatan kemunkaran tidaklah menjadi kebaikan, meski ia dilakukan oleh orang yang baik. Karena setiap manusia tidaklah ma’shum (terjaga dari kesalahan).

Al-Imam al-Auza-iy rahimahullah –seorang Ulama dari kalangan Atbaaut Tabi’in – menyatakan:

عليك بآثار من سلف ، وإن رفضك الناس ، وإياك وآراء الرجال ، وإن زخرفوا لك بالقول

Wajib bagimu untuk berpegang teguh dengan atsar (ucapan, perbuatan, contoh) dari (Ulama) Salaf. Meskipun manusia meninggalkanmu. Hati-hati engkau (jauhilah) pemikiran-pemikiran manusia (setelahnya yang baru, pent) meskipun mereka memperindah pemikiran-pemikiran baru itu dengan ucapan-ucapan (manis)
(riwayat al-Ajurriy dalam asy-Syari’ah)

Al-Fudhail bin Iyaadl –rahimahullah- menyatakan:

اتبع طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين، وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين

Ikutilah jalan-jalan petunjuk, tidaklah memudharatkanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan itu. Dan hati-hatilah dari jalan-jalan kesesatan, dan jangan tertipu dengan banyaknya orang yang binasa di jalan itu
(dinukil oleh al-Imam anNawawiy dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (8/275))

Banyaknya kaum muslimin yang menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi tidaklah kemudian menjadikan hal itu sebagai Sunnah yang baik diikuti. Pada setiap masa selalu saja ada Ulama Ahlussunnah yang tampil mengingkari hal itu. Seperti al-Imam asy-Syathibiy, Ibnu Taimiyyah (yang digelari sebagai Syaikhul Islam oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy dalam Fathul Baari), Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Ibrohim, Syaikh Bin Baz, dan Ulama-Ulama Ahlussunnah setelahnya.

Tuduhan ‘Menggunting Ucapan al-Maqriziy’

Penulis artikel itu juga menuduh Ahlussunnah menggunting ucapan al-Maqriziy. Sesungguhnya itu hanyalah tuduhan dusta yang tidak berdasar. Berikut penjelasannya:

Pertama, nukilan ucapan al-Maqrizy adalah untuk membuktikan bahwa beliau menyetujui pernyataan bahwa Dinasti Fathimiyyun adalah yang membuat-buat beberapa acara Maulid. Maka nukilan itu sekedar untuk menunjukkan hal itu. Hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan tujuan tersebut, tidak perlu dikutip.

Kedua, sangat jauhnya jarak halaman antara kutipan yang dinukil dengan potongan kalimat yang dituduhkan. Selain itu, pembahasannya sudah berbeda jauh. Ucapan al-Maqriziy yang dinukil dalam sebagian situs Ahlussunnah adalah ada di halaman 118. Sedangkan yang dituduhkan telah digunting pernyataannya ada di halaman 416. Penomoran halaman ini berdasarkan yang terdapat dalam Maktabah Syamilah. Kalimat yang dinukil menceritakan tentang yang terjadi di Mesir, sedangkan kalimat yang dituduhkan adalah membahas tentang yang terjadi di Turki. Sungguh jauh hal tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa anggapan pengguntingan ucapan al-Maqriziy itu hanyalah tuduhan dusta yang dibuat-buat.

Kesalahan Berdalil dengan Puasa Senin

Penulis artikel tersebut juga membuat dalil yang mengada-ada tentang dibolehkannya mengadakan peringatan Maulid. Ia berdalil dengan disunnahkannya puasa Senin yang itu bertepatan dengan hari kelahiran Nabi. Sungguh ini suatu pendalilan yang mengada-ada karena beberapa alasan:

Pertama, Tidak ada satu orangpun Ulama Salaf dari kalangan Sahabat Nabi, Tabi’in, maupun Atbaut Tabi’in yang memahami demikian. Terbukti dengan tidak adanya peringatan Maulid Nabi di masa mereka.

Kedua, Alasan yang lebih kuat dalam disunnahkannya puasa Senin adalah karena pada hari Senin dan Kamis amal seseorang diangkat (ditunjukkan) kepada Allah, dan Nabi suka jika saat amalan beliau diangkat menuju Allah, beliau dalam keadaan berpuasa.

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ

Ditunjukkan amalan-amalan pada hari Senin dan Kamis, dan aku suka amalanku ditunjukkan dalam keadaaan aku berpuasa
(H.R atTirmidzi)

Alasan itu pulalah yang menyebabkan Nabi senang memperbanyak puasa di bulan Sya’ban:

أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Usamah bin Zaid –semoga Allah meridhainya- berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, saya tidak pernah melihat anda berpuasa pada bulan-bulan lain seperti puasa anda di bulan Sya’ban. Nabi menyatakan: Itu adalah bulan saat manusia lalai. Bulan yang berada di antara Rajab dengan Ramadhan. Pada bulan itu amalan-amalan diangkat menuju Rabb semesta alam. Maka aku suka saat amalanku diangkat, aku dalam keadaan berpuasa
(H.R anNasaai)

Ketiga: Nabi shollallahu alaihi wasallam dalam hadits itu ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau mensyariatkan disunnahkannya puasa hari Senin, itu berlangsung tiap pekan. Berbeda dengan pelaksanaan Maulid Nabi yang dilaksanakan tiap tahun.

Demikian sekilas sanggahan terhadap artikel berjudul: “Inilah Sejarah yang Benar tentang Awal Perayaan Maulid Nabi”.

Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, pertolongan, dan taufiq-Nya kepada kaum muslimin.

 

Penulis:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan