Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Mengapa Masih Shalat Dengan Menjaga Jarak dan Bermasker di Masjid Umum?

Saudaraku kaum muslimin…

Tulisan ini dibuat di malam 29 Ramadhan 1442 H/10 Mei 2021 M, saat masih terjangkitnya wabah corona (Covid-19) di seluruh dunia. Dua hari sebelum tulisan ini dibuat, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengutip data dari WHO bahwa Indonesia menjadi salah satu negara di Asia Tenggara dengan kenaikan kasus Covid-19 tertinggi, yaitu 19 persen.

Itulah kenyataan yang terjadi. Bahkan, ditemukan klaster shalat tarawih di Banyuwangi seperti yang ditengarai oleh Kepala Dinas Kesehatan setempat. Ada pula klaster masjid di Bantul Yogyakarta dan di Sragen Jawa Tengah. Di Sragen, hal itu baru diketahui setelah beberapa hari sebelumnya seorang imam dan seorang takmir di suatu masjid meninggal dunia disebabkan Covid-19.

Hal ini menunjukkan bahwa ikhtiar untuk menerapkan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah harus tetap dilaksanakan. Alhamdulillah aktivitas di masjid tidak ditutup total. Kaum muslimin di banyak tempat masih dipersilakan untuk melakukan ibadah di masjid seperti shalat 5 waktu, shalat Jumat, maupun shalat tarawih dan witir berjamaah. Semestinya kesempatan ini dibarengi dengan perasaan dan sikap syukur. Syukur kepada Allah, kemudian syukur kepada pemerintah muslim dengan menaati ketentuan dan imbauan mereka dalam hal yang ma’ruf.

Sebagian pihak banyak yang abai untuk menerapkan protokol kesehatan. Bahkan sebagian pihak justru menghalangi orang-orang untuk menerapkan protokol kesehatan di masjid-masjid dengan dalih yang dibungkus keyakinan agama. Suatu hal yang sangat disayangkan.

Semestinya, kaum muslimin menaati anjuran pemerintah dalam hal-hal yang bersifat ma’ruf berdasarkan ijtihad dari pemerintah muslim tersebut. Apalagi, para Ulama Ahlus Sunnah di luar Indonesia juga mendukung penerapan protokol-protokol kesehatan termasuk ketika shalat di masjid-masjid. Seperti Haiah Kibaril Ulama dan al-Lajnah ad-Daaimah Saudi Arabia. Al-Lajnah ad-Daaimah dalam fatwa nomor 28068 tertanggal 17/9/1441 H membolehkan shalat jamaah dengan shaf berjarak dan menggunakan masker dalam situasi dikhawatirkan penularan virus Corona (Covid-19).

Berbeda jika ketentuan pemerintah kita itu tidak didukung oleh para Ulama Ahlus Sunnah atau sama sekali tidak berdasar. Atau mengubah ketentuan tata cara shalat yang disepakati oleh Ulama sebagai kemunkaran, maka dalam hal itu tidaklah bisa diikuti. Contoh, misalkan pemerintah menyuruh untuk meringkas shalat yang berjumlah 4 menjadi 2 rakaat padahal tidak dalam kondisi safar, atau menyuruh meninggalkan bacaan al-Fatihah dalam shalat, atau menghapus salah satu gerakan rukun dalam shalat dengan alasan pandemi, tentu hal itu tidaklah dibenarkan. Janganlah ditaati dalam hal itu.

Sedangkan apabila pemerintah menetapkan suatu keputusan sesuai ijtihadnya bagi kemaslahatan bersama, semestinya hal itu dipatuhi dan dijalankan. Mengikuti pilihan ijtihad pemerintah muslim meski seandainya berbeda dengan pilihan pendapat yang kita yakini adalah teladan dari Sahabat Nabi. Abdullah bin Mas’ud berpendapat bahwasanya shalat musafir jamaah haji di Mina semestinya qoshor dari yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Namun ketika sang pemimpin yaitu Utsman bin Affan mengimami dengan 4 rakaat, Abdullah bin Mas’ud pun tetap mengikutinya. Ketika ditanya mengapa anda ikut shalat di belakang Utsman padahal anda berpendapat semestinya qoshor? Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu menjawab:

الْخِلَافُ شَرٌّ

Menyelisihi (pemimpin itu) adalah keburukan. (H.R Abu Dawud, asalnya ada dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim)


Silakan dibaca juga:

Bimbingan asy-Syaikh Sholih al-Fauzan hafidzahullah agar muslimin menerapkan protokol kesehatan di masa pandemi

Berdoa Agar Allah Mengangkat Wabah Penyakit

Hujjah di Hadapan Allah bagi yang Taat kepada Pemimpinnya


Shalat dengan Shaf Berjarak

Dalam kondisi normal, shaf dalam shalat berjamaah rapat dan lurus. Itulah yang diperintahkan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Namun, merapatkan dan meluruskan shaf menurut jumhur Ulama adalah sunnah penyempurna, bukan syarat sah atau rukun shalat. Mereka berdalil dengan hadits:

وَأَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ

Dan tegakkanlah shaf dalam shalat. Karena sesungguhnya penegakan shaf (rapat dan lurusnya) adalah bagian dari bagusnya shalat. (H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah)

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ

Lurus dan rapatkan shaf kalian. Karena lurus dan rapatnya shaf termasuk kesempurnaan shalat. (H.R Muslim dari Anas)

Larangan shaf berjarak dalam kondisi normal tidaklah berlaku apabila ada kebutuhan. Sebagai contoh, shalat di antara tiang masjid yang memutus shaf dalam kondisi normal adalah terlarang, sebagaimana hadits Anas bin Malik riwayat Abu Dawud. Namun, dalam kondisi jamaah penuh dan memerlukan tempat, bagian shaf di antara tiang itu boleh terisi. Hilang hukum makruhnya karena ada kebutuhan.

Contoh lain, dalam kondisi normal, seorang yang mampu berdiri tidak boleh shalat wajib dengan duduk. Namun dalam kondisi dibutuhkan karena sakit, ia boleh shalat wajib dengan duduk.

Contoh lain, apabila di suatu lantai masjid terasa panas, bisa saja area itu tidak usah diisi jamaah dulu menunggu dingin. Jamaah menghindar di sisi lain, yang akibatnya shaf menjadi tidak bersambung dan tidak rapat. Hal itu adalah diperbolehkan karena ada keperluan.

ArRomliy –salah seorang Ulama Syafiiyyah- rahimahullah menyatakan:

إنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الْفُرْجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ لَمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِير

Jika mereka menunda untuk menutup celah (shaf) karena udzur seperti waktu panas di masjidil Haram, hal itu tidaklah makruh karena itu bukan karena kelalaian. (Nihayatul Muhtaj (6/129))

Kondisi di masa pandemi yang mudah terjangkit penyakit dalam penelitian medis ilmiah yang diikuti oleh pemerintah, diperlukan jaga jarak antar manusia dalam satu tempat. Karena itu, pemerintah melalui juru bicara penanganan Covid-19 sejak tahun 2020 memerintahkan masyarakat yang beraktivitas di luar rumah untuk menjaga jarak dan memakai masker. Hal itu sudah menjadi perintah, bukan sekedar imbauan. Selama aturan itu belum dicabut, tetap berlaku perintah tersebut.

Shalat dengan Memakai Masker

Hukum asal shalat dengan memakai penutup mulut adalah terlarang (makruh). Berdasarkan hadits:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang seseorang menutup mulutnya saat shalat. (H.R Ibnu Majah, dihasankan Syaikh al-Albaniy)

Namun, dalam kondisi dibutuhkan, adakalanya perlu menutup mulut dengan tangan, misalkan bagi seseorang yang menguap dalam shalat.

إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَضَعْ يَدَهُ عَلَى فِيهِ

Jika salah seorang dari kalian menguap, hendaknya ia meletakkan (menutupkan) tangannya pada mulutnya. (H.R Ibnu Majah Bab Maa Yukrohu fis Sholah, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Sehingga, sesuatu yang asalnya terlarang atau dimakruhkan menjadi boleh karena ada keperluan dan kebutuhan. Demikian juga memakai masker tanpa ada keperluan dalam shalat adalah terlarang. Namun menutup mulut dan hidung itu menjadi boleh karena ada keperluan, seperti asap di sekitar, bau menyengat yang mengganggu kekhusyukan shalat, dan juga pencegahan penularan wabah seperti di masa ini.

Apabila memakai masker di dalam shalat saja dalam kondisi pandemi diperintahkan, terlebih lagi untuk aktivitas lain di luar rumah seperti bekerja, berkunjung, belanja, dan selainnya, justru mestinya lebih ditekankan lagi. Karena ada sebagian saudara kita yang saat shalat di masjid menggunakan masker, namun justru ketika berangkat kerja atau aktivitas di luar rumah ia tidak bermasker. Itu adalah sebuah kesalahan. Semoga Allah Azza Wa Jalla mengampuni dosa dan kesalahan kita untuk diperbaiki di masa mendatang.

Penutup

Maka demikianlah wahai saudaraku, selama imbauan atau aturan pemerintah dalam penerapan protokol kesehatan terkhusus di tempat ibadah belum dicabut, hendaknya kita tetap berusaha menaatinya sesuai kemampuan kita.

Kita menyadari bahwasanya meski seseorang berusaha untuk menerapkan protokol kesehatan, tidaklah menjamin 100% terbebas dari virus itu. Karena semuanya terjadi dengan takdir Allah Azza Wa Jalla. Namun setidaknya, upaya kita menaati waliyyul amr dalam hal yang ma’ruf itu adalah ibadah. Usaha kita untuk melindungi diri dan kaum muslimin agar tidak tertular dan menjadi sakit juga bagian dari ibadah.

Semoga Allah Azza Wa Jalla segera menghilangkan pandemi ini dan memberikan kebaikan selalu bagi pemerintah dan masyarakat kaum muslimin di mana pun berada.

 

Ditulis oleh: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan