Tidak Mau Menerima Hadiah Karena Alasan Tertentu
Secara asal, hadiah dari seseorang hendaknya diterima. Nabi shollallahu alaihi wasallam menerima hadiah dan membalas pemberian hadiah.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
Dari Aisyah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menerima hadiah dan membalas pemberian hadiah
(H.R al-Bukhari)
Nabi shollallahu alaihi wasallam juga berpesan kepada Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu bahwa jika ia mendapatkan harta pemberian tanpa ia harapkan sebelumnya dan ia tidak memintanya, silakan diambil. Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu mengisahkan:
قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُعْطِينِى الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى. حَتَّى أَعْطَانِى مَرَّةً مَالاً فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: خُذْهُ وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pernah memberikan suatu pemberian kepadaku, kemudian aku berkata: Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dibandingkan aku. Hingga beliau di suatu waktu yang lain memberikan harta kepadaku dan aku berkata: Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dibandingkan aku. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Ambillah. Jika datang kepadamu suatu harta dalam keadaan engkau tidak tamak (sangat berharap) dan tidak meminta, ambillah. Jika tidak, janganlah engkau ikutkan jiwamu (untuk berharap mendapatkannya)
(H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz sesuai riwayat Muslim)
Dari hadits ini diambil pelajaran bahwa menerima hadiah adalah wajib (karena Nabi memerintahkan) selama seseorang tidak berharap (tamak) atau meminta hadiah itu dan selama tidak dikhawatirkan adanya mafsadah, misalkan dikhawatirkan orang itu akan mengungkit-ungkit pemberian itu kepada kita. Jika kita menerima hadiah yang memenuhi syarat di atas, hal itu akan menyenangkan hati sang pemberi hadiah. Akan tetapi, jika kita mengetahui (dengan yakin) bahwa sang pemberi hadiah itu sebenarnya kurang ikhlas dalam menyerahkan, ia hanya merasa malu, sungkan, dan semisalnya, maka jangan diterima. Karena posisinya seakan-akan seperti orang yang terpaksa memberi hadiah (faidah penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam atTa’liq ala Shahih Muslim (3/602))
Baca Juga: Pemberian Suami Kepada Istri Atau Istri Kepada Suami Tidak Perlu Ditarik Kembali
Apabila ada dugaan kuat berdasarkan indikasi yang terlihat bahwa pemberian hadiah itu adalah untuk tujuan yang buruk, seperti gratifikasi atau suap kepada pejabat yang berwenang, semestinya hal itu ditolak.
al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyatakan:
بَاب مَنْ لَمْ يَقْبَلِ الْهَدِيَّةَ لِعِلَّةٍ وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَتْ الْهَدِيَّةُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةً وَالْيَوْمَ رِشْوَةٌ
Bab: Barang siapa yang tidak mau menerima hadiah karena alasan tertentu. Umar bin Abdil Aziz berkata: Hadiah di masa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam adalah benar-benar hadiah, sedangkan di hari ini adalah suap
(Shahih al-Bukhari)
Dikutip dari:
Buku “Keteladanan Umar bin Abdil Aziz”, Abu Utsman Kharisman