Tidak Mengambil Alih Kewenangan Pemerintah
Rakyat seharusnya menghormati pemerintahnya yang muslim. Ada wilayah-wilayah yang merupakan bagian kepemimpinan. Rakyat janganlah mengambil alih bagian dari kewenangan pemimpin.
Mengingkari kemungkaran jelas adalah sebuah amal ibadah. Namun, mengingkari kemungkaran sehingga mengakibatkan kemunkaran yang lebih besar adalah sesuatu yang semestinya dihindari.
Apabila pengingkaran terhadap suatu kemungkaran menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, itu menunjukkan ketidakmampuan. Bisa berpindah pada tahapan pengingkaran yang lebih rendah. Jika tidak mampu dengan tangan, ingkari dengan lisan. Jika tidak mampu dengan lisan, ingkari dengan hati, yang itu adalah selemah-lemahnya iman.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaknya ia merubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemahnya iman (H.R Muslim)
Apabila semua rakyat selalu mengingkari kemungkaran dengan tangannya, menindak langsung sesuatu yang dianggapnya mungkar, akan terjadi kekacauan di masyarakat. Bisa terjadi perang saudara antar suku atau antar desa dan wilayah. Karena satu kubu membela penindak dan kubu lain membela yang ditindak.
Penindakan itu adalah kewenangan dari penguasa. Bukan kewenangan rakyat untuk menghukum sendiri orang yang bersalah.
Misalkan pencuri digebuki ramai-ramai hingga pingsan bahkan sebagiannya mati. Kalaupun pemerintah muslim menerapkan hukum Islam, yang berwenang memotong tangan pencuri adalah pemerintah muslim. Bukan dikembalikan pelaksanaannya pada orang per orang.
Apabila terjadi pembunuhan, penegakan hukum qishosh adalah kewenangan pemerintah muslim. Bukan dilakukan oleh setiap orang.
Rakyat pun tidak boleh menyebar berita yang belum jelas kebenarannya. Apalagi berita-berita yang bisa menimbulkan kepanikan dan perasaan tidak aman.
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Dan jika datang kepada mereka perkara (berita) berupa keamanan atau hal yang menakutkan, mereka segera menyebarkannya. Kalau seandainya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan pemimpin muslim, niscaya kebenaran beritanya akan diketahui oleh orang yang menggali informasi dari mereka… (Q.S anNisaa’ ayat 83)
Begitu pula komando jihad untuk melakukan penyerangan ke luar adalah di tangan pemerintah muslim. Bukan dikembalikan pada inisiatif pribadi masing-masing.
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Pemimpin adalah tameng. Rakyat berperang di belakangnya dan berlindung di baliknya (H.R Muslim)
Merupakan hak pemerintah muslim untuk menghalangi rakyat di wilayah pemerintahannya yang ingin berangkat jihad sendiri-sendiri ke negara lain.
Penentuan kapan mulai berpuasa Ramadhan, kapan melaksanakan Iedul Fitri dan Iedul Adha, juga adalah kewenangan dari pemerintah muslim. Boleh saja masing-masing pihak menyampaikan masukan dan usulan yang dipandang terbaik, tapi keputusan akhir adalah pada ketetapan pemimpin muslim.
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
(Hari) berpuasa adalah pada saat kalian (bersama-sama) berpuasa. Dan (hari) berbuka adalah pada saat kalian sama-sama berbuka. Dan (hari) penyembelihan kalian adalah saat kalian (bersama-sama) menyembelih (H.R atTirmidzi)
Pemimpinlah yang memutuskan, sehingga bisa menjadi acuan bersama bagi kaum muslimin yang berada di bawah kepemimpinannya.
Penentuan kapan para imam di masjid-masjid dianjurkan untuk melakukan qunut nazilah, juga kewenangan dari pemerintah muslim.
Apabila terjadi kondisi darurat bencana di suatu negeri, pemerintahlah yang berwenang untuk mengumumumkan situasi itu dan memberikan arahan dan aturan yang harus dipatuhi oleh rakyat muslim yang berada di bawah kepemimpinannya.
Termasuk ketika terjadi situasi darurat pandemi. Pemerintah berhak untuk mengatur kewajiban memakai masker, menjaga jarak, melakukan vaksinasi, dan penerapan protokol-protokol kesehatan yang diperlukan. Pemerintah pula yang berwenang untuk mencabut status itu, menaikkan atau menurunkan level kesiagaan yang diperlukan.
Perintah untuk menaati pemimpin muslim dalam hal yang ma’ruf adalah bagian dari kasih sayang Allah kepada manusia, agar kehidupan mereka lebih tertata dan terarah di bawah bimbingan pemimpin untuk kemaslahatan bersama.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan penguasa/ Ulama di antara kalian…(Q.S an-Nisaa’ ayat 59)
Dikutip dari: Buku “Islam Rahmatan Lil Alamin (Menebarkan Kasih Sayang dalam Bimbingan al-Quran dan Sunnah), Abu Utsman Kharisman