Hubungan Rakyat dan Pemerintah yang Indah
Dalam kehidupan ini kita berbagi peran. Ada yang menjadi pemimpin, ada yang menjadi bawahan. Ada pemerintah dan penguasa, ada pula rakyat yang di bawah kepemimpinannya.
Dalam shalat berjamaah, ada pembiasaan rakyat mengikuti arahan pemimpinnya. Saat imam (pemimpin shalat) bertakbir, para makmum mengikutinya. Demikian juga gerakan-gerakan shalat lainnya, makmum tidaklah mendahului imam. Menunggu komando dan kemudian mengikutinya. (Disarikan dari Fathu Dzil Jalaali wal Ikraam Kitabus Sholah Bab Shalatil Jama’ah wal Imamah karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin).
Seorang yang beriman mudah diarahkan pada kebaikan. Saat ia diarahkan oleh pemimpin muslim pada kemaslahatan, ia akan mudah menerima.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا قِيدَ انْقَادَ
Wajib bagi kalian untuk bersikap taat (kepada pemimpin) meski ia adalah budak dari Habasyah (Etiopia). Hanyalah seorang mukmin itu bagaikan unta jinak. Ke mana diarahkan (dalam kebaikan), ia mengikuti (H.R Ibnu Majah)
Rakyat yang baik akan menaati pemimpin muslimnya dalam hal yang ma’ruf. Selama tidak diperintah untuk bermaksiat kepada Allah Azza Wa Jalla.
Apabila seorang rakyat melihat hal yang tidak disukai pada pemimpinnya, Nabi shollallahu alaihi wasallam menganjurkan untuk bersabar.
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barang siapa yang melihat sesuatu yang dibencinya ada pada penguasa, maka bersabarlah. Karena barang siapa yang memisahkan diri sejengkal dari Jamaah (kaum muslimin di bawah pemerintahan yang sah), maka ia mati dalam keadaan mati Jahiliyyah (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Apabila ada nasihat yang ingin disampaikan pada penguasa atau pemimpin, seorang rakyat muslim yang baik semestinya tidak mengumbar kesalahan penguasa di hadapan khalayak ramai. Jika ia mampu, ia sampaikan nasihat itu langsung secara empat mata, tanpa harus diketahui pihak lain.
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُكَلِّمُهُ بِهَا عَلَانِيَةً، وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ، وَلْيُخْلِ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَهَا قَبِلَهَا، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barang siapa yang memiliki nasehat kepada penguasa, janganlah disampaikan dengan terang-terangan. Tapi peganglah tangannya dan bicarakan berdua dengannya. Jika ia mau menerima, maka akan diterima olehnya. Jika tidak, maka engkau telah menunaikan kewajibanmu terhadapnya (H.R al-Hakim, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Dzhilalul Jannah)
Usamah bin Zaid pernah ditanya oleh seseorang:Tidakkah engkau masuk ke Utsman bin Affan dan berbicara kepadanya?
Usamah bin Zaid menjawab:
أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ وَاللَّهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ
Apakah engkau menganggap bahwa pembicaraanku dengannya pasti aku perdengarkan kepada kalian? Demi Allah aku telah berbicara berdua dengan dia saja (H.R Muslim)
Seseorang bertanya kepada Sahabat Nabi Ibnu Abbas tentang beramar ma’ruf nahi munkar terhadap pemimpin. Ibnu Abbas menjawab:
فَإِنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَفِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ
Jika engkau harus melakukannya, maka lakukanlah dengan penyampaian yang hanya antara engkau dan dia saja yang tahu (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya)
Jika tidak mampu memberikan nasihat kepada pemimpin, doakan kebaikan untuknya. Doakan agar Allah memberikan hidayah kepadanya, mengokohkannya dalam ketaatan, memberikan teman-teman dekat yang mendukungnya dalam kebaikan, dan berbagai kebaikan-kebaikan lainnya.
Al-Imam al-Barbahary rahimahullah menyatakan: Jika engkau melihat seseorang mendoakan (keburukan) terhadap penguasa, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu. Jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah pengikut sunnah, insyaAllah (Syarhussunnah lil Barbahary)
Nabi shollallahu alaihi wasallam melarang untuk mencerca dan menjelek-jelekkan penguasa muslim.
لَا تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ، وَلَا تَغِشُّوهُمْ، وَلَا تَبْغَضُوهُمْ، وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاصْبِرُوا؛ فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيبٌ
Janganlah kalian mencela para pemimpin kalian, jangan menipu mereka, jangan marah kepada mereka, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, karena urusannya sudah dekat (H.R Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah)
Sahabat Nabi Anas bin Malik radhiyallahu anhu menyatakan:
كَانَ اْلأَكَابِرُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَنَا عَنْ سَبِّ اْلأُمَرَاءِ
Para pembesar dari Sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang kami dari mencela para pemimpin (riwayat Ibnu Abdil Bar dalam atTamhid)
Sahabat Nabi Abud Darda’ radhiyallahu anhu menyatakan:
وإنَّ أوَّل نِفَاقِ الْمَرْءِ طَعْنُهُ عَلَى إِمَامِهِ
Sesungguhnya awal kemunafikan pada seseorang adalah celaannya kepada pemimpinnya (riwayat Ibnu Abdil Bar dalam atTamhid dan Ibnu Asakir)
Seorang yang menjadi pemimpin, sesungguhnya mengemban amanah yang sangat berat. Jika ia tidak adil, akan binasa dengan ketidakadilannya.
مَا مِنْ أَمِيرِ عَشَرَةٍ إِلَّا يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْلُولًا لَا يَفُكُّهُ إِلَّا الْعَدْلُ أَوْ يُوبِقُهُ الْجَوْرُ
Tidaklah ada seorang yang menjadi pemimpin dari 10 orang kecuali akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan terbelenggu. Tidak bisa terlepas dari belenggu itu kecuali jika dia bersikap adil, atau binasa oleh ketidakadilannya (H.R Ahmad,al-Baihaqy, ad-Daarimy, dishahihkan Syaikh al-Albany dalam as-Shahihah)
Keadilan yang sebenarnya adalah jika kepemimpinannya senantiasa berlandaskan bimbingan al-Quran dan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam. Karena aturan-aturan al-Quran dan Sunnah adalah berdasarkan wahyu dari Allah Yang Maha Adil. Ketetapan Allah dan Rasul-Nya dalam syariat Islam adalah yang paling adil.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
فَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ يَعْدِلْ اللَّهُ وَرَسُولُه
Siapa lagi yang bisa adil, jika Allah dan Rasul-Nya tidak (dianggap) adil? (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Karena itu, seorang pemimpin muslim yang baik harus bersemangat untuk mempelajari aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Quran maupun hadits-hadits Nabi yang shahih. Kemudian ia berjuang untuk menerapkan dan menyebarluaskannya.
Pemimpin yang berkhianat pada rakyatnya, terancam tidak akan mencium bau surga.
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin, kemudian tidak melingkupi kepemimpinan dengan anNashihah (kebaikan dan amanah) pada rakyatnya kecuali ia tidak akan mendapatkan bau surga (H.R alBukhari)
Seorang pemimpin semestinya berkasih sayang terhadap rakyatnya. Agar ia mendapat kasih sayang dari Allah Azza Wa Jalla sebagaimana doa Nabi shollallahu alaihi wasallam:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِه
Ya Allah barang siapa yang mengurusi urusan ummatku (menjadi pemimpin) kemudian menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Barang siapa yang mengurusi urusan umatku, kemudian bersikap kasih sayang terhadap mereka, sayangilah dia (H.R Muslim)
Pemimpin yang terbaik adalah yang mencintai rakyatnya dan rakyatnya pun mencintai dia. Pemimpin itu mendoakan kebaikan untuk rakyatnya, dan rakyatnya pun mendoakan kebaikan untuk pemimpinnya.
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ
Para pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka (H.R Muslim)
Interaksi yang baik antara pemimpin dan rakyat adalah yang sama-sama dilandasi ketakwaan kepada Allah, tulus mengharapkan kebaikan, ikhlas, didasari ilmu agama yang benar, prasangka baik, kepercayaan, maupun cinta dan kasih sayang.
Pemimpin berjuang keras untuk menerapkan keadilan. Ia menjaga agar jangan sampai terjadi ketidakadilan di wilayah kekuasaannya. Ia pilih pejabat-pejabat yang baik dan bertakwa kepada Allah. Ia memiliki sifat kuat dan tegas dalam menerapkan kebenaran. Tidak memanfaatkan kepemimpinannya untuk memperkaya diri atau kelompoknya.
Ia pun bermusyawarah dengan orang-orang berilmu dan sholih sebelum memutuskan kebijakannya. Ia sangat mengharapkan nasihat dan teguran jika ia salah dan menyimpang. Pemimpin yang sayang pada rakyatnya sangat tidak suka jika rakyatnya menderita atau mengalami kesulitan.
Rakyat pun mencintai pemimpinnya. Mendoakan kebaikan untuk pemerintahnya. Rakyat berprasangka baik bahwa para pemimpin memang berjuang untuk kebaikan bersama. Jika ada kebijakan yang dirasa berat, rakyat mengedepankan prasangka baik bahwa kebijakan itu sudah melalui serangkaian pemikiran dan pertimbangan yang matang sebagai solusi yang dianggap terbaik.
Kalaupun ada yang salah pada kebijakan pemerintah, rakyat menyampaikan nasihat dengan baik, hikmah, dan etika Islami. Mereka pun mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah dan menjaga nama baik pemerintah di hadapan rakyat lainnya.
Keadaan rakyat menentukan keadaan pemimpinnya. Jika rakyat baik, pemimpinnya akan baik. Jika rakyat buruk, pemimpinnya juga akan buruk, sebagai balasan dari Allah atas perbuatan mereka.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah, kami jadikan sebagian orang dzhalim menguasai/ memimpin orang dzhalim yang lain disebabkan perbuatan mereka (Q.S al-An’am:129)
Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma menyatakan:
إِذَا رَضِيَ اللهُ عَنْ قَوْمٍ وَلَّى أَمْرَهُمْ خَيِارَهُمْ، إِذَا سَخِطَ اللَّهُ عَلَى قَوْمٍ وَلَّى أَمْرَهُمْ شِرَارَهُمْ
Jika Allah meridhai suatu kaum, Allah akan jadikan pemimpin untuk mereka adalah orang terbaik di antara mereka. Jika Allah murka pada suatu kaum, Allah jadikan pemimpin mereka adalah orang terburuk di antara mereka (Tafsir alQurthuby (7/85))
Al-A’masy menyatakan: Jika manusia telah rusak, Allah jadikan pemimpin mereka adalah yang terburuk di antara mereka (ad-Durrul Mantsur karya as-Suyuthy (4/134))
Ka’ab al-Ahbar menyatakan:
إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى نَحْوِ قُلُوبِ أَهْلِهِ، فَإِذَا أَرَادَ صَلَاحَهُمْ بَعَثَ عَلَيْهِمْ مُصْلِحًا، وَإِذَا أَرَادَ هَلَكَتَهُمْ بَعَثَ فِيهِمْ مُتْرَفِيهِمْ
Sesungguhnya pada setiap zaman terdapat raja/ penguasa yang Allah utus sesuai keadaan hati rakyatnya. Jika Allah menginginkan kebaikan mereka, Allah utus untuk mereka seorang yang melakukan perbaikan (sebagai pemimpin). Dan jika Allah menghendaki kebinasaan mereka, Allah utus orang-orang yang suka mengumbar hawa nafsu (riwayat alBaihaqy dalam Syuabul Iman).
Dikisahkan bahwa Al-Hasan al-Bashri pernah mendengar seseorang mendoakan keburukan untuk al-Hajjaj –pemimpinnya-, kemudian beliau menyatakan:
لاَ تَفْعَلْ- رَحِمَكَ اللهُ- إِنَّكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أُوْتِيْتُمْ ، إِنَّمَا نَخَافُ إِنْ عُزِلَ الْحَجَّاجُ أَوْ مَاتَ أَنْ يُتَوَلَّى عَلَيكُم الْقِرْدَة وَالْخَنَازِيْر
Janganlah engkau melakukannya, semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya kalian diberi sesuai keadaan kalian. Aku khawatir kalau al-Hajjaj lengser atau dia mati, kalian akan dipimpin oleh kera dan babi-babi (Adabul Hasan al-Bashri karya Ibnul Jauzi)
Sehingga apabila mendapat musibah pemimpin yang buruk, introspeksi diri yang dilakukan oleh pribadi-pribadi muslim adalah banyak beristighfar dan bertobat kepada Allah serta mendoakan kebaikan untuk pemimpinnya.
Dikutip dari buku “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” (Menebarkan Kasih Sayang dalam Bimbingan al-Quran dan Sunnah), Abu Utsman Kharisman