Bijak Dalam Memahami Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat antar manusia adalah suatu keniscayaan. Beda kepala, beda hati, beda pandang, latar belakang, dan pengalaman, menghasilkan beda usulan dan sikap.
Perbedaan itu ada yang harus ditoleransi sebagai hal-hal yang tidak diingkari. Apabila sama-sama merujuk pada bimbingan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada dalil yang tegas dalam suatu permasalahan, sehingga masuk dalam ranah ijtihadiyyah, harus saling lapang dada menerima perbedaan.
Ada pula yang harus dilihat sebagai sesuatu yang benar dan salah. Apabila ada dalil shahih yang tegas menunjukkan penyimpangan suatu pandangan, seorang muslim harus tunduk pada ketetapan yang jelas dari Allah dan Rasul-Nya.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
…jika kalian berselisih pendapat tentang suatu hal, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika memang kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu adalah lebih baik dan lebih indah hasil akhirnya
(Q.S anNisaa’ ayat 59)
Apabila sudah ada dalil tegas dalam alQuran atau hadits yang shahih, tidak ada pilihan bagi orang beriman melainkan tunduk pada dalil tersebut. Tidak mengikuti hal lain yang menyelisihinya.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya ucapan orang yang beriman jika diajak menuju Allah dan Rasul-Nya sebagai pemutus hukum terhadap perselisihan yang terjadi antar mereka adalah dengan mengatakan: kami mendengar dan taat. Mereka itu adalah orang-orang yang beruntung
(Q.S anNuur ayat 51)
Ada ancaman yang keras bagi orang yang sudah tegas dalil tentang suatu permasalahan dari Rasul, namun ia tetap memilih bersikap bertentangan dengan dalil itu, dikhawatirkan Allah akan membuat dia berpaling tanpa petunjuk.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barang siapa yang menyelisihi Rasul, setelah jelas baginya petunjuk, dan menyelisihi selain jalan orang-orang beriman, Kami akan memalingkan ia ke arah berpalingnya, dan Kami akan memasukkan ia ke dalam Jahannam, yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali
(Q.S anNisaa’ ayat 115)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:
إِذَا وَجَدْتُمْ سُنَّةً لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاتَّبِعُوْهَا وَلَا تَلْتَفِتُوْا إِلَى أَحَدٍ
Jika kalian mendapati sunnah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, ikutilah (sunnah) itu, dan janganlah kalian berpaling untuk mengikuti ucapan orang lain
(riwayat al-Harowiy dalam Dzammul Kalaam wa Ahlihi (3/15))
Sebagai contoh, apabila ada perbedaan pendapat: Apakah seorang wanita berhak menikahkan dirinya tanpa adanya wali? Sebagian orang berpendapat tidak boleh, dan sebagian lagi berpendapat boleh.
Dalam hal semacam ini, kita harus merujuk pada alQuran dan Sunnah Nabi. Adakah dalil tegas yang shahih tentang hal itu? Apabila ada, itulah yang harus diikuti. Tidak boleh mengikuti pendapat lain.
Ternyata, setelah dikaji, ada dalil tegas yang melarang wanita menikah tanpa wali. Di antaranya:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Tidak ada pernikahan (yang sah) tanpa ada wali
(H.R Abu Dawud)
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya, maka pernikahannya adalah batil. Beliau mengucapkan demikian 3 kali
(H.R Abu Dawud dari Aisyah)
Sehingga, kita harus kokoh dalam prinsip bahwasanya wanita muslimah tidak boleh menikah tanpa wali.
Meskipun ada pendapat Ulama yang membolehkannya. Karena dalilnya tegas dan shahih, tidak mengandung makna yang lain. Tidak boleh kita mempersilakan wanita muslimah menikah tanpa wali dengan alasan toh ada perbedaan pendapat Ulama dalam hal itu.
Baca Juga: Tetap Bersaudara dalam Perbedaan Pendapat yang Bisa Ditoleransi
Kaum muslimin harus memiliki prinsip yang kuat berlandaskan ilmu yang kokoh terkait agamanya.
Hal-hal yang bertentangan dengan ajaran alQuran dan Sunnah, adalah sesuatu hal yang salah, dan justru bertentangan dengan asas kasih sayang. Karena kasih sayang yang sebenarnya adalah yang ditebarkan melalui sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam.
Kita diperintah untuk menerapkan aturan agama sesuai dalil yang shahih, dan jangan berpecah belah atau berselisih terhadapnya.
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا
Dia (Allah) mensyariatkan untuk kalian (ajaran) agama yang diwasiatkan kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepadamu, maupun Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu agar kalian menerapkan (perintah) agama, dan janganlah bercerai berai…
(Q.S asy-Syura ayat 13)
Kalau ada sebagian Ulama yang keliru dalam ijtihadnya, kita berprasangka baik bahwa bisa jadi belum sampai hujjah kepada mereka. Karena mereka semua Ulama Ahlussunnah memiliki tekad yang sama bahwa jika ada suatu hadits yang shahih, itulah yang mereka ikuti. Namun, kesalahan ijtihad itu harus dijelaskan agar tidak diikuti, apabila bertentangan dengan nash yang shahih.
Baca Juga: Macam-Macam Perbedaan Pendapat Ulama
Adakalanya suatu perbedaan pendapat memiliki sisi pandang yang bisa dibenarkan, karena sama-sama merujuk pada suatu dalil, namun ada pemahaman yang berbeda dalam menerapkan dalil itu.
Sebagaimana perintah Nabi kepada para Sahabat untuk jangan shalat Ashar hingga tiba di Bani Quraidzhah. Sebagian Sahabat ada yang memahami bahwa perintah itu adalah selama tidak keluar dari waktu Ashar, sehingga ada yang shalat Ashar saat masih di perjalanan. Ada pula yang tetap tidak melakukan shalat Ashar hingga tiba di Bani Quraidzhah meski sudah keluar dari waktu Ashar, karena berpegangan dengan redaksi tekstual hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam tersebut. Keduanya tidak disalahkan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنَ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Dari Ibnu Umar ia berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada kami ketika pulang dari al-Ahzab: Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian shalat Ashar kecuali di (perkampungan) Bani Quraidzhah. Maka sebagian Sahabat ada yang mendapati waktu Ashar di jalan. Sebagian mereka berkata: Kita tidak akan shalat (Ashar) hingga tiba di sana. Sedangkan sebagian yang lain berkata: Kita mestinya shalat di sini, karena bukan itu yang beliau maksudkan dari kita. Disampaikanlah hal itu kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka.
(H.R al-Bukhari)
Bisa jadi, memang dari kedua pendapat itu ada yang lebih dekat pada kebenaran. Pendapat yang lebih dekat pada kebenaran akan menghasilkan pahala yang lebih besar ketika lebih sesuai dengan sunnah. Karena ketepatan dengan sunnah akan membuat suatu amalan mendapat pahala yang berlipat. Bisa sepuluh kali lipat, bahkan 700 kali lipat atau lebih. Sedangkan yang salah dalam ijtihadnya, namun bersusah payah untuk melaksanakan suatu ibadah, mungkin saja akan mendapatkan pahala 2 kali.
Sebagaimana pernah terjadi di masa Nabi shollallahu alaihi wasallam dua orang Sahabat yang sebelumnya shalat dengan bertayammum. Selesai shalat, ternyata baru ditemukan air. Satu Sahabat mengulang shalat dengan berwudhu lagi, sedangkan satu Sahabat yang lain tidak mengulang shalatnya. Nabi menjelaskan bahwa Sahabat yang mengulangi shalatnya mendapatkan 2 pahala, sedangkan yang tidak mengulangi shalatnya sesuai dengan sunnah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
Dari Abu Said al-Khudry –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Dua orang (Sahabat Nabi) safar kemudian datanglah waktu shalat sedangkan mereka berdua tidak mendapatkan air. Kemudian keduanya bertayammum dengan tanah yang baik (suci). Keduanya kemudian shalat. Kemudian (setelah shalat) mereka menemukan air pada saat masih ada waktu shalat. Salah seorang dari mereka kemudian mengulangi shalat dengan berwudhu, sedangkan satu orang lagi tidak mengulang shalatnya. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan memberitahukan hal itu. Maka Nabi bersabda kepada Sahabat yang tidak mengulangi shalat: “Engkau telah sesuai dengan sunnah, dan shalatmu telah mencukupi”. Kemudian Nabi bersabda kepada yang mengulangi shalat: “Engkau mendapat pahala dua kali.”
(H.R Abu Dawud, dishahihkan al-Hakim disepakati adz-Dzahaby dan al-Albany)
Karena itu, masih tetap perlu untuk mengkaji dalil-dalil yang mendasari perbedaan pendapat itu kemudian dipilih mana yang dirasa lebih dekat pada kebenaran. Bukannya mencukupkan pada perbedaan pendapat tanpa merujuk pada dalilnya. Atau cukup pasrah menerima semua dengan alasan masing-masing ada Ulama yang berpendapat demikian.
Baca Juga: Bolehkah Saling Membiarkan Perbedaan Prinsip Dalam Agama?
Beberapa contoh perbedaan pendapat Ulama yang berada dalam ranah ijtihadiyyah yang mestinya kita saling berlapang dada dan tidak mengingkari satu sama lain:
- Apakah saat i’tidal dalam shalat, posisi tangan bersedekap atau berada di samping tubuh?
- Apakah disyariatkan membaca sholawat pada duduk tasyahhud yang pertama?
- Ketika imam membaca al-Fatihah dengan keras, apakah makmum juga masih harus membaca al-Fatihah?
- Apakah disyariatkan khotib saat berkhotbah Jumat bertumpu pada tongkat saat di atas mimbar?
- Apabila seorang mayit berwasiat pada orang yang bukan ahli waris, sedangkan ia tidak memiliki ahli waris sama sekali, apakah wasiat itu boleh seluruh harta atau maksimal sepertiga harta peninggalannya?
- Apakah disyariatkan membaca surah Yasin untuk orang yang akan meninggal dunia?
- Apakah wanita hamil atau menyusui yang tidak bisa berpuasa Ramadhan harus mengganti di hari lain atau cukup membayar fidyah?
- Apakah anak laki-laki bisa menjadi wali dalam pernikahan ibunya?
- Apakah lebih utama shalat tarawih berjamaah di masjid bagi laki-laki, ataukah di rumah?
- Berapakah jumlah minimal orang laki-laki yang ikut dalam shalat Jumat di suatu tempat?
Sepuluh poin di atas adalah contoh-contoh perbedaan pendapat yang tidak ada dalil shahih tegas yang menjadi pemutus perkara, sehingga masuk dalam ranah ijtihadiyyah. Masih banyak contoh yang lain. Tidak boleh mengingkari saudara kita yang berbeda pendapat dengan kita dalam hal itu.
Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah menyatakan:
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ فَلَا تَنْهَهُ
Jika engkau melihat seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperselisihkan, sedangkan engkau berpandangan selainnya, janganlah engkau melarangnya.
(riwayat Abu Nuaim dalam Hilyatul Awliyaa’)
Namun, jangan menghalangi kita untuk mengkaji dalil yang mendasari perbedaan pendapat itu dalam rangka mencari manakah yang lebih dekat pada kebenaran.
Jangan sampai perbedaan pendapat dalam hal-hal semacam itu menjadikan sebab perpecahan dan saling membenci.
Dikutip dari:
Buku “Islam Rahmatan Lil Alamin (Menebarkan Kasih Sayang dalam Bimbingan al-Quran dan Sunnah)”, Abu Utsman Kharisman