Orang Beriman yang Hakiki Tidak Akan Sempurna Merasakan Nikmatnya Kemaksiatan

Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan:
وَالْمُؤْمِنُ لَا تَتِمُّ لَهُ لَذَّةٌ بِمَعْصِيَةٍ أَبَدًا، وَلَا يَكْمُلُ بِهَا فَرَحُهُ، بَلْ لَا يُبَاشِرُهَا إِلَّا وَالْحُزْنُ مُخَالِطٌ لِقَلْبِهِ، وَلَكِنَّ سُكْرَ الشَّهْوَةِ يَحْجُبُهُ عَنِ الشُّعُورِ بِهِ، وَمَتَى خَلَّى قَلْبَهُ مِنْ هَذَا الْحُزْنِ، وَاشْتَدَّتْ غِبْطَتُهُ وَسُرُورُهُ فَلْيَتَّهِمْ إِيمَانَهُ، وَلْيَبْكِ عَلَى مَوْتِ قَلْبِهِ، فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ حَيًّا لَأَحْزَنَهُ ارْتِكَابُهُ لِلذَّنْبِ، وَغَاظَهُ وَصَعُبَ عَلَيْهِ، وَلَا يُحِسُّ الْقَلْبُ بِذَلِكَ، فَحَيْثُ لَمْ يُحِسَّ بِهِ فَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ
“Seorang mukmin tidak akan pernah merasa nikmat dalam bermaksiat, dan tidak benar-benar bergembira karenanya. Bahkan dia tidaklah melakukan maksiat itu kecuali kesedihan menyelimuti hatinya. Namun mabuk nafsu menutupi perasaan itu. Apabila (saat bermaksiat) hatinya kosong dari kesedihan sedangkan kegembiraan serta sukacitanya justru bertambah, maka dia perlu mencurigai imannya dan hendaknya ia menangis atas kematian hatinya. Karena jika hatinya masih hidup, melakukan dosa pasti membuatnya bersedih, marah, dan merasa berat. Jika hati tidak merasakannya, luka tidaklah terasa menyakitkan bagi sesuatu yang mati.”
Sumber: Madarijus Salikin 1/198-199