Batas Minimal Masa Menunaikan I’tikaf
Di masa pandemi ini banyak masjid dituntut melakukan pengetatan dan pembatasan. Termasuk dalam hal pelaksanaan i’tikaf di 10 hari terakhir Ramadhan. Karena sebagian pendapat ulama ada yang menyebutkan batas minimal sehari atau lebih, beberapa jamaah masjid terpaksa membatalkan rencana beri’tikaf. Memang penentuan batas minimal periode i’tikaf merupakan ranah ijtihad yang rentan terjadi perbedaan pendapat. Namun sebagai upaya memahami dan memaklumi sebagian saudara kita yang juga tetap menjalankan i’tikaf walaupun tanpa bermalam, berikut disebutkan sebagian pendapat ulama yang memperbolehkannya. Semoga dapat menjadi opsi penunaian minimal walaupun belum bisa mencapai cara yang lebih utama sebagaimana dicontohkan selama 10 hari penuh oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula diharapkan kita dapat memaklumi dan tetap menjaga persaudaraan dengan hangat setelah memahaminya.
Al Hafidz An Nawawi rahimahullah menyebutkan:
وأما ﺃﻗﻞ اﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻓﻔﻴﻪ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﻭﺟﻪ (ﺃﺣﺪﻫﺎ) ﻭﻫﻮ اﻟﺼﺤﻴﺢ اﻟﻤﻨﺼﻮﺹ اﻟﺬﻱ ﻗﻄﻊ ﺑﻪ اﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﺃﻧﻪ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﻟﺒﺚ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺠﺪ ﻭﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ اﻟﻜﺜﻴﺮ ﻣﻨﻪ ﻭاﻟﻘﻠﻴﻞ ﺣﺘﻰ ﺳﺎﻋﺔ ﺃﻭ ﻟﺤﻈﺔ ﻗﺎﻝ ﺇﻣﺎﻡ اﻟﺤﺮﻣﻴﻦ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬا ﻻ ﻳﻜﻔﻲ ﻣﺎ ﻓﻲ اﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻓﻲ اﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭاﻟﺴﺠﻮﺩ ﻭﻧﺤﻮﻫﻤﺎ ﺑﻞ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﺴﻤﻰ ﻋﻜﻮﻓﺎ ﻭﺇﻗﺎﻣﺔ
“Adapun durasi waktu minimal melakukan i’tikaf, terdapat 4 pendapat;
Yang pertama -dan inilah yang valid termaktub- dimana jumhur ulama memilihnya, bahwa sekedar dipersyaratkan berdiam di masjid walaupun sesaat atau sejenak saja. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Al Haramain¹) dan selainnya. Berdasarkan ketentuan ini belumlah mencukupi batas minimalnya dengan sekedar masa seperti tumakninah dalam rukuk ataupun sujud dan semisalnya. Akan tetapi mesti ada tambahan masa hingga pantas disebut berdiam dan tinggal…”
(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab hal. 489)
baca juga:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, ketika beliau ditanya tentang waktu minimal melakukan i’tikaf? Beliau rahimahullah menjawab (sumber fatwa):
ما في حد محدود، الاعتكاف يومًا أو نصف يوم أو ساعة أو ساعتين، إذا نوى بجلوسه التعبد والقراءة ونحوها في المسجد فهذا نوع اعتكاف، ولو ساعة أو ساعتين، ما في حد محدود
“Tidak ada batasan tertentu. I’tikaf sehari atau setengah hari, baik satu ataupun dua jam, apabila seseorang meniatkan kondisi duduknya di masjid dalam rangka beribadah, membaca al Quran, dan semisalnya maka hal ini terkategorikan bagian i’tikaf. Walaupun hanya satu ataupun dua jam. Tidak ada batasan tertentu.”
Demikian pula ditegaskan oleh Syaikh Sholih Al Fauzan, jawaban serupa ketika beliau ditanya:
“Apakah batas minal waktu mengerjakan i’tikaf adalah semalam ataukah sehari, sebagaimana dalam hadits Umar?²)
Beliau hafidzahullah menjawab (sumber fatwa):
ليس له حد، حتى ولو ساعة، يقول الفقهاء ولو ساعة، لأنه ما جاء تحديده في الشرع
“Tidak ada batasan. Sampaipun walau hanya sesaat. Para ahli fiqh menyatakan “walaupun sesaat saja”. Karena memang tidak diperoleh batasannya dalam syariat.”
______________
Catatan kaki:
¹) Syaikh Rabi’ Al Madkhali hafidzahullah menuliskan catatan kaki tentangnya:
“Beliau adalah Al Allamah Al Kabir Abdul Malik bin Abdillah bin Yusuf bin Muhammad Al Juwaini Abul Ma’ali, Tokoh yang dirujuk (fatwanya dalam) agama, yang paling berilmu di kalangan murid Imam AsySyafii yang terakhir. Majelis pelajarannya biasa dihadiri para ulama senior. Beliau memiliki sekian banyak karya tulis, diantaranya “Al Burhan fi Ushulil Fiqh” dan “Ar Risalah An Nidzomiyyah fil Arkanil Islamiyyah“. Merupakan tokoh yang menakjubkan di zamannya. Meninggal tahun 478 H.”
(An Nukat 1/372 catatan kaki no. 2)
²) Dalam Shahih Al Bukhori hadits no. 2032 dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ. قَالَ : فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
Bahwa Umar (bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu) pernah bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dengan pertanyaan: “Saya dulu di masa jahiliyyah pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di masjidilharam.” Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memberikan arahan: “Tunaikanlah nadzarmu itu!”
▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️
✒ Abu Abdirrohman Sofian