Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Perbedaan Pendapat Ulama tentang Rukun dalam Khotbah Jumat

Para Ulama berbeda pendapat tentang rukun dalam khotbah Jumat. Berikut ini akan dikutipkan sedikit penjelasan terkait perbedaan pendapat tersebut.

Pendapat pertama:

Khotbah Jumat tidak memiliki rukun-rukun khusus. Sudah cukup apabila memenuhi definisi khotbah secara ‘urf. Artinya, setidaknya berisi nasihat-nasihat. Hal ini adalah pendapat dari Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan yang keduanya murid Abu Hanifah, riwayat dari al-Imam Malik, dan masyhur sebagai pendapat Ulama Malikiyyah. Dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy.

Pendapat kedua:

Harus terpenuhi rukun-rukun berupa pujian kepada Allah, bersholawat untuk Nabi shollallahu alaihi wasallam, membaca setidaknya 1 ayat alQuran, dan wasiat untuk bertakwa kepada Allah. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Ulama Syafiiyyah dan madzhab pada Ulama Hanabilah.

Pendapat ketiga:

Tidak ada rukun khusus, hanya saja setidaknya mengandung dzikir. Misalkan, jika mengandung tasbih, tahlil, atau tahmid, itu sudah mencukupi. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan riwayat dari al-Imam Malik.


Artikel bermanfaat lainnya:


Hukum Bacaan Sholawat untuk Nabi dalam Khotbah Jumat yang Disampaikan Khotib

Sedangkan hukum bacaan sholawat untuk Nabi dalam khotbah Jumat yang disampaikan khotib, ada 3 pendapat Ulama:

Pendapat pertama: Hukumnya sunnah.

Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan sebagian Ulama Hanabilah. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy.

Pendapat kedua: Hukumnya rukun.

Tidak sah jika tidak mengandung sholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ini adalah pendapat Ulama Syafiiyyah dan mayoritas Ulama Hanabilah.

Pendapat ketiga: Hukumnya wajib.

Namun bukan rukun yang menentukan sah tidaknya khotbah. Ini adalah riwayat pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Perbedaan pendapat Ulama tersebut disarikan dari kitab Khutbatul Jumu’ah wa Ahkaamuhaa al-Fiqhiyyah yang diterbitkan Kementerian Urusan Islam, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Saudi Arabia yang ditaqdim oleh Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh.

Apabila kita merujuk pada hadits-hadits Nabi yang telah dikemukakan sebelumnya berupa hadits dari Sahabat Jabir, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas, demikian juga perbuatan Umar bin Abdil Aziz tidaklah disebutkan sholawat untuk Nabi shollallahu alaihi wasallam secara eksplisit. Artinya, sebagai keharusan, bisa jadi tidak harus demikian.

Namun, sebaiknya seorang khotib yang berkhotbah di wilayah kaum muslimin yang meyakini disyariatkannya rukun tertentu dalam khotbah, tidaklah meninggalkan rukun-rukun tersebut. Apalagi jika perbedaan pendapat Ulama itu berkisar antara rukun, wajib, dan sunnah. Bukankah semestinya kita menjaga persatuan dan menghindari perbedaan dalam hal-hal demikian?

Sebagai contoh, apabila seseorang berkhotbah di wilayah yang mayoritas saudara sesama muslim adalah pengikut Ulama Syafiiyyah, hendaknya isi khotbahnya tidak kurang dari ketentuan rukun khotbah yang banyak diyakini kaum muslimin di tempat itu.

Dalam kitab al-Minhaj karya anNawawiy, yang menjadi salah satu rujukan dalam fiqh Syafiiyyah, disebutkan:

الْخَامِسُ: خُطْبَتَانِ قَبْلَ الصَّلَاةِ. وَأَرْكَانُهُمَا خَمْسَةٌ: حَمْدُ اللَّهِ تَعَالَى، وَالصَّلَاةُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَفْظُهُمَا مُتَعَيِّنٌ، وَالْوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى، وَلَا يَتَعَيَّنُ لَفْظُهَا عَلَى الصَّحِيحِ، وَهَذِهِ الثَّلَاثَةُ أَرْكَانٌ فِي الْخُطْبَتَيْنِ. وَالرَّابِعُ قِرَاءَةُ آيَةٍ فِي إحْدَاهُمَا، وَقِيلَ فِي الْأُولَى، وَقِيلَ فِيهِمَا، وَقِيلَ لَا تَجِبُ. وَالْخَامِسُ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ دُعَاءٍ لِلْمُؤْمِنِينَ فِي الثَّانِيَةِ، وَقِيلَ لَا يَجِبُ. وَيُشْتَرَطُ كَوْنُهَا عَرَبِيَّةً مُرَتَّبَةَ الْأَرْكَانِ الثَّلَاثَةِ الْأُولَى

(Pembahasan) kelima adalah tentang dua khotbah sebelum shalat (Jumat). Rukun dari kedua khotbah itu ada 5, yaitu: Memuji Allah Ta’ala, bersholawat untuk Rasulullah shollallahu alaihi wasallam yang lafadz keduanya sudah tertentu. (Kemudian) wasiat untuk bertakwa. Lafadznya tidaklah tertentu berdasarkan pendapat yang benar. Tiga rukun ini pada 2 khotbah. (Rukun yang) keempat adalah membaca ayat alQuran pada salah satu dari kedua khotbah itu. Ada yang berpendapat di khotbah pertama (saja). Ada yang berpendapat di kedua khotbah itu. Ada pula yang berpendapat tidak wajib. (Rukun yang) kelima adalah doa untuk kaum beriman di khotbah kedua. Ada yang berpendapat tidak wajib. Dipersyaratkan penyebutan ketiga rukun pertama di atas disampaikan dalam bahasa Arab secara berurutan. (al-Minhaj karya anNawawiy (1/62)).

Kesimpulan:

Sangat dianjurkan bagi para khotib membaca sholawat untuk Nabi shollallahu alaihi wasallam dalam kedua khotbah Jumat dan mengerjakan rukun-rukun khotbah lainnya yang diyakini oleh mayoritas saudara kita kaum muslimin di tempat kita berkhotbah.

Dikutip dari:
Draft naskah buku “Mari Bersholawat Sesuai Tuntunan Nabi” (Mengupas Seluk Beluk Sholawat dalam Tinjauan Syariat)

Penulis buku:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan