Jika Waliyyul Amr Memerintahkan Shalat Ghaib, Ikutilah
Para Ulama berbeda pendapat tentang apakah shalat ghaib disyariatkan atau tidak. Kalau disyariatkan, dalam kondisi apa disyariatkan?
Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah menjelaskan perbedaan pendapat Ulama tersebut. Al-Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat tidak disyariatkan. Sedangkan al-Imam asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat disyariatkan, berdasarkan hadits dishalatkannya anNajasyi (pimpinan Habasyah yang masuk Islam dalam lingkungan kafir), shalat ghaib oleh Nabi dan para Sahabat di Madinah.
Baca Juga: Tabiin: Ash-Hamah,AN-Najasy yang Beriman (3/3)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa jika mayit tersebut belum ada yang menyalatkan, bisa dishalat ghaibkan. Namun jika sudah ada yang menyalatkan, gugur kewajiban fardlu kifayah tersebut bagi kaum muslimin. Karena dalam sejarah perikehidupan Nabi shollallahu alaihi wasallam, banyak peristiwa meninggalnya para Sahabat di berbagai wilayah, tapi Nabi tidak memerintahkan untuk shalat ghaib secara khusus. Hanya saat anNajasyi meninggal saja. Pendapat ini adalah juga riwayat dari pendapat al-Imam Ahmad.
Ada pula pendapat lain dalam riwayat al-Imam Ahmad tambahan persyaratan bahwasanya yang meninggal itu adalah seorang laki-laki shalih yang memiliki jasa besar dan keutamaan bagi kaum muslimin, seperti anNajasyi. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah. (disarikan dari Taudhihul Ahkaam karya Syaikh Abdullah al-Basaam (3/193)).
Baca Juga: Hukum Seputar Na’yu (Mengumumkan Berita Kematian Seseorang)
Namun, terlepas dari manakah pendapat Ulama yang kita ikuti terkait shalat ghaib itu, apabila waliyyul amr (pemerintah/pemimpin) memerintahkan agar kaum muslimin di wilayahnya melaksanakan shalat ghaib, mestinya rakyat muslim melakukan shalat ghaib sebagai ketaatan kepada waliyyul amr.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:
لكن إذا أمر به ولي الأمر صار طاعة، أي: صارت الصلاة على الغائب طاعة؛ لأنها من طاعة ولي الأمر الذي أمرنا بها، قال الله تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ} [النساء:59]
Namun, jika waliyyul amr memerintahkannya, hal itu menjadi ketaatan. Artinya, shalat ghaib kemudian menjadi ketaatan. Karena bagian dari ketaatan terhadap waliyyul amr yang kita diperintah dengannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan waliyyul amr di antara kalian (Q.S anNisaa’ ayat 59)
(Liqo’ al-Baab al-Maftuh (216/7)
Sebagai contoh, jika dalam suatu negara, Presiden muslim memerintahkan agar kaum muslimin melaksanakan shalat ghaib atas meninggalnya muslim tertentu, kaum muslimin di wilayah itu hendaknya melaksanakan shalat ghaib. Atau, pejabat berwenang lain di bawah Presiden, misalkan dari Kementerian Agama.
Baca Juga: Fatwa Ulama Seputar Na’yu (Mengumumkan Berita Kematian)
Kalau untuk lingkup yang lebih kecil, misalkan di suatu Provinsi, apabila Gubernur mengimbau atau memerintahkan, hendaknya rakyat di wilayah itu melaksanakannya. Atau, pejabat berwenang lain di bawah Gubernur seperti Wagub, Sekretaris Daerah, atau pejabat-pejabat dinas yang berwenang. Hendaknya rakyat di wilayah tersebut melaksanakan imbauan atau instruksi pelaksanaan shalat ghaib bagi kaum muslimin.
Walaupun sebenarnya dalam pandangan fiqh yang kita pilih adalah tidak disyariatkan shalat ghaib dalam kondisi tertentu itu, namun ketika pemerintah berijtihad bahwa itu disyariatkan, kita pun mestinya mengikutinya.
Semoga Allah Ta’ala melimpahkan taufiq, rahmat, dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin, baik pemerintah maupun rakyatnya.
Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman