Jangan Abaikan Muru-ah, Karena Itu Juga Mempengaruhi Nilai Keadilan Seseorang (Bagian ke-2)

Pada tulisan sebelumnya, telah disebutkan sebagian penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin tentang muru-ah dan 4 contoh perbuatan yang menyelisihi muru-ah. Insyaallah dalam tulisan ini akan disebutkan lagi contoh-contoh yang lain.
Namun, sebelum itu, akan ditambahkan penjelasan sebagian Ulama tentang alasan mengapa menjaga muru-ah benar-benar diharapkan dari seseorang. Faidah ini diambil dari kitab Tathriz Riyadhis Sholihin karya Syaikh Faishol bin Abdil Aziz al-Mubarok rahimahullah.
Pertama: Menjaga muru-ah adalah termasuk bersikap iffah (menjaga kehormatan diri) sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam tentang percakapan Abu Sufyan dengan Hiraqla. Abu Sufyan mengatakan:
ويَأْمُرُنَا بالصَلاةِ، وَالصِّدْقِ، والعَفَافِ، وَالصِّلَة
Dan beliau (Nabi) memerintahkan kepada kami untuk shalat, jujur, bersikap iffah (menjaga kehormatan diri), dan menyambung silaturrahmi (Muttafaqun alaih)
Syaikh Faishol rahimahullah menjelaskan makna sikap iffah sebagai berikut:
والعفاف: الكف عن المحارم، وخوارم المروءة
Al-Afaaf (bersikap iffah/menjaga kehormatan diri) adalah menahan diri dari perbuatan-perbuatan haram dan hal-hal yang mencederai muru-ah (Tathriz Riyadhis Sholihin 1/55)
Kedua: Menjaga muru-ah adalah dianjurkan dalam perintah Nabi karena itu adalah bagian dari melindungi kehormatan seseorang. Sebagaimana anjuran meninggalkan hal-hal syubhat adalah dalam rangka menjaga agama dan kehormatan seseorang.
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
فمن اتقى الشبهات استبرأ لدينه وعرضه
Barang siapa yang menjaga diri dari syubhat, maka ia telah membersihkan diri pada agama dan kehormatannya (Muttafaqun alaih)
Syaikh Faishol rahimahullah menyatakan:
فيه إشارة إلى المحافظة على أمور الدين ومراعاة المروءة
Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk menjaga perkara Dien dan memperhatikan muru-ah (Tathriz Riyadhis Sholihin 1/390)
Selanjutnya, akan dikemukakan contoh-contoh lain dari perbuatan atau sikap yang menyelisihi muru-ah dengan harapan agar kita menghindarinya. Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan 4 contoh, sehingga di tulisan ini akan disebutkan dari nomor 5 dan seterusnya.
Sebagian contoh hal-hal yang menyelisihi muru-ah, di antaranya:
5. Berpakaian seadanya saat shalat berjamaah di masjid. Misalkan hanya pakai kaos oblong dan celana panjang saja, padahal memungkinkan baginya untuk mengenakan pakaian yang lebih baik, misalkan baju lengan panjang, peci, dan sarung, atau menggunakan jubah/gamis pria.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Wahai anak Adam, ambillah perhiasan kalian setiap kali hendak shalat… (Q.S al-A’raf ayat 31)
Dalam hadits disebutkan:
فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ أَنْ يُتَزَيَّنَ لَهُ
Karena sesungguhnya Allah adalah yang paling berhak bagi seseorang berhias untuk-Nya (H.R atThobaroniy dan lainnya, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)
Shalat dengan tidak menggunakan peci adalah ternilai makruh karena termasuk menyelisihi adat kebiasaan baik kaum muslimin. Syaikh al-Albaniy rahimahullah menyatakan:
وإذا ثبت عموم الأمر بالتزين للصلاة، وثبت أن من عادات المسلمين ستر الرأس وليس الحسر؛ فحينئذٍ نعتقد أن الصلاة بحسر الرأس مكروهة، لا لأن هناك نهياً خاصاً، وإنما لأن فيه مخالفة للعادات التي جرى عليها المسلمون
Jika telah jelas keumuman perintah berhias untuk shalat, telah tetap pula adat kaum muslimin menutup kepala dan tidak membiarkannya terbuka. Maka kami berkeyakinan bahwasanya shalat dengan membiarkan kepala terbuka adalah makruh. Bukan karena adanya larangan khusus. Namun karena terdapat penyelisihan terhadap kebiasaan yang berlaku pada kaum muslimin (Durus lisy Syaikh al-Albaniy 7/25)
6. Dalam hidangan makanan bersama, dengan makanan yang sejenis, mengambil makanan yang posisinya lebih jauh dari jangkauan. Bukannya mengambil yang lebih dekat.
وكل مما يليك ، ولأن هذا من المروءة والأدب، لكن إذا كان وحده فله أن يأكل من أي جانب
“Makanlah yang berada di dekatmu”. Karena ini adalah termasuk bagian dari muru-ah dan adab. Namun, jika ia makan sendirian, boleh ia makan dengan mengambil dari sisi mana saja (asy-Syarhul Mumti’ 12/360)
7. Mengembalikan makanan yang sudah masuk mulut, kembali ke piring.
وكره رد شيء من فمه إلى الإناء ، لأن هذا خلاف المروءة، ويُكرِّه الطعام للناس، والإنسان ينبغي له أن يتعامل معاملة طيبة مع الناس، ويتأدب بالأدب الرفيع
“Dan dibenci mengembalikan sesuatu dari mulutnya ke bejana”. Karena ini menyelisihi muru-ah dan membuat manusia jijik pada makanan itu. Seseorang mestinya menerapkan interaksi yang baik dengan orang lain, dan beradab dengan adab yang tinggi (asy-Syarhul Mumti’ 12/369)
8. Mencoba mengambil makanan di piring, ternyata dirasa keras, dikembalikan lagi ke piring itu.
ومن ذلك أيضاً أن يأخذ قطعة اللحم يريد أكلها، فيجدها قاسية فيردها في الإناء، فهذا مكروه وخلاف المروءة
Dan termasuk juga mengambil sepotong daging yang hendak dimakan, ternyata dirasa keras/alot, kemudian dikembalikan ke bejana. Ini adalah perbuatan yang dibenci, menyelisihi muruah (asy-Syarhul Mumti’ 12/369)
9. Dalam peristiwa terjadinya khulu’ yaitu perpisahan karena istri membayar tebusan yang disepakati, bagian dari perbuatan menyelisihi muru-ah adalah jika suami mengambil tebusan lebih banyak dari mahar yang dia bayarkan.
المروءة تقتضي ألا يأخذ منها أكثر مما أعطاها
(Orang yang menjaga) muru-ah membuat dia tidak mengambil lebih banyak dari mahar yang telah dia bayarkan (pada mantan istrinya, pen)(asy-Syarhul Mumti’ 12/480)
10. Memanjangkan rambut bagi laki-laki yang dalam pandangan manusia di sekitar itu biasa dilakukan orang-orang yang kurang baik.
فلا ينبغي لذوي المروءة أن يستعملوا إطالة الشعر حيث إنه لدى الناس وعاداتهم وأعرافهم لا يكون إلا من ذوي المنزلة السافلة
Tidaklah selayaknya bagi orang yang memiliki muru-ah, memanjangkan rambutnya yang dalam pandangan manusia dan kebiasaan serta urf mereka hal itu tidaklah dilakukan kecuali oleh orang yang kedudukannya rendah (Fatawa Nurun alad Darb libni Utsaimin 22/2)
11. Menyuruh-nyuruh tamu yang datang berkunjung ke tempatnya.
Secara asal, seseorang hendaknya memuliakan tamunya dan memberikan pelayanan yang baik. Membuat tamu merasa nyaman dan dimuliakan.
Sebaliknya, jika seseorang merepotkan tamunya dan justru mempekerjakan tamunya, menyuruh-nyuruh tamunya yang sedang berkunjung untuk melakukan hal-hal guna kemaslahatan diri tuan rumah dan keluarganya, ini mengurangi muru-ah.
Umar bin Abdil Aziz rahimahullah menyatakan:
لَيْسَ مِنْ مُرُوءَةِ الرَّجُلِ أَنْ يَسْتَخْدِمَ ضَيْفَهُ
Bukanlah termasuk sikap muruah seseorang jika ia mempekerjakan tamunya (Syuabul Iman karya al-Baihaqiy)
12. Mengunyah permen karet di hadapan orang lain.
السؤال (799): ما رأيكم في علك العلك أمام الناس؟
Pertanyaan nomor 799: Apakah pendapat anda tentang mengunyah permen karet di depan orang lain?
Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menyatakan:
في عُرْفِنا أنه خلاف المروءة
Dalam urf kami, hal itu menyelisihi muru-ah (al-Kanzuts Tsamin fi Sualaati Ibn Sunaid libni Utsaimin halaman 182)
13. Menanyakan usia seseorang tanpa ada keperluan
Beda halnya jika seseorang memang benar-benar perlu mengetahui usia seseorang, karena misalkan ia adalah dokter, sehingga perlu menerapkan penanganan medis yang tepat pada seseorang berdasarkan usianya. Namun, adakalanya seseorang tidak ada keperluan, tapi menanyakan usia seseorang. Hal ini dipandang oleh sebagian Ulama sebagai tindakan yang menyelisihi muru-ah.
Ar-Robi’ menyatakan:
سَأَلَ رَجُلٌ الشَّافِعِيَّ عَنْ سِنِّهِ، فَقَالَ: لَيْسَ مِنَ الْمُرُوءَةِ أَنْ يُخْبِرَ الرَّجُلُ بِسِنِّهِ، سَأَلَ رَجُلٌ مَالِكًا عَنْ سِنِّهِ فَقَالَ: أَقْبِلْ عَلَى شَأْنِكَ
Seorang laki-laki bertanya kepada asy-Syafii tentang usia beliau. (al-Imam asy-Syafii) berkata: bukanlah termasuk muru-ah seseorang memberitahukan usianya. Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada (al-Imam) Malik tentang usia beliau, beliau justru berkata: Urusi saja kepentinganmu (Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nuaim)
Demikianlah wahai saudaraku, sedikit penjelasan tentang muru-ah dan contoh-contoh perilaku yang menyelisihi muru-ah untuk dihindari. Sebenarnya masih sangat banyak contoh yang lain.
Pemaparan contoh tersebut penting sebagai bentuk edukasi agar kita bisa menghindarinya. Hendaknya kita saling mengingatkan satu sama lain, terutama jika ada saudaranya yang baru berkunjung ke sebuah tempat, kemudian ia diingatkan dengan kebiasaan-kebiasaan kaum muslimin yang secara urf dianggap baik atau dianggap buruk di suatu tempat. Untuk membantu kita semua dalam menjaga muru-ah.
Patokan muru-ah adalah kebiasaan kaum muslimin yang baik, bukan kebiasaan orang-orang kafir. Atau yang sesuai dengan fitrah yang bersih dan akal sehat, tidak bertentangan dengan nash-nash alQuran maupun hadits shahih.
Wallaahu A’lam
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan petunjuk, rahmat, dan ampunan kepada kita dan segenap kaum muslimin.
Penulis: Abu Utsman Kharisman