Sen 16 Syawal 1446AH 14-4-2025AD

Jangan Abaikan Muru-ah, Karena Itu Juga Mempengaruhi Nilai Keadilan Seseorang (Bagian ke-1)

Sebagian orang ada yang terlalu kaku dalam memahami sesuatu. Ia berpikir, selama tidak dilarang dalam alQuran dan Sunnah Nabi, saya bebas berbuat apa saja. Ia tidak memperhatikan etika, norma kesopanan, atau kepantasan dalam bersikap di suatu daerah pada waktu tertentu.

Padahal, para Ulama sangat memperhatikan masalah muru-ah, yang berkaitan dengan etika dan kesopanan berdasarkan urf kebiasaan setempat. Seseorang perlu menjaga etika agar tidak menjadi bahan pergunjingan orang di sekitarnya. Kalau seorang digunjing saat ia sedang melakukan sesuatu yang benar dan sesuai sunnah, tidak mengapa. Jangan pedulikan omongan orang saat kita konsisten menjalankan bimbingan Nabi. Tapi masalahnya, kadang seorang digunjing karena ia memang tidak tahu malu. Tidak peduli dengan hal-hal yang berkaitan dengan muru-ah.

Padahal menjaga muru-ah adalah termasuk dari akhlak mulia, adab terhadap sesama manusia dan implementasi dari perangai malu yang terpuji. Menjaga muru-ah juga merupakan salah satu parameter penilaian apakah seorang itu adil atau justru termasuk orang yang fasik.

Dalam tulisan ini, insyaallah kita akan membahas tentang muru-ah, apa definisinya, dan mengapa seorang harus juga menjaga muru-ah. Juga akan dicontohkan hal-hal apa saja yang termasuk perbuatan yang mengurangi muruah. Karena dirasa penting untuk memberi contoh perbuatan-perbuatan yang menyelisihi muru-ah, tulisan ini akan dibuat berseri.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi taufiq, rahmat, dan kemudahan kepada kita.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah termasuk Ulama yang cukup banyak menyoroti masalah muru-ah. Di tulisan ini akan banyak dikutip penjelasan dari beliau -semoga Allah merahmati beliau-.

Orang yang Dinilai Adil adalah yang Menjaga Aturan Agama dan Menjaga Muruah

Bagian dari bentuk sikap adil atau predikat adil pada seseorang adalah lurus dalam Dien dan lurus muru-ahnya. Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:

والعدل هو المستقيم في دينه ومروءته

Orang yang istiqomah/lurus dalam Dien (penerapan agama) maupun muru-ahnya (as-Syarhul Mumti’ 11/107)

والاستقامة في المروءة ألا يفعل ما يخل بالمروءة، يعني بالشرف والعادات، فإن فَعَلَ ما يخل بذلك فليس بعدل، ولو كان مستقيم الدين

Istiqomah dalam menjaga muruah adalah tidak melakukan hal-hal yang mengurangi muruah. Yaitu yang berkaitan dengan kemuliaan dan adat (kebiasaan). Apabila ia melakukan perbuatan yang mengurangi hal itu, ia bukanlah orang yang adil. Meskipun dia lurus dalam menerapkan agama (asy-Syarhul Mumti’ 15/350)

Orang yang benar-benar tidak perhatian dengan masalah muru-ah, bisa ditolak persaksiannya.

أن الشهادة يعتبر لها شيئان: الصلاح في الدين، واستعمال المروءة

Sesungguhnya persaksian itu diperhitungkan 2 hal: kebaikan dalam Diennya dan penerapan muru-ah (asy-Syarhul Mumti’ 12/345)

Seorang Hendaknya Menjaga Dirinya Agar Tidak Menjadi Bahan Pergunjingan Orang Lain Karena Melakukan Hal yang Tidak Selayaknya

فالإنسان مأمور بأن يدفع الريبة عن نفسه وألا يفعل أو يقول ما يعيبه الناس عليه

Seseorang diperintahkan untuk mencegah kecurigaan/pandangan buruk orang lain terhadap dirinya dan jangan melakukan atau berkata sesuatu yang membuat orang lain mencela dia (Fatawa Nurun alad Darb lisy Syaikh Ibn Utsaimin 8/2)

Apakah Muru-ah itu?

والمروءة أن لا يفعل أو يقول ما يخرم المروءة، وينزل قيمته عند الناس، وإن كان الفعل في نفسه ليس محرماً

Muru-ah adalah tidak melakukan atau mengucapkan sesuatu yang merobek muru-ah dan membuat nilainya jatuh di hadapan manusia. Meskipun perbuatan itu sendiri bukanlah haram (asy-Syarhul Mumti’ ala Zaadil Mustaqni’ 11/107)

على كل حال الضابط في المروءة: أن لا يفعل ما ينتقده الناس فيه، لا من قول ولا من فعل

Intinya, batasan muru-ah adalah jangan melakukan sesuatu yang membuat kita dikritik/dicela oleh manusia. Baik berupa ucapan, ataupun perbuatan (asy-Syarhul Mumti’ ala Zaadil Mustaqni’ 11/108)

Muru-ah Bisa Berkaitan dengan Adat Kebiasaan

وهذه ترجع للعادة، وقد يكون بعضها ديناً، لكن أصلها العادة، فالمروءة هي ما تعارف الناس على حسنه، وما تعارفوا على قبحه فهو خلاف المروءة، وإذا كان هذا فإن مرجع المروءة إلى العادة في الواقع، فقد يكون هذا العمل ـ مثلاً ـ مخلاً بالمروءة عند قوم، غير مخلٍّ بالمروءة عند آخرين، وقد يكون مخلاً بالمروءة في زمن غير مخلٍّ بها في زمن آخر، فما دمنا أرجعنا المروءة إلى العادة، وهي ما تعارف الناس على حسنه، فحينئذٍ تكون المسألة بحسب عادات الناس

(Penilaian muru-ah) ini dikembalikan pada adat (kebiasaan). Kadang sebagiannya berkaitan dengan Dien (aturan agama). Namun asalnya adalah adat. Maka muru-ah adalah yang dianggap bagus oleh manusia. Sedangkan apa yang dinilai oleh manusia sebagai keburukan, itu menyelisihi muru-ah. Kalau demikian, rujukan muru-ah adalah pada adat dalam kenyataan. Bisa jadi perbuatan ini mengurangi muru-ah di suatu kaum, tapi tidak pada kaum yang lain. Bisa jadi dinilai mengurangi muru-ah di suatu zaman, tapi tidak di zaman lain. Selama kita kembalikan (penilaian) muru-ah pada adat, yaitu yang dinilai ma’ruf oleh manusia akan kebaikannya. Maka dalam hal ini, permasalahannya disesuaikan dengan adat manusia (asy-Syarhul Mumti’ 15/425)

Tapi tentu saja, patokan kebiasaan itu jangan sampai bertentangan dengan nash yang tegas dalam alQuran maupun hadits yang shahih. Misalkan, jika kebiasaan di suatu tempat, menghormati yang lebih tua atau pemimpin di suatu daerah adalah dengan bersujud kepadanya, hal ini tidak boleh dilakukan dengan alasan menjaga muru-ah. Karena haram hukumnya bersujud kepada selain Allah Ta’ala. Atau, bagian dari kebiasaan di sebuah tempat adalah biasa bersalaman laki dan perempuan bukan mahram. Jangan mengorbankan prinsip agama untuk melakukan hal yang dilarang tersebut.

Segala yang Menyelisihi Muru-ah adalah Melanggar Sikap Malu yang Terpuji

والحياء شعبة من الإيمان، وكل ما يخالف المروءة، فهو مخالف للحياء

Dan perasaan malu adalah cabang dari keimanan (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, pen). Dan segala yang menyelisihi muru-ah adalah menyelisihi perasaan malu (asy-Syarhul Mumti’ 12/376)

Muru-ah Disesuaikan dengan Kondisi Tempat Maupun Zaman/Waktu

Dahulu mungkin makan di pasar dianggap mengurangi muru-ah. Sekarang sudah berbeda. Banyak dan dianggap biasa orang makan di pasar.

الذي يأكل في السوق فليس عنده مروءة، ومعلوم أن هذا المثال في الوقت الحاضر لا ينطبق على ذلك؛ لأن الناس الآن اعتادوا أن يأكلوا في السوق، ولا أعني الولائم، لكن لو وُجِدَ مطعم في السوق فإن الإنسان يأكل فيه

(Dahulu) Orang yang makan di pasar, ia (dinilai) tidak punya muru-ah. Namun telah dimaklumi bahwasanya contoh ini di waktu saat ini tidak bisa diterapkan atas hal yang demikian. Karena manusia sekarang sudah terbiasa makan di pasar. Maksud saya bukan walimah. Tapi, kalau didapati ada rumah makan di pasar, manusia (biasa) makan di sana (asy-Syarhul Mumti’ 11/107)

Muru-ah Juga Disesuaikan dengan Kedudukan Seseorang

وهذا يختلف باختلاف الناس, من الناس من هو شريف ووجيه وذو مرتبة عالية, إذا فعل ما يفعله ما هو دونه انتقد, وإذا فعله غيره لم ينتقد, فنقول للأول: إذا فعلته فقد خالفت المروءة, ونقول للثاني: إن فعلك إياه لا يخالف المروءة

Ini berbeda sesuai keadaan manusia. Ada orang yang dia punya kemuliaan, dan kedudukan yang tinggi. Jika ia mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh orang di bawahnya, ia bisa dicela. Namun jika orang lain yang melakukan itu, tidaklah dicela. Maka kita katakan kepada orang yang pertama: Jika engkau melakukan itu, itu menyelisihi muru-ah. Sedangkan kepada orang kedua, kita katakan: Jika engkau melakukan itu, tidaklah menyelisihi muru-ah (Liqo’ al-Baab al-Maftuh 103/17)

Seorang yang Mulia yang Biasa Menjaga Muru-ah Apabila Ia Tergelincir, Mudahlah untuk Memaafkannya dan Tidak Segera Menghukumnya

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

تجافَوْا عَن عُقُوبَةِ ذَوِي المُرُوءَةِ

Mudahkanlah untuk memaafkan (tidak) menghukum orang yang senantiasa menjaga muru-ah (H.R Abu Bakr bin al-Mizribaan dalam Kitab al-Muruah dari Ibnu Umar, dishahihkan oleh Syaikh al-Albaniy)

Contoh Perbuatan yang Terhitung Mengurangi Muru-ah

Contoh perbuatan yang mengurangi muru-ah yang disebutkan sebagian Ulama, di antaranya Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah :

1. Menjulurkan kedua kaki di antara 2 orang yang duduk. Kecuali jika memiliki udzur (misalkan masalah pada kakinya) atau kedua orang itu mempersilakan atau dilakukan pada orang yang kenal sangat dekat.

Berlaku ungkapan:

عِنْدَ الْأَصْحَابِ تُرْفَعُ الْكُلْفَةُ فِي الآدَابِ

Di kalangan sahabat dekat, terangkatlah beban untuk menerapkan adab-adab tertentu (asy-Syarhul Mumti’ 11/108)

2. Impersonate, meniru-niru orang lain dalam rangka mengejek atau menyindirnya.

الرجل المتمسخر، يعني الذي يفعل التمثيليات سخرية وهزءاً، فإن هذا خارم للمروءة

Seorang yang meniru-niru orang, memperagakan gerak-gerik orang tertentu untuk mengejek atau mencemooh. Ini merobek muru-ah (asy-Syarhul Mumti’ 11/107)

3. Apabila di suatu acara walimah pernikahan disebar atau dihamburkan suatu benda, makanan, atau uang, untuk diperebutkan pengunjung, tindakan menyebar seperti itu dan yang memungutnya adalah mengurangi muru-ah. Tidak pantas dilakukan oleh orang yang mulia.

فمن ذهب إلى النثارات ليلتقط منها يعتبر ساقط المروءة، فلا تقبل شهادته

Barang siapa yang pergi menuju an-Natstsaaraat (tempat penyebaran/penghamburan uang/benda agar dibuat rebutan orang, pen) untuk memungut darinya ia terhitung jatuh muru-ahnya. Tidak diterima persaksiannya (asy-Syarhul Mumti’ ala Zaadil Mustaqni’ 12/345)

4. Berjalan di keramaian atau pasar sambil makan.

لو خرج إنسان في ‌السوق ‌يمشي ومعه تفاحه بيمينه وبرتقالة بيساره يأكل باليمين مرة وباليسار مرة، هذا بكون خارما للمروءة من وجه فاعلا محرما بالأكل بالشمال

Jika seseorang keluar di pasar berjalan dengan apel di tangan kanan dan jeruk di tangan kiri, sesekali makan dengan tangan kanan dan sesekali makan dengan tangan kiri, ini mencederai muruah dari satu sisi dan melakukan hal yang haram di sisi lain karena makan dengan tangan kiri (Fathu Dzil Jalaali wal Ikram 6/183)

Insyaallah bersambung


Penulis: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan