Kehormatan Al Quran dan Tanggung Jawab Menjaganya
Al Quran adalah pedoman hidup dan rujukan utama yang sangat dihormati oleh orang beriman. Dari Kitabullah tersebut dipahami batasan syariat yang diridhai-Nya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالْقُرْآنِ، فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ، وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ
“Kalian wajib berpegang dengan Al Quran. Semua ketentuan yang kalian dapati di dalamnya berupa hukum halal harus kalian yakini kehalalannya. Sedangkan yang kalian dapati di dalamnya seluruh hukum haram harus kalian yakini keharamannya pula.” (HR Ahmad, At Thobaroni dalam Al Mu’jamul Kabir, Ibnu Baththah dalam Al Ibanah)
Keterhubungan hamba dari Al Khaliq dan keterikatan mereka dengan ketentuan syariat-Nya terjaga dengan Al Quran. Sehingga Al Quran adalah tali (habl) Allah.
Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata,
عليكم بالقرآن فإنه حبل الله عز وجل
“Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan Al Quran, sesungguhnya itu merupakan tali Allah ‘Azza wa Jalla.”
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Sallam rahimahullah menerangkan maksudnya, “Yang beliau maksudkan (sesuai) firman-Nya Ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
“Dan wajib bagi kalian semua berpegang-teguh dengan tali Allah, dan jangan sampai kalian berpecah.” (Fadhail Al Quran li Abi ‘Ubaid Al Qosim hal. 35)
Tabi’i Ka’ab Al Ahbar rahimahullah juga telah menyampaikan wejangannya,
عَلَيْكُمْ بِالْقُرْآنِ؛ فَإِنَّهُ فَهْمُ الْعَقْلِ، وَنُورُ الْحِكْمَةِ، وَيَنَابِيعُ الْعِلْمِ، وَأَحْدَثُ الْكُتُبِ بِالرَّحْمَنِ عَهْدًا
“Seharusnya kalian berpegang dengan Al Quran. Karena sesungguhnya itu merupakan sumber pemahaman akal, cahaya hikmah, sekaligus asal kemunculan ilmu, serta kitab yang terakhir berasal dari Sang Maha Penyayang.” (Sunan Ad Darimi no. 3370 disebutkan tanpa kritikan dalam Fathul Bari oleh Ibnu Hajar rahimahumullah)
Firman Sang Maha Pencipta kita dan segenap alam semesta ini dengan rahmat-Nya dapat dibaca, dikaji dan diajarkan melalui kumpulan lembaran yang berisi tulisan Kalam Ilahi. Kumpulan lembaran bertulis ayat-ayat Al Quran tersebut dikenal dengan istilah mushaf.
Karena kemuliaan isinya, mushaf menjadi layak dimuliakan pula. Bahkan kaum muslimin telah bersepakat bahwa Al Quran termasuk mushaf wajib diagungkan dan dijaga kehormatannya.
Al Hafidz An Nawawi rahimahullah menyebutkan,
ﺃﺟﻤﻊ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﺗﻌﻈﻴﻢ اﻟﻘﺮﺁﻥ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﻋﻠﻰ اﻻﻃﻼﻕ ﻭﺗﻨﺰﻳﻬﻪ ﻭﺻﻴﺎﻧﺘﻪ
“Kaum muslimin telah bersepakat terhadap kewajiban mengagungkan Al Quran Yang Maha Mulia secara menyeluruh dalam semua kondisi demikian pula kewajiban dalam mensucikannya serta menjaganya.” (At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran hal. 164)
Berikut ini diuraikan ringkas beberapa bimbingan ulama terkait sikap yang perlu dijaga sebagai wujud penghormatan kita terhadap Al Quran dan mushafnya.
Menyentuh Mushaf dalam Keadaan Suci
Mushaf tidak sama dengan kitab atau buku berisi tulisan ucapan makhluk. Ada adab yang perlu dibedakan dalam menghormatinya. Menyentuhnya hanya diijinkan bagi muslim yang telah suci dari hadats besar ataupun kecil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
ﻭﺃﻣﺎ ﻣﺲ اﻟﻤﺼﺤﻒ: ﻓﺎﻟﺼﺤﻴﺢ: ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻟﻪ اﻟﻮﺿﻮء، ﻛﻘﻮﻝ اﻟﺠﻤﻬﻮﺭ، ﻭﻫﺬا ﻫﻮ اﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻋﻦ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ: ﺳﻌﺪ، ﻭﺳﻠﻤﺎﻥ، ﻭاﺑﻦ ﻋﻤﺮ، ﻭﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺣﺰﻡ، ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﻻ ﻳﻤﺲ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﺇﻻ ﻃﺎﻫﺮ
“Adapun menyentuh mushaf, pendapat yang benar adalah bahwa wajib berwudhu’ baginya, seperti pendapat jumhur ulama. Dan inilah yang dikenal dari pendapat para sahabat, seperti; Sa’ad, Salman, Ibnu Umar. Dan dalam kitab (yang dituliskan untuk) ‘Amr Bin Hazm radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam:
لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
“Tidak menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci.” (Fatawa Al Kubro 1/357)
Inilah pendapat terpilih yang didukung jumhur ulama. Silakan baca fatwa terkait:
Penjelasan Syaikh Bin Baz Tentang Hukum Menyentuh Mushaf Tanpa Berwudhu
Jangan Membawa Tulisan Al Quran ke Negeri Musuh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah melanjutkan penjelasannya,
ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻬﻰ ﺃﻥ ﻳﺴﺎﻓﺮ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺽ اﻟﻌﺪﻭ ﻣﺨﺎﻓﺔ ﺃﻥ ﺗﻨﺎﻟﻪ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarang membawa (lembaran bertuliskan) Al Quran ketika menempuh perjalanan menuju wilayah musuh. Dengan alasan adanya kekhawatiran akan jatuh di tangan mereka.” (Fatawa Al Kubro 1/357-358)
Imam Al Bukhori meletakkan suatu judul bab yang diantaranya beliau sebutkan,
وقد سافر النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه في أرض العدو وهم يعلمون القرآن
“Nabi shallallahu alaihi wasallam beserta para sahabat beliau telah menempuh perjalanan menuju wilayah musuh, dalam keadaan mereka jelas memiliki ilmu Al Quran (dalam sanubari mereka).”
Al Hafidz Ibnu Hajar lalu menjelaskan,
أشار البخاري بذلك إلى أن المراد بالنهي عن السفر بالقرآن السفر بالمصحف خشية أن يناله العدو لا السفر بالقرآن نفسه
“Al Bukhori menyatakan itu yang secara implisit bahwa maksud larangan melakukan perjalanan dengan Al Quran, yaitu perjalanan dengan membawa mushaf. Karena dikhawatirkan sampai jatuh ke tangan musuh. Bukanlah yang dimaksud larangan bagi (pemilik hafalan atau ilmu) Al Quran itu sendiri.” (Fathul Bari 6/133)
Mushaf yang berisi Al Quran Lebih Dimuliakan daripada Masjid Sekalipun
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan pula,
ﻭﺃﻣﺎ ﻛﻼﻣﻪ ﻓﻠﻪ ﺣﺮﻣﺔ ﻋﻈﻴﻤﺔ؛ ﻭﻟﻬﺬا ﻳﻨﻬﻰ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻲ ﺣﺎﻝ اﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭاﻟﺴﺠﻮﺩ، ﻓﺈﺫا ﻧﻬﻲ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃ ﻓﻲ اﻟﺴﺠﻮﺩ ﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ اﻟﻤﺼﺤﻒ ﻣﺜﻞ اﻟﺴﺠﻮﺩ، ﻭﺣﺮﻣﺔ اﻟﻤﺼﺤﻒ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﺣﺮﻣﺔ اﻟﻤﺴﺠﺪ، ﻭاﻟﻤﺴﺠﺪ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺪﺧﻠﻪ اﻟﻤﺤﺪﺙ، ﻭﻳﺪﺧﻠﻪ اﻟﻜﺎﻓﺮ ﻟﻠﺤﺎﺟﺔ، ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻥ اﻟﻜﻔﺎﺭ ﻳﺪﺧﻠﻮﻧﻪ، ﻭاﺧﺘﻠﻒ ﻓﻲ ﻧﺴﺦ ﺫﻟﻚ، ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻤﺼﺤﻒ، ﻓﻼ ﻳﻠﺰﻡ ﺇﺫا ﺟﺎﺯ اﻟﻄﻮاﻑ ﻣﻊ اﻟﺤﺪﺙ، ﺃﻥ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻤﺤﺪﺙ ﻣﺲ اﻟﻤﺼﺤﻒ؛ ﻷﻥ ﺣﺮﻣﺔ اﻟﻤﺼﺤﻒ ﺃﻋﻈﻢ
“Adapun Firman-Nya tentunya memiliki nilai kehormatan yang sangat besar. Karenanyalah dilarang seseorang membaca Al Quran dalam posisi rukuk maupun sujud.
Sehingga apabila telah dilarang membaca Al Quran dalam posisi sujud, tidak diperbolehkan menjadikan mushaf semisal (posisi) sujud.
Dan kehormatan mushaf lebih besar daripada kehormatan masjid (sekalipun). Dalam keadaan masjid masih boleh dimasuki orang yang berhadats, bahkan terkadang untuk suatu keperluan boleh juga dimasuki orang kafir. Memang dulu orang-orang kafir telah (diizinkan) memasukinya. Dan ada perbedaan pandangan terkait apakah hukum tentang hal tersebut telah dihapuskan.
Hal ini berbeda dengan mushaf, sehingga bukanlah suatu hal yang saling bersambutan apabila boleh melakukan thawaf dalam keadaan berhadats berarti boleh juga bagi orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf. Karena memang nilai kehormatan mushaf lebih besar.” (Fatawa Al Kubro 1/358)
Penulis: Abu Abdirrohman Sofian