Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Al-Ma’mun adalah sebuah gelar baginya. Namanya adalah Abdullah bin Harun arRasyid. Ya, ia adalah salah satu putra Harun arRasyid sang khalifah yang terkenal itu. Ibunya meninggal saat melahirkan dia.

Al-Ma’mun dikenal sebagai seorang yang cerdas. Pada awalnya ia tumbuh dalam pendidikan Sunnah. Ia pernah menyusun kitab bantahan terhadap Yahudi dan Nashara. Namun, ia gemar berdebat dan bertukar hujjah memainkan logika.

Al-Ma’mun pernah berkata: Mengalahkan orang lain dengan hujjah (perdebatan) lebih aku sukai dibandingkan mengalahkannya dengan kekuasaan.

Ia pun banyak terpengaruh oleh tokoh-tokoh sesat Mu’tazilah, seperti Bisyr bin Ghiyats al-Marisiy. Tidak hanya pemikiran menyimpang dari Mu’tazilah, namun juga Jahmiyyah dan Syiah turut mewarnai dirinya.


Baca Juga: Kelompok Sesat Tidak Akan Mendatangkan Kebaikan


Al-Ma’mun secara asal adalah seorang yang cinta kepada ilmu. Tapi ketika perangkat keilmuannya masih lemah dan ia banyak berdiskusi dengan orang yang menyimpang, tanpa disadari kesesatan pemikiran itu merasuk pada dirinya dan ia pun membela penyimpangan itu.

Pernah suatu ketika al-Ma’mun mendukung kebolehan nikah mut’ah –seperti kebiasaan Syiah-. Yahya bin Aktsam kemudian datang menasehatinya dan menyebutkan hadits Ali bin Abi Tholib tentang keharaman nikah mut’ah. Setelah menyadari keshahihan hadits tersebut, al-Ma’mun kemudian rujuk dari pendapatnya semula, dan ia pun mengumumkan diharamkannya nikah mut’ah.


Baca Juga: Jangan Jadikan Tokoh-Tokoh yang Menyesatkan Sebagai Teman Dekat/ Penolong Kita


Namun, pada pemikiran sesat lainnya, yaitu keyakinan bahwa al-Quran adalah makhluk, al-Ma’mun tetap bersikeras pada pendiriannya. Tidak mau menerima hujjah kuat yang disampaikan Ulama Ahlussunnah. Hal itu menunjukkan bahwa petunjuk (taufiq) di Tangan Allah semata. Kadangkala seorang tergerak hatinya menerima kebenaran dengan taufiq Allah, dan kadangkala di waktu yang lain Allah sesatkan dia dalam hal-hal yang lain. Hanya kepada Allahlah semata kita meminta petunjuk.

Al-Ma’mun dibaiat sebagai khalifah menggantikan saudaranya di bulan Muharram tahun 198 H. al-Ma’mun juga aktif dalam banyak pertempuran. Ada banyak hal-hal buruk yang diyakini atau diperjuangkan al-Ma’mun selama masa kekhalifahannya. Di antaranya adalah keyakinan bahwa al-Quran adalah makhluk.

Keyakinan yang benar al-Quran adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Namun, keyakinan yang menyimpang bahwa al-Quran adalah makhluk diperjuangkan serta disebarkan dengan kekuasaan oleh al-Ma’mun.


Baca Juga: Akidah Salaf Tentang AQuranul Karim


Para Ulama yang tidak mau tunduk pada keyakinan sesat itu berada pada pilihan yang sulit: dipenjara, dipersempit penghasilannya, atau bahkan dibunuh. Tidak sedikit Ulama harus mengucapkan akidah menyimpang itu karena terpaksa, takut dengan ancaman.

Tersisa 2 orang Ulama yang kokoh dalam akidahnya. Mereka berdua adalah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh. Keduanya dibelenggu dinaikkan unta dipaksa melakukan perjalanan panjang menuju Khalifah al-Ma’mun dengan ancaman hukuman mati yang telah menanti. Tersiar kabar: “Khalifah telah menghunus pedangnya. Ia tidak pernah menghunus pedang sedemikian dahsyat kepada siapapun sebelumnya”.

Dalam perjalanan itu, meninggallah Muhammad bin Nuh. Tersisa seorang Imam Ahlussunnah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Al-Imam Ahmad pun menyolatkan saudara seperjuangannya tersebut.

Ada hal-hal yang menguatkan al-Imam Ahmad selama masa perjalanannya ke ibukota kekhalifahan. Beliau bertemu dengan Abu Ja’far al-Anbariy yang memberinya nasehat: Wahai seseorang (yang digiring menuju Khalifah). Manusia akan mengikutimu. Demi Allah, seandainya engkau mau memenuhi ajakan Khalifah bahwa al-Quran adalah makhluk, niscaya manusia pun akan memenuhi ajakan itu (menjadikannya sebagai akidah mereka). Jika engkau tidak menerimanya, sejumlah besar manusia juga akan menolaknya. Sekalipun orang itu tidak membunuhmu, toh engkau juga akan meninggal. Bertaqwalah kepada Allah, janganlah memenuhi ajakan itu. al-Imam Ahmad pun menangis dan berkata: Masya Allah.

Selama masa safar itu, di keheningan malam, di sepertiga malam terakhir, al-Imam Ahmad khusyu’ berdoa kepada Allah Sang Maha Pengatur Segalanya, agar janganlah Allah pertemukan beliau dengan Khalifah al-Ma’mun. Tidak beberapa lama berlalu, tersiar kabar bahwa al-Ma’mun telah meninggal dunia.

Namun, al-Imam Ahmad tetap diperjalankan hingga menuju ibukota kekhalifahan, dan dimulailah babak baru rentetan catatan sejarah yang merekam kekokohan beliau berpegang teguh dengan akidah Ahlussunnah yang shahihah meski para penguasa memaksa beliau dengan keyakinan yang menyimpang.

 

Penulis:
Abu Utsman Kharisman

Sumber Rujukan:
– al-Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir
– Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya adz-Dzhabiy

Tinggalkan Balasan