Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Kebajikan Yang Dilakukan Non Muslim Bukan Acuan Ibadah Bagi Muslimin

Muhkam dan mutasyabih, pernah mendengar istilah-istilah ini?

Ya, itu dua istilah yang secara sederhana dipahami sebagai 2 jenis dalil. Yang pertama dalil yang jelas gamblang serta dapat dipahami banyak kalangan. Sedangkan yang kedua yang masih samar dan hanya bisa dimengerti oleh kalangan yang berilmu dari para ulama.

Nyatanya kerap ada yang mengais pembenaran dengan bermodal bahasa umum dari mutasyabihat. Padahal Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya,

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dialah (Allah) yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 7)

Sebagian kalangan memunculkan klaim bahwa Abu Lahab diringankan adzabnya karena bergembira dengan kelahiran Muhammad shallallahu alaihi wasallam keponakannya.

Mungkin yang disebut riwayat paling shahih seputar hal ini adalah pengakuan seorang tabi’i Urwah bin AzZubair  rahimahullah sebagaimana disebutkan sebagai tambahan faedah terhadap matan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang menolak memenuhi permintaan sebagian istri beliau untuk menikahi salah satu putri Abu Salamah radhiyallahu anhu, karena merupakan anak dari saudara sepersusuan. Hal itu disebutkan dalam Kitab An Nikah Shahih Al Bukhori.

قَالَ عُرْوَةُ: وَثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ، كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا، فَأَرْضَعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ، قَالَ لَهُ: مَاذَا لَقِيتَ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ: لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ، غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ

Urwah rahimahullah berkata:

“Tsuwaibah mantan budak wanita yang dulu dimerdekakan Abu Lahab. Kemudian dia (Tsuwaibah) menyusui Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ketika Abu Lahab telah mati, sebagian keluarganya bermimpi melihat dia dalam kondisi yang mengenaskan. Si keluarga ini berkata dalam mimpinya kepada Abu Lahab, “Apa yang engkau jumpai?” Abu Lahab menjawab: “Tidak ada (kenikmatan) yang aku jumpai setelah meninggalkan kalian, kecuali aku sempat diberi minum, sebagai balasan karena aku membebaskan Tsuwaibah dari perbudakan.” (petikan HR Al Bukhori dalam Kitab An Nikah).


Artikel lain yang semoga juga bermanfaat: Menolak Taqlid, Pengingat Bimbingan Seputar Maulid


Jika modal riwayat Urwah ini yang dimaksudkan, maka alhamdulillah sebenarnya para ulama sejak dulu sudah membahasnya. Yang benar-benar ingin mengetahui kebenaran tinggal merujuk kembali pembahasan para ulama tersebut, memahaminya dan menerima kebenarannya dengan lapang dada.

Namun jika yang dikehendaki adalah kebimbangan (baca: syubhat), tentu peringatan terhadap ummat agar tidak mendengar lagi dari mereka para penyebar kebingungan itu, adalah sikap yang paling pantas.

Berikut ini kesimpulan secara makna dari beberapa kritik ilmiah yang telah dituliskan beratus tahun lalu oleh para ulama ahli hadits dan membungkam syubhat tersebut di masa lalu, semoga kembali meredakan kebingungan setelah dimunculkan kembali di masa kita ini.

1. Tinjauan sejarah

Urwah bin Az Zubair rahimahullah adalah generasi Tabi’i yang diperselisihkan tahun kelahirannya apakah di akhir kekhalifahan Umar (tahun 23 H) ataukah di awal kekhilafahan Utsman radhiyallahu anhum jami’an.

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan pula tambahan riwayat yang lebih gamblang, beliau rahimahullah menjelaskan,

وذكر السهيلي أن العباس قال: لما مات أبو لهب رأيته في منامي بعد حول في شر حال فقال: ما لقيت بعدكم راحة، إلا أن العذاب يخفف عني كل يوم اثنين، قال: وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد يوم الاثنين، وكانت ثويبة بشرت أبا لهب بمولده فأعتقها

“As Suhaili menyebut bahwa Al ‘Abbas (salah satu paman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang beriman) pernah berkata: Setelah Abu Lahab mati, aku sempat melihatnya dalam mimpiku sekitar setahun, dia terlihat dalam kondisi mengenaskan. Abu Lahab berkata: “Aku tidak pernah mendapat kesempatan istirahat dari siksaan. Hanya saja siksaanku diringankan setiap hari Senin.” Dia menambahkan: “Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam lahir di hari Senin. Sedangkan yang pertama menyampaikan kabar gembira itu kepada Abu Lahab adalah Tsuwaibah, sehingga dia memerdekakannya.” (Fathul Bari 9/145)

Jika memang Al Abbas radhiyallahu anhu yang mengabarkan, beliau memang salah satu dari 2 paman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang masuk Islam. Namun perlu diketahui apakah beliau mengalami hal itu ketika sudah berstatus muslim ataukah sebelumnya? Jika sebelum masuk Islam, berarti kedudukan cerita itu selain hanya mimpi belaka, juga berarti itu sekadar cerita dari orang (yang masih) kafir. Nyatanya memang diperselisihkan kapan beliau masuk Islam. Sebagian ulama menguatkan pendapat bahwa beliau radhiyallahu anhu masuk Islam menjelang Fathu Makkah. Sehingga besar kemungkinan mimpi tersebut diceritakan saat beliau masih belum muslim.

Kemudian tentang Tsuwaibah mantan budak yang dimerdekakan Abu Lahab. Yang disepakati yaitu bahwa dia adalah salah satu ibu susuan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Bahkan Nabi shallallahu alihi wasallam memperlakukan beliau dengan sikap bakti yang baik. Hanya saja diperselisihkan apakah dia masuk islam ataukah tidak. Hal lain yang belum disepakati, terkait waktu, kapan dia dibebaskan oleh Abu Lahab?

Ada sekian riwayat yang berbeda jalan ceritanya. Sebagian memang menyebutkan waktu pembebasan adalah sesaat setelah Tsuwaibah mengabarkan berita kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam. Namun riwayat-riwayat lain justru menyebut waktu-waktu lain yang jauh setelah kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ada yang menyebut sebelum hijrahnya Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan lain sebagainya.

Sedangkan Al Hafidz Ibnu Hajar yang menulis Syarh Shahih Al Bukhori justru menguatkan bahwa pembebasan itu terjadi sekian tahun jauh setelah lahirnya beliau shallallahu alaihi wasallam. Di antara yang menguatkannya bahwa ketika Nabi telah menikah dengan Khadijah radhiyallahu anha, Tsuwaibah pernah berkunjung kepada beliau, dalam keadaan saat itu dia masih berstatus budak yang belum merdeka. (Lihat Fathul Bari 9/145)


Artikel yang juga bermanfaat: Pembahasan Hadits Mursal


2. Tinjauan sanad riwayat mimpi

Kita fokus pada tambahan redaksi dari matan hadits, bukan sanad hadits Shahih Al Bukhori. Matan hadits dalam shahih Al Bukhori jelas disepakati kesahihannya, walhamdulillah.

Akan tetapi tambahan penjelasannya secara tinjauan sanad, Urwah sendiri tidak menyebut siapa yang bercerita kepada beliau. Jika benar Al Abbas yang dimaksudkan, maka catatan sejarah menunjukkan beliau wafat di tahun 32 H. Sekitar 9 tahun dari kelahiran Urwah.

Artinya untuk memenuhi kriteria sanad yang maushul (bersambung), diasumsikan Urwah langsung mendengar sendiri cerita mimpi itu dari Al Abbas. Sayangnya berarti beliau mendengarnya maksimal saat masih berusia sembilan tahun. Usia yang mayoritas remaja belum mencapai batas balighnya.

Sementara Al Hafidz An Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan syarat riwayat yang bisa diterima beliau menyatakan,

ﺻﻔﺔ ﻣﻦ ﺗﻘﺒﻞ ﺭﻭاﻳﺘﻪ ﻭﻣﺎ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻪ

ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺎﺋﻞ

ﺇﺣﺪاﻫﺎ: ﺃﺟﻤﻊ اﻟﻤﺸﺎﻫﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺔ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭاﻟﻔﻘﻪ ﺃﻧﻪ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﺪﻻ ﺿﺎﺑﻄﺎ ﺑﺄﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺴﻠﻤﺎ ﺑﺎﻟﻐﺎ ﻋﺎﻗﻼ ﺳﻠﻴﻤﺎ ﻣﻦ ﺃﺳﺒﺎﺏ اﻟﻔﺴﻖ ﻭﺧﻮاﺭﻡ اﻟﻤﺮﻭءﺓ ﻣﺘﻴﻘﻈﺎ، ﺣﺎﻓﻈﺎ ﺇﻥ ﺣﺪﺙ ﻣﻦ ﺣﻔﻈﻪ، ﺿﺎﺑﻄﺎ ﻟﻜﺘﺎﺑﻪ ﺇﻥ ﺣﺪﺙ ﻣﻨﻪ، ﻋﺎﻟﻤﺎ ﺑﻤﺎ ﻳﺨﻴﻞ اﻟﻤﻌﻨﻰ ﺇﻥ ﺭﻭﻯ ﺑﻪ

“Kriteria orang yang bisa diterima riwayatnya serta hal-hal yang berkaitan dengannya.

Padanya terdapat sekian pembahasan;

Yang pertama: Para imam hadits dan fiqh yang terkenal telah bersepakat bahwa dipersyaratkan padanya seorang perawi itu sebagai orang yang adil (bertaqwa), kuat menjaga riwayatnya (dhobt), dengan bukti dia merupakan seorang muslim, baligh, berakal (cerdas), terbebas dari berbagai sebab kefasikan dan hal-hal yang dapat menjatuhkan wibawanya, sadar sepenuhnya, hafalannya kuat jika dia meriwayatkan dari hafalannya, terjaga kebenaran catatannya jika.dia meriwayatkan dari tulisannya, benar-benar memahami hal yang bisa memalingkan makna apabila dia meriwayatkannya.”

(At Taqrib wat Taisir 1/48)

Kesimpulan Al Hafidz Ibnu Hajar,

ﻭﺃﺟﻴﺐ ﺃﻭﻻ ﺑﺄﻥ اﻟﺨﺒﺮ ﻣﺮﺳﻞ ﺃﺭﺳﻠﻪ ﻋﺮﻭﺓ ﻭﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮ ﻣﻦ ﺣﺪﺛﻪ ﺑﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺗﻘﺪﻳﺮ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻮﺻﻮﻻ ﻓﺎﻟﺬﻱ ﻓﻲ اﻟﺨﺒﺮ ﺭﺅﻳﺎ ﻣﻨﺎﻡ ﻓﻼ ﺣﺠﺔ ﻓﻴﻪ ﻭﻟﻌﻞ اﻟﺬﻱ ﺭﺁﻫﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺇﺫ ﺫاﻙ ﺃﺳﻠﻢ ﺑﻌﺪ ﻓﻼ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﻪ

“Saya jawab (syubhat tersebut), yang pertama bahwa berita ini mursal (terputus). Terputus dari Urwah, dia tidak menyebutkan siapa yang menceritakan hal ini kepadanya. Kalaulah diterima penilaian bahwa riwayat ini maushul (tersabung), maka yang diberitakan dalam riwayat ini adalah mimpi seseorang dalam tidurnya, sehingga tidak patut dijadikan hujjah. Dan bisa saja yang mengabarkan adalah orang yang belum masuk Islam ketika itu. Sehingga tidak pantas dijadikan hujjah.” (Fathul Bari 9/145)

3. Tinjauan isi makna berita

Berita dari mimpi tersebut mengandung satu kesimpulan bahwa sikap atau perbuatan baik yang pernah dilakukan orang kafir di masa hidupnya akan bermanfaat baginya di akhirat. Apakah benar bahwa amal kebajikan orang kafir akan bermanfaat bagi diri mereka kelak di akhirat?

Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam rincian masalah ini. Yang lebih kuat adalah kesimpulan bahwa secara asal tidak ada manfaat sedikitpun perbuatan baik mereka selama hidup didunia apabila pelakunya kafir tidak beriman. Hanya saja Allah memberikan perkecualian diringankannya sebagian siksa bagi sebagian orang kafir karena bantuannya terhadap perjuangan dakwah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam jika jelas dan gamblang disebutkan dalam dalil yang muhkam. Seperti perkecualian dalam hadits shahih dan sharih (gamblang maksudnya) tentang diringankannya adzab bagi Abu Thalib paman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Adapun selain itu, perlu terus ditanyakan mana dalilnya yang muhkam?

Jika tidak, yakinilah bahwa dalil yang muhkam jika berbeda dengan yang mutasyabih, tentulah makna yang jelas dari yang muhkam harus didahulukan. Dan yang mutasyabih dibawa kepada pengertian yang dikandung dalil yang muhkam, bukan sebaliknya.

Mari mengingat bersama ucapan Imam Asy Sya’bi rahimahullah,

ﻣﺎ اﺑﺘﺪﻉ ﻓﻲ اﻹﺳﻼﻡ ﺑﺪﻋﺔ ﺇﻻ ﻭﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ اﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻣﺎ ﻳﻜﺬﺑﻪ

“Tidaklah diadakan suatu kebid’ahan dalam Islam melainkan pasti telah ada ayat yang mendustakannya dalam Kitabullah.” (As Sunnah li Abi Bakr Al Khollal 3/547)

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ

“Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir.” (QS Fathir: 36)

Apakah pantas, berdalil dengan kebajikan yang dilakukan seorang musyrik apalagi dia jelas musuh Allah dan Rasul-Nya, untuk melegalkan kegiatan peringatan yang tidak ada asal usulnya dalam sejarah kehidupan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sendiri, tidak juga para sahabat, pun para tabi’in serta generasi atba’ut tabi’in. Tidak pernah ternukil seorang Imampun yang telah menyelenggarakannya. Tidak Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Safi’i, Ahmad, Al Bukhori, Muslim ataupun selain mereka.


Artikel yang semoga juga bermanfaat: Cinta Kepada Nabi yang Hakiki Adalah Taat dan Menjalankan Sunnah Beliau


Padahal Abu Lahab dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak harta, anak dan pengikut. Bersamaan dengan itu telah muhkam ketentuan Allah, terputus segala bentuk kebaikan dan manfaat bagi sosok pencela yang membenci Nabi itu baik di dunia maupun di akhirat. Allah secara tegas menyatakannya,

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

“Sesungguhnya orang-orang yang membencimu (wahai Muhammad shallallahu alaihi wasallam) merekalah yang terputus.” (QS Al Kautsar: 3)

Perhatikan juga, tatkala menyebutkan beberapa pendapat tafsir para ulama salaf, Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di antaranya,

وعن عطاء: نزلت في أبي لهب، وذلك حين مات ابن رسول الله صلى الله عليه وسلم فذهب أبو لهب إلى المشركين وقال: بتر محمد الليلة. فأنزل الله في ذلك : إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

“Dari Atho’: (ayat ini) turun terkait sosok Abu Lahab. Yang demikian itu terjadi ketika putra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meninggal dunia. (Dengan kebenciannya) Abu Lahab pergi menemui kaum musyrikin seraya berkata, ‘Telah terputus (keturunan) Muhammad pada malam ini!’ Sehingga Allah menurunkan (sebagai bantahan) terhadap hal itu.” (Tafsir Al Quran Al Adzim 8/504)

Begitu pula firman-Nya Jalla wa ‘Ala yang cakupannya lebih umum terkait semua orang kafir,

فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُم بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu (justru) untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” (QS At Taubah: 55)

Yang menguatkan hal ini tafsir para ulama. Al Qurthubi rahimahullah mengutip perkataan Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma,

لما خلق الله عز وجل القلم قال له: اكتب ما هو كائن، وكان فيما كتب؛ تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

Ketika Allah Azza wa Jalla menciptakan pena, Dia Ta’ala berfirman kepadanya: “Tulislah semua yang terjadi.” Dan di antara yang telah dituliskan:

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.”

وقال منصور: سئل الحسن عن قوله تعالى: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ، هل كان في أم الكتاب؟ وهل كان أبو لهب يستطيع ألا يصلى النار؟ فقال: والله ما كان يستطيع ألا يصلاها، وإنها لفي كتاب الله من قبل أن يخلق أبو لهب وأبواه

Manshur berkata, Al Hasan (Al Bashri rahimahullah) pernah ditanya tentang firman Allah Ta’ala:

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

‘Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.’

“Apakah ayat ini juga tercatat di Ummul Kitab (catatan induk yang ditulis pena makhluk pertama-pen)? Lalu apakah Abu Lahab bisa terhindar masuk ke neraka?”

Maka (Al Hasan Al Bashri) beliau menjawab, “Demi Allah, (Abu Lahab) dia itu tidak mampu menghindar untuk masuk ke dalam neraka. Dan bahwa ketentuan itu sudah tercatat dalam Kitabullah (jauh) sebelum Abu Lahab bahkan ayahnya diciptakan.”

(Al Jami’ li Ahkam Al Quran 20/237)

Mari bersama kita tumbuhkembangkan budaya literasi yang postif, membaca dan menerima ilmu dari sumber terpercaya dan pembahasan ilmiah yang bermutu. Bukan zamannya lagi hanya bersikap pasrah ‘sendiko dawuh’ dalam masalah agama terhadap ucapan tokoh yang dikagumi. Selalu berusaha berpikir kritis dan ilmiah dalam menyikapi perbedaan pandangan. Sembari tentunya jangan putus berdoa agar Allah memberi taufiq kepada kita semua mencocoki kebenaran dan istiqomah menjalaninya walaupun banyak pihak yang menyelisihinya.

 

Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan