Sen 9 Syawal 1446AH 7-4-2025AD

Kala Hilal Arofah Tak Tampak di Nusantara (Bagian 2)

Tanggapan terhadap Artikel: “Haji di Arofah, Bukan di Nusantara” oleh Nasrudin Joha

Saya khawatir, niat tulus ikhlas puasa arofah untuk mendekatkan diri kepada Allah justru berbuntut maksiat, karena kaifiyahnya menyelisihi Sunnah.

Tanggapan:

MasyaAllah, ketika anda menyebut Sunnah, ada satu makna yang terselip. Yakni makna Sunnah yang berarti prinsip aqidah, yang hukumnya wajib bagi setiap muslim meyakininya. Walaupun dalam bidang fiqh dan ushulnya, tentu berbeda artinya. Saat sunnah dalam bidang ilmu tersebut bermakna amalan yang ternilai pahala bagi pelaku yang mengerjakannya karena melaksanakan perintah Allah, dan tidak berdosa dan tidak memperoleh keutamaan orang yang tidak melakukannya. Artinya tidak sampai diwajibkan untuk melakukannya.

Ada juga makna lain dalam bidang ilmu-ilmu hadits. Sunnah dalam konteks ilmu ini bermakna semua hal yang berasal dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam baik berupa ucapan, perbuatan ataupun pembiaran beliau terhadap kejadian atau kondisi tertentu.

Saat anda menyebut maksiat, saya sadar bahwa sunnah dalam definisi bidang ilmu aqidahlah yang anda maksudkan. Apabila memang demikian yang dimaksudkan, sungguh ikrar para ulama sejak dulu hingga kini membantah dugaan menggelikan ini. Rakyat yang patuh terhadap ketetapan pemerintahnya yang telah memilih salah satu pendapat fiqh pantaskah disebut bermaksiat? Sebaliknya yang memprovokasi untuk menyelisihi ketetapan pemerintah muslim dianggap sesuai sunnah?

Padahal Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menekankan:

ﻭﻣﻦ اﻟﺴﻨﺔ اللاﺯﻣﺔ اﻟﺘﻲ ﻣﻦ ﺗﺮﻙ ﻣﻨﻬﺎ ﺧﺼﻠﺔ ﻟﻢ ﻳﻘﺒﻠﻬﺎ ﻭﻳﺆﻣﻦ ﺑﻬﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻦ ﺃﻫﻠﻬﺎ

“Dan termasuk sunnah (prinsip keyakinan) yang wajib, di mana barang siapa yang meninggalkan sebagian saja, jika dia tidak menerima, tidak pula meyakininya, berati dia bukan termasuk penganutnya…”

(Kemudian beliau sebutkan poin-poin prinsip yang wajib diyakini tersebut, hingga sampai pada pernyataan beliau):

ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﻗﺘﺎﻝ السلطان ﻭﻻ اﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻴﻪ ﻷﺣﺪ ﻣﻦ اﻟﻨﺎﺱ ﻓﻤﻦ ﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﻣﺒﺘﺪﻉ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮ اﻟﺴﻨﺔ

“… Juga tidak halal melakukan perlawanan menghadapi penguasa, tidak pula menentangnya bagi seorangpun dari masyarakat. Barangsiapa yang melakukan hal itu berarti dia adalah mubtadi’ tidak di atas sunnah.” (Ushul As Sunnah 1/17 & 1/46)

Adapun saya percaya dengan yang disampaikan Imam Ahmad rahimahullah. Sehingga saya mengkhawatirkan pihak yang menentang ketetapan penguasa justru terjerumus dalam maksiat, bahkan terancam dikategorikan mubtadi’. Semoga Allah menjauhkan kita semua dari kedua hal yang membahayakan tersebut.

Kalau menyelisihi Sunnah masak masih mau terus ditaati? Kalau nanti yang di ikuti masuk jurang, masih mau konsisten ikut jurang? Makanya, yang diikuti itu petuahnya yang sesuai Sunnah, bukan orangnya, bukan Ketokohannya, bukan kiyainya, bukan jabatannya.

Tanggapan:

Setuju! Jangan lagi mentaati orang yang menyelisihi sunnah. Termasuk terhadap para pembangkang ketetapan dan kebijakan pemerintah muslim, perlu kita imbau saudara-saudara kita seiman agar tidak mengikuti seruan pembangkangan itu. Jangan terkecoh dengan tokoh-tokoh hanya karena piawai bersilat lidah. Jangan pula mengikuti provokasi hanya karena telah viral di masyarakat. Hindarkan diri kita dari jurang yang coba mereka masuki!


Baca bagian sebelumnya: Kala Hilal Arofah Tak Tampak di Nusantara (Bagian 1)


Sekarang saya Persilahkan Anda memilih, mau ikut wukuf Arofah atau wukuf nusantara ?
Mau haji mengikuti ketentuan Amir Mekkah atau Amir nusantara ?
Mau puasa arofah atau puasa Nusantara ? Mau Idul Adha atau Idul nusantara ?

Tanggapan:

Coba anda simak salah satu kutipan fatwa Komisi Tetap untuk Fatwa dan Penelitian Ilmiah Kerajaan Saudi Arabia berikut ini, semoga pilihan anda selanjutnya lebih terbimbing:

اﺧﺘﻼﻑ ﻣﻄﺎﻟﻊ اﻷﻫﻠﺔ ﻣﻦ اﻷﻣﻮﺭ اﻟﺘﻲ ﻋﻠﻤﺖ ﺑﺎﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺣﺴﺎ ﻭﻋﻘﻼ، ﻭﻟﻢ ﻳﺨﺘﻠﻒ ﻓﻲ ﻫﺬا ﺃﺣﺪ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﻻ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻭﻗﻊ اﻻﺧﺘﻼﻑ ﺑﻴﻦ ﻋﻠﻤﺎء اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ اﻋﺘﺒﺎﺭاﺧﺘﻼﻑ اﻟﻤﻄﺎﻟﻊ ﻓﻲ اﺑﺘﺪاء ﺻﻮﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭاﻟﻔﻄﺮ ﻣﻨﻪ، ﻭﻋﺪﻡ اﻋﺘﺒﺎﺭﻩ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ؛ ﻭﺳﺒﺐ ﻫﺬا ﺃﻥ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﺎﺋﻞ اﻟﻨﻈﺮﻳﺔ اﻟﺘﻲ ﻟﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺠﺎﻝ، ﻭﻟﺬا اﺧﺘﻠﻒ ﻋﻠﻤﺎء اﻹﺳﻼﻡ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﺪﻳﻤﺎ ﻭﺣﺪﻳﺜﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻟﻴﻦ ﻓﻤﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﺭﺃﻯ اﻋﺘﺒﺎﺭ اﺧﺘﻼﻑ اﻟﻤﻄﺎﻟﻊ ﻓﻲ اﺑﺘﺪاء ﺻﻮﻡ اﻟﺸﻬﺮ ﻭﻧﻬﺎﻳﺘﻪ، ﻭﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺮ اﻋﺘﺒﺎﺭﻩ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ، ﻭاﺳﺘﺪﻝ ﻛﻞ ﻓﺮﻳﻖ ﺑﺄﺩﻟﺔ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭاﻟﺴﻨﺔ ﻭاﻟﻘﻴﺎﺱ، ﻭﺭﺑﻤﺎ اﺳﺘﺪﻝ اﻟﻔﺮﻳﻘﺎﻥ ﺑﺎﻟﻨﺺ اﻟﻮاﺣﺪ ﻛﺎﺷﺘﺮاﻛﻬﻤﺎ ﻓﻲ اﻻﺳﺘﺪﻻﻝ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: {ﻓﻤﻦ ﺷﻬﺪ ﻣﻨﻜﻢ اﻟﺸﻬﺮ ﻓﻠﻴﺼﻤﻪ} (¬1) ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: {ﻳﺴﺄﻟﻮﻧﻚ ﻋﻦ اﻷﻫﻠﺔ ﻗﻞ ﻫﻲ ﻣﻮاﻗﻴﺖ ﻟﻠﻨﺎﺱ} (¬2) ﻭﺑﻘﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: «ﺻﻮﻣﻮا ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺃﻓﻄﺮﻭا ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ (¬3) » ﺇﻟﺦ، ﻭﻏﻴﺮ ﻫﺬا ﻣﻦ اﻟﻨﺼﻮﺹ

ﻭﺫﻟﻚ ﻻﺧﺘﻼﻑ اﻟﻔﺮﻳﻘﻴﻦ ﻓﻲ ﻓﻬﻢ اﻟﻨﺼﻮﺹ ﻭﺳﻠﻮﻙ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻃﺮﻳﻘﺎ ﻓﻲ اﻻﺳﺘﺪﻻﻝ ﺑﻬﺎ، ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻬﺬا اﻻﺧﺘﻼﻑ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺃﺛﺮ ﺳﻲء ﺗﺨﺸﻰ ﻋﺎﻗﺒﺘﻪ ﻟﺤﺴﻦ ﻗﺼﺪﻫﻢ ﻭاﺣﺘﺮاﻡ ﻛﻞ ﻣﺠﺘﻬﺪ ﻣﻨﻬﻢ اﺟﺘﻬﺎﺩ اﻵﺧﺮ ﻭﺣﻴﺚ اﺧﺘﻠﻒ اﻟﺴﺎﺑﻘﻮﻥ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺔ اﻟﻔﻘﻬﺎء ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻭﻛﺎﻥ ﻟﻜﻞ ﺃﺩﻟﺘﻪ، ﻓﻌﻠﻴﻜﻢ ﺇﺫا ﺛﺒﺖ ﻟﺪﻳﻜﻢ ﺑﺎﻹﺫاﻋﺔ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﺛﺒﻮﺕ اﻟﺮﺅﻳﺔ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﻄﻠﻌﻜﻢ ﺃﻥ ﺗﺠﻌﻠﻮا اﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﺼﻴﺎﻡ ﺃﻭ ﻋﺪﻣﻪ ﺇﻟﻰ ﻭﻟﻲ اﻷﻣﺮ اﻟﻌﺎﻡ ﻟﺪﻭﻟﺘﻜﻢ، ﻓﺈﻥ ﺣﻜﻢ ﺑﺎﻟﺼﻴﺎﻡ ﺃﻭ ﻋﺪﻣﻪ ﻭﺟﺒﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻃﺎﻋﺘﻪ، ﻓﺈﻥ ﺣﻜﻢ اﻟﺤﺎﻛﻢ ﻳﺮﻓﻊ اﻟﺨﻼﻑ ﻓﻲ ﻣﺜﻞ ﻫﺬا، ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬا ﺗﺘﻔﻖ اﻟﻜﻠﻤﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺼﻴﺎﻡ ﺃﻭ ﻋﺪﻣﻪ ﺗﺒﻌﺎ ﻟﺣﻜﻢ ﺭﺋﻴﺲ ﺩﻭﻟﺘﻜﻢ ﻭﺗﻨﺤﻞ اﻟﻤﺸﻜﻠﺔ.

“Perbedaan zona terbitnya bulan merupakan perkara yang telah dipahami secara mendasar baik secara fisik maupun akal. Juga tidak ada perselisihan tentang hal ini baik internal muslimin maupun selain mereka. Perbedaannya hanyalah terjadi sesama ulama muslimin antara memperhitungkan perbedaan zona terbit itu dalam penentuan awal puasa bulan Ramadhan dan (kapan) mengakhirinya, dengan (pendapat lain yang) tidak memperhitungkan zonasi tersebut dalam hal itu.

Sementara sebab terjadinya (perbedaan pendapat) ini karena permasalahan ini termasuk permasalahan yang membutuhkan pandangan yang memang memberikan kesempatan ruang ijtihad. Karenanyalah para ulama Islam berbeda pendapat tentang hal tersebut sejak dulu hingga sekarang (secara garis besar) menjadi dua pendapat.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa perbedaan zona terbit diperhitungkan dalam (penentuan) batas memulai puasa bulan dan mengakhirinya. Di antara mereka ada yang tidak memandang hal itu patut diperhitungkan. Masing-masing pihak berdalil dengan sekian dalil dari Al Kitab dan As Sunnah serta qiyas. Dan tak jarang kedua belah pihak sama-sama berdalil dengan satu redaksi nash (ayat atau hadits). Seperti kesamaan kedua pihak ketika berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ 

“Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) menyaksikan bulan itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqoroh: 185)

Begitu pula dengan firman Allah Ta’ala,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: «Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia».” (QS. Al Baqarah: 189).

Demikian juga dengan sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah setelah melihat hilal, dan akhirilah puasa kalian dengan melihatnya. (hingga akhir redaksinya)” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Dan nash-nash lainnya. (Semua itu terjadi) karena perbedaan memahami nash-nash itu pada kedua pihak. Juga karena (perbedaan) metode yang ditempuh dalam mengambil kesimpulan hukum dari dalil tersebut pada masing-masing dari keduanya.

Namun perbedaan ini tidaklah menimbulkan pengaruh buruk di antara mereka yang dikhawatirkan akibatnya. Karena memang maksud mereka sama-sama baik. Dan masing-masing pihak yang berijtihad dari mereka menghormati ijtihad pihak lainnya. Dan memang para pendahulu mereka dari para imam ahli fiqh telah berbeda pandang tentang masalah ini. Sedangkan masing-masing pendapat memiliki pijakan dalilnya.

Sehingga merupakan kewajiban bagi kalian, apabila telah valid berita kepada kalian – melalui siaran atau selainnya – bahwa rukyat (hilal) telah berhasil (teramati) di tempat selain zona terbit (yang sama dengan) kalian, hendaklah urusan (waktu) berpuasa atau tidaknya kalian merujuk kepada pemerintah pusat di negara kalian. Apabila (pemerintah itu) telah menetapkan hukum untuk berpuasa ataupun tidak berpuasa, wajib bagi kalian mentaatinya. Karena (sesuai kaedah),

ﺣُﻜْﻢُ اﻟﺤﺎﻛﻢِ ﻳَﺮْﻓَﻊُ اﻟﺨِﻼﻑ

Sesungguhnya hukum dari pemerintah melenyapkan perselisihan

Seperti contoh permasalahan ini. Sehingga dengan demikian akan terwujudlah kesatuan kata dalam berpuasa ataupun tidak, mengikuti keputusan Kepala Negara kalian, serta problematika akan sirna.”

(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 10/98)

Saudaraku, apabila para ulama negeri yang kota Mekkah berada di sana telah memberikan arahan agar masing-masing warga negara hendaklah mengikuti ketetapan kepala negaranya masing-masing. Lalu kenapa yang bukan penduduk kota Mekkah masih ngotot agar mesti sama dengan Amir Mekkah?

Sungguh beruntung orang-orang yang mengakui kesalahannya dan bersegera rujuk untuk meraih keridhoan Allah.


Artikel lain yang semoga bermanfaat: Jika Waliyyul Amr Memerintahkan Shalat Ghaib, Ikutilah


Wahai orang yang beriman, orang yang berakal, kelak Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban atas kesadaran akal yang diberikan. Karena itu, jadikanlah agama sebagai pedoman dan akal sebagai sarana untuk memahami. Jangan menjadi pentaklid buta.

Tanggapan:

Pembaca bisa menilai siapa yang sebenarnya yang belum menjadikan akal sebagai sarana memahami agama dengan memperhatikan kutipan beberapa komitmen ulama berikut.

♦ Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Jashosh Al Hanafi rahimahullah berkata,

ﻭﺃﻣﺎ اﻷﺣﻜﺎﻡ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﺗﺜﺒﺖ ﺑﻘﻮﻟﻬﻢ، ﻷﻥ ﻗﺒﻮﻝ ﺣﻜﻢ اﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭاﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻴﺘﻪ، ﻭﻻ ﻳﺼﺢ ﻷﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ اﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻓﻲ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ ﺭﺃﻳﻪ

“Adapun tentang berbagai hukum (yang diberlakukan di masyarakat), yang menjadi ketetapan hanyalah merujuk ucapan mereka (pemerintah). Karena memang menerima hukum pemerintah merupakan kewajiban bagi rakyatnya. Serta tidak dibenarkan bagi salah seorangpun dari mereka (rakyat), berijtihad untuk menyelisihi pendapatnya (sang pemimpin).” (Al Fushul fi Al Ushul 3/96)

♦ Ibnul Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah menegaskan dengan bahasa lain,

ﻭﻟﻢ ﻳﻮﺟﺐ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ اﻷﺋﻤﺔ ﻧﻘﺾ ﺣﻜﻢ اﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﻻ ﺇﺑﻄﺎﻝ ﻓﺘﻮﻯ اﻟﻤﻔﺘﻲ ﺑﻜﻮﻧﻪ ﺧﻼﻑ ﻗﻮﻝ ﺯﻳﺪ ﺃﻭ ﻋﻤﺮﻭ، ﻭﻻ ﺳﻮﻍ اﻟﻨﻘﺾ ﺑﺬﻟﻚ ﻣﻦ اﻷﺋﻤﺔ ﻭاﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﺗﺒﺎﻋﻬﻢ

“Dan tidak ada seorangpun dari para Imam yang mewajibkan untuk menolak ketetapan hukum pemerintah, tidak pula boleh membatalkan fatwa seorang mufti hanya karena berbeda dengan pendapat Zaid atau ‘Amr (dari para tokoh idola-pen). Tidak pula diberikan toleransi untuk menolak (ketetapan) itu dari kalangan para Imam dan para pendahulu dari kalangan pengikut para imam tersebut.” (I’lam Al Muwaqqi’in 4/223-224)

Alhamdulillah, ulama di atas bukan pentaklid. Mereka menerima ketetapan hukum pemerintah muslim. Mengikuti pilihan pendapat fiqh pemerintah bagi para ulama bukanlah sikap taklid tercela.

Justru menolak ketetapan hukum pemerintah merupakan aib bagi mereka.

Akankah dengan keterangan ini masih ada yang tetap bersikukuh memampangkan aibnya sendiri? Sungguh merugi orang yang menutup akal dengan egonya.

Kelak di akherat ketika yaumul hisab, tidak ada alasan. Tidak ada pembenaran beragama mengikuti nenek moyang, tidak ada pembenaran beragama mengikuti kesepakatan wukuf nusantara. Perhatikanlah peringatan ini.

Tanggapan:

Jangan terburu nafsu, wahai saudaraku. Bedakan antara berbeda pandangan dalam masalah prinsip dasar beragama (aqidah dan manhaj) dengan perbedaan dalam masalah rincian hukum fiqh (ibadah maupun mu’amalah). Pada kategori pertama pihak yang menyelisihi dalil dan tidak mau rujuk setelah ditegakkan hujjah dikhawatirkan menyimpang dari jalan kaum muslimin. Yang menyelisihi dan tidak mau kembali dinyatakan telah memisahkan diri, berpecah dari barisan kaum muslimin sejati. Adapun kategori kedua, perbedaan dan selisih paham tidak boleh menyebabkan perpecahan, permusuhan dan menganggap sesat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah salah seorang ahli fiqih terkemuka masa kini dari negeri Arab sendiri, beliau telah seringkali mewasiatkan agar menghargai perbedaan pendapat yang memang pantas ditolerir selama dalam ranah ijtihad. Salah satunya dalam nasihat beliau,

وهذا التفرق في دين الله يؤدي ولا شك إلى العداوة والبغضاء، ولا سيما إذا كان التفرق بين طلبة العلم في أمور الاجتهاد التي يصوغ فيها الخلاف، فإن هذه المسائل التي يصوغ فيها الخلاف مسائل اجتهادية لا ينبغي أن يحدث منها، أو لا ينبغي أن يحدث منها بالخلاف فيها اختلافٌ في القلوب؛ لأن هذا الاختلاف في القلوب مخالفٌ لما كان عليه الصحابة رضي الله عنهم، فالصحابة رضي الله عنهم يختلفون في المسائل كثيراً، ومع ذلك فإن قلوبهم متفقة لا تختلف، وأنا أضرب مثلاً لاختلاف الصحابة رضي الله عنهم حين ندبهم النبي صلى الله عليه وسلم بعد الرجوع من غزوة الأحزاب إلى أن يخرجوا لبني قريظة، وقال لهم: لا يصلين أحدٌ العصر إلا في بني قريظة، فخرجوا فأدركتهم صلاة العصر في الطريق، فمنهم من صلاها في وقتها ومنهم من أخرها حتى وصل بني قريظة فصلى بعد الوقت، ولم يعنف واحدٌ منهم الآخر، ولم يوبخ النبي صلى الله عليه وسلم طائفةً منهم، ولم تختلف قلوبهم في ذلك؛ لأن الحديث فيه احتمالٌ لهذا؛ ولهذا فمن نظر إلى قوله: لا يصلين أحدٌ العصر إلا في بني قريظة وأخذ بظاهره قال: لا أصلي إلا في بني قريظة وكوني أصل إلى محل القتال عذرٌ في تأخير الصلاة ومن نظر إلى أن المراد بقول النبي صلى الله عليه وسلم لا يصلين أحدٌ إلا في بني قريظة هو المبادرة والإسراع وأخذ بعموم الأدلة الموجبة للصلاة في وقتها للصلاة أن تكون في وقتها صلى في الطريق فلكلٍ وجهة، فكذلك أيضاً المسائل الاجتهادية التي تكون بين العلماء إلى يومنا هذا؛ فإذا كان للخلاف مساق فإنه يجب ألا يكون هذا الخلاف سبباً لاختلاف القلوب، هذه نصيحة أود أن أذكر بها إخواني المسلمين، ولا سيما بعض طلبة العلم الذين يتخذون من الخلاف في المسائل الاجتهادية سبباً للتنافر والتباغض

“Dan perpecahan dalam agama Allah semacam ini tanpa diragukan lagi akan mengantarkan kepada permusuhan dan saling membenci. Terutama jika perpecahan antar para penuntut ilmu terjadinya dalam masalah ijtihad yang di dalamnya perselisihan itu dirumuskan, maka masalah-masalah di mana perselisihan itu dirumuskan adalah masalah ijtihad yang tidak boleh muncul dari mereka.

Atau tidak boleh sampai terjadi perselisihan yang menyebabkan perpecahan dalam kalbu padanya. Karena perpecahan dalam hati semacam ini menyelisihi keadaan para sahabat radhiyallahu anhum.

Adapun para sahabat radhiyallahu anhum memang telah berbeda pendapat dalam sekian banyak permasalahan. Dengan keadaan itu sesungguhnya kalbu-kalbu mereka bersatu, tidak berpecah.

Dan saya berikan satu contoh tentang perbedaan pandang di antara para sahabat radhiyallahu anhum ketika Nabi shollallahu alaihi wasallam mengutus mereka sekembalinya mereka dari perang Ahzab untuk menuju Bani Quraizhah. Beliau shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada mereka,

لا يصلين أحدٌ العصر إلا في بني قريظة

“Janganlah salah seorangpun yang sholat ashar kecuali di Bani Quraizhah.”

Maka berangkatlah mereka. Selanjutnya mereka memasuki waktu sholat ashr di tengah perjalanan. Di antara mereka ada yang mengerjakan sholat ashar pada waktunya, sementara yang lain ada yang menunda sampai tiba di Bani Quraizhah, sehingga mereka mengerjakan sholat setelah lewat waktunya. Namun tidak ada seorangpun yang bersikap kaku terhadap yang lain. Begitu pula Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak mencela pihak manapun dari mereka. Seluruh kalbu merekapun tidak berpecah karena hal itu. Karena memang hadits tentang hal itu mengandung kemungkinan hal tersebut.

Oleh karena itu barang siapa yang melihat sabda beliau, “Janganlah salah seorangpun yang sholat ashar kecuali di Bani Quraizhah”, lalu dia meninjau secara zahir (letterlijk), seraya berkata, “Aku tidak akan sholat kecuali nanti setelah tiba di Bani Quraizhah, sedangkan kondisiku yang sampai di medan tempur menjadi udzur diakhirkannya sholat.”

Sementara pihak yang meninjau dari sisi bahwa yang dimaksudkan dengan sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam: “Janganlah salah seorangpun yang sholat ashar kecuali di Bani Quraizhah” adalah agar bersegera dan bergerak cepat serta meninjau keumuman dalil-dalil yang mewajibkan penunaian sholat pada waktunya, sehingga supaya berada pada waktunya merekapun sholat di perjalanan. Jadi pada setiap pihak ada sisi tinjauannya tersendiri.

Demikian pula sekian banyak permasalahan ijtihadiyah yang terjadi antar ulama hingga masa kita sekarang ini. Maka apabila pada suatu perbedaan terdapat sisi sudut pandang (yang dapat ditolerir), seharusnya jangan sampai perbedaan yang terjadi menyebabkan perpecahan kalbu-kalbu. Demikianlah nasihat ini aku harap dapat mengingatkan saudara-saudaraku muslimin. Terutama sebagian penuntut ilmu yang menjadikan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah sebagai sebab saling menjauhi dan saling membenci.”

(Fatawa Nurun ‘ala Ad Darb, kaset no. 199)


Baca Juga: Bertanya Kepada Ulama Serta Meninggalkan Pertikaian dan Perselisihan


Mumpung belum terlambat, segera bertaubatlah. Puasalah ketika jamaah haji wukuf di arofah. Berhari rayalah, ketika jamaah haji ber Idul Adha. Tak usah pedulikan ujaran yang menyelisihi Sunnah, kelak diakherat argumen yang menyelisihi Sunnah itu tidak bernilai dihadapan Allah SWT.

Tanggapan:

Pada bagian 1 tanggapan kami bukankah sudah dikutipkan haditsnya, dan justru redaksi dan maknanya tidak seperti narasi yang anda sampaikan. Bolehlah kita ingat kembali.

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa (Ramadhan) adalah hari ketika masyarakat (beserta pemerintahnya) bersama berpuasa, dan Idul Fithri adalah hari ketika masyarakat bersama merayakan Idul Fithri, dan Idul Adha adalah haru saat masyarakat bersama menyembelih kurban mereka.” (HR. Abu Dawud & At Tirmidzi dan redaksi sesuai riwayat beliau).

Imam At Tirmidzi rahimahullah sendiri kemudian menegaskan,

فسر بعض أهل العلم هذا الحديث فقال إنما معنى هذا الصوم والفطر مع الجماعة وعظم الناس

“Sebagian ulama menafsirkan makna hadits ini dengan ucapan, ‘Puasa dan berbuka (pada idul fithri) tersebut hanyalah terbatas maknanya (dilaksanakan) bersama Al Jama’ah dan mayoritas masyarakat.”

Diperkuat dengan keterangan Al Khoththobi rahimahullah,

معنى الحديث أن الخطأ موضوع عن الناس فيما كان سبيله الاجتهاد

“(Termasuk kandungan) makna hadits, bahwa kesalahan diabaikan/tidak dianggap terhadap seseorang, selama upaya yang ditempuhnya berdasarkan ijtihad.”

Hingga sampai pada ucapan beliau rahimahullah,

وكذلك هذا في الحج إذا أخطئوا يوم عرفة فإنه ليس عليهم إعادته ويجزيهم أضحاؤهم كذلك، وإنما هذا تخفيف من الله سبحانه ورفق بعباده

“Dan begitu pula (keluhuran) ini berlaku pada haji. Apabila mereka salah dalam menentukan hari Arofah, sesungguhnya mereka tidak perlu mengulanginya, dan tetap memperoleh pahala dari penyembelihan kurban-kurban mereka juga. Hal ini merupakan kelonggaran dari Allah Subhanahu dan kelembutan terhadap para hamba-Nya.” (Aunul Ma’bud 6/316)

Jika redaksi anda berbeda dengan redaksi sunnah, lalu masih menyebut pihak lain menyelisihi sunnah, maka adab siapa yang hendak anda ikuti?

Dan hendaklah anda berhati-hati karena memang argumen yang menyelisihi sunnah bukan hanya tidak bernilai di sisi Allah bahkan terancam dengan siksa-Nya, jika tidak diampuni-Nya. Sehingga bertobatlah dengan benar, semoga Allah mengampuni kita semua.

Apabila anda memiliki bahan kritikan terhadap pandangan pemerintah, hendaklah disampaikan secara langsung atau melalui jalur resmi yang telah tersedia. Apakah nantinya kritik anda didengar, dipertimbangkan atau justru ditolak dan diabaikan bukanlah kewajiban kita memaksakan kehendak. Ingat kita adalah rakyat, sementara pemerintahlah yang berwenang mengeluarkan ketetapan dan perintah terhadap warga negaranya. Mari kita berdoa agar mereka para pemerintah muslimin Allah berikan taufiq untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara jujur, adil, amanah dan terbimbing dengan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam.

 

?️ Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan