Sab 10 Muharram 1447AH 5-7-2025AD

Benarkah Bahwa Semua Amalan Bisa Diterima Maupun Ditolak, Kecuali Sholawat? (Kritikan Ilmiah Terhadap Ust Nuruddin dan Syaikh Ali Jum’ah)

Penjelasan Dalil dan Ucapan Ulama tentang Dua Syarat Diterimanya Amal

Saudaraku kaum muslimin rahimakumullah…

Seorang yang baru mengenal kajian yang berlandaskan sunnah Nabi, biasanya akan dikenalkan pula dengan 2 syarat diterimanya amal. Begitu pula yang sering didengungkan dalam kajian-kajian ilmu, ceramah, maupun khotbah Jumat.

Ada 2 syarat diterimanya amal, yaitu: Ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi shollallahu alaihi wasallam.
Suatu amalan yang dikerjakan tidak dengan keikhlasan, tidak akan diterima. Demikian juga suatu amalan yang meskipun ikhlas tapi tidak sesuai dengan tuntunan Nabi, juga tidak akan diterima.

Kaidah ini berlaku untuk semua amalan. Baik ucapan, perbuatan, maupun amalan hati.

Kaidah ini berlandaskan penjelasan Ulama Salaf dan juga didasari dalil-dalil alQuran dan hadits-hadits Nabi yang shahih.

Perhatikan penafsiran ayat alQuran dari seorang Ulama Salaf yaitu al-Fudhail bin Iyaadl rahimahullah yang wafat tahun 187 H tentang firman Allah Ta’ala:

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Untuk menguji kalian siapakah yang terbaik amalannya (Q.S Hud ayat 7 dan al-Mulk ayat 3).

Al-Fudhail bin Iyaadl rahimahullah menyatakan:

أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَإِنَّهُ إِذَا كَانَ خَالِصًا ولَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ وَإِذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا وَالْخَالِصُ إِذَا كَانَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ إِذَا كَانَ عَلَى السُّنَّةِ

(Amalan yang terbaik adalah) yang paling ikhlas dan paling tepat. Apabila seseorang ikhlas tapi amalannya tidak tepat, tidaklah diterima. Apabila amalannya tepat tapi ia tidak ikhlas, juga tidak diterima. Hingga amalan itu dilakukan dengan ikhlas dan tepat (benar). Seorang yang ikhlas jika amalannya dilakukan karena Allah. Sedangkan amalan yang tepat (benar) adalah jika berada di atas sunnah (riwayat Abu Nuaim dalam Hilyatul Awliyaa’ dan dinukil pula oleh al-Imam al-Baghowy salah seorang Ulama Syafiiyyah dalam Tafsirnya)

Apakah dalil bahwa suatu amalan harus mengandung keikhlasan dan kesesuaian dengan sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam?

Dalilnya banyak. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ ‌فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا ، وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya hendaklah melakukan amal saleh dan tidak menjadikan apa dan siapa pun sebagai sekutu dalam beribadah kepada Tuhannya (Q.S al-Kahf ayat 110)

Al-Imam Ibnu Katsir – salah seorang Ulama Syafiiyyah yang wafat tahun 774 H – rahimahullah menyatakan:

{فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ} أَيْ: ثَوَابَهُ وَجَزَاءَهُ الصَّالِحَ، {فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا} ، مَا كَانَ مُوَافِقًا لِشَرْعِ اللَّهِ {وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا} وَهُوَ الَّذِي يُرَادُ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَهَذَان رُكْنَا الْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ. لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ خَالِصًا لِلَّهِ، صوابًا عَلَى شَرِيعَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya”, artinya adalah pahala-Nya dan balasan-Nya yang baik, “hendaknya ia beramal sholih”, yaitu selama sesuai dengan syariat Allah. “dan janganlah menyekutukan Rabb-Nya dalam peribadatan”, yaitu yang diharapkan dengannya Wajah Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kedua hal ini adalah 2 rukun amalan yang diterima. Harus dilakukan ikhlas karena Allah dan benar sesuai dengan syariat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (Tafsir alQuranil Adzhim 5/205)

Dalil keharusan suatu amalan adalah sesuai dengan sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam, di antaranya adalah:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan, yang tidak ada perintah kami padanya, maka itu tertolak (H.R Muslim dari Aisyah)

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak ada padanya, maka itu tertolak (H.R al-Bukhari dari Aisyah)

Kutipan Syubhat Ucapan Ust Nuruddin dan Syaikh Ali Jum’ah

Meski sebenarnya telah begitu gamblang para Ulama Ahlussunnah menjelaskan bahwa 2 syarat diterimanya amal ada 2, yaitu ikhlas dan kesesuaian dengan sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam, namun ternyata ada pandangan yang berbeda. Tanpa menyebutkan dalil.

Ustadz Muhammad Nuruddin, yang menjadi viral di medsos setelah debatnya dengan Guru Gembul bertajuk Diskusi Terbuka: ‘Bisakah Keshahihan Akidah Islam Dibuktikan Secara Ilmiah?’ di Aula Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia pada 9 Oktober 2024 lalu, di sebagian video ceramahnya di kesempatan lain menyebut nukilan pernyataan Syaikh Ali Jum’ah bahwa semua amalan bisa diterima dan ditolak kecuali sholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Berikut ini akan ditampilkan kutipan transkrip pernyataan ustadz Muhammad Nuruddin tersebut, dan kemudian dikutipkan pula pernyataan Syaikh Ali Jum’ah pada referensi kitab yang dimaksudkan.

Ucapan ust Muhammad Nuruddin, Lc, MA:

Guru saya pak, nih saya tidak mengarang-ngarang, saya mengatakan ini karena ini yang diajarkan oleh guru kami di Al-Azhar. Ada seorang Grand Mufti Mesir, mantan Mufti Mesir. Namanya Syaikh Ali Jum’ah. Ulama besar. Di salah satu kitabnya, judulnya itu atThoriq Ilallah. Beliau mengatakan begini: Semua ibadah anak cucu Adam itu baynal qobul war rodd. Itu antara diterima dan gak diterima. Bapak shalat ini, Subuh ini, bisa jadi diterima sama Allah, bisa jadi kagak. Saya ceramah begini nih. Bisa jadi pahalanya diterima sama Allah bisa jadi nggak.

Semua ibadah kita begitu. Shodaqoh, puasa, ngaji, hadir majelis ta’lim, semua ibadah kita begitu. Bisa jadi diterima, bisa jadi enggak. Satu-satunya pak, satu-satunya ibadah dalam Islam yang udah pasti diterima hatta dari orang fasik sekalipun, kata beliau…hatta dari orang fasik sekalipun, tukang mabuk misalnya, hah…apalagi misalnya. Sebutlah kefasikan-kefasikan itu. Orang fasik kalau melakukan ibadah ini, pasti Allah terima. Apa itu? As-Sholah alan Nabi shollallahu alaihi wasallam. Bersholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Kenapa? Kata beliau…kenapa? Karena ini ibadah berkaitan langsung dengan kekasih Allah. Bi Janaabin Nabawisy Syariif, kekasih Allah yang mulia. Kita kalau sholawat udah pasti diterima, pak. Makanya ibadah kalau kita merasa aduh sholatku ini gimana cacatnya? Sholawat sama Nabi perbanyak, insyaallah itu bisa menambal kekurangan ibadah kita. Insyaallah itu diterima. Kalau kata guru saya memastikan. Itu penjelasan para Ulama. Artinya mereka punya dalil. Terlepas kita tahu atau tidak mana ayatnya. Mereka meneliti dalil, dalil alQuran dan Sunnah. Kata mereka: Ibadah yang pasti diterima dari orang muslim sekalipun dia fasik itulah sholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Makanya, kita yang merasa ibadahnya kita kurang, anak-anak muda yang merasa tatoan, yang merasa dulu hidupnya gelap, suka mabuk dan lain-lain, anda punya hak yang sama mencintai Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Kalau anda bersholawat, sholawat anda akan diterima. Terlepas anda kotor atau bersih. Karena sosok yang anda sholawati adalah kekasih Allah yang mulia, shollallahu alaihi wasallam.

— selesai kutipan pernyataan ust Nuruddin—-.

Selanjutnya, kita akan tampilkan pernyataan Syaikh Ali Jum’ah, Grand Mufti Mesir terdahulu. Setelah ditelusuri dalam pdf kitab atThoriiq Ilallah, kalimat yang dimaksudkan terdapat pada halaman 65.

Berikut adalah kutipan pernyataan Syaikh Ali Jum’ah yang dimaksud:

وكل عمل بين القبول والرد إلا الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فهي مقبولة أبدا من الفاسق والعاصي لا تحتاج إلى نية ولا تحتاج إلى إخلاص

Setiap amalan berada dalam keadaan antara diterima atau ditolak, kecuali sholawat atas Nabi shollallahu alaihi wasallam yang akan selalu diterima. Baik dari orang yang fasik dan bermaksiat. Tidak butuh pada niat dan tidak butuh pada keikhlasan… (ath-Thoriiq Ilallaah halaman 65)

Demikianlah kutipan dari pernyataan Ust Nuruddin dan Syaikh Ali Jum’ah. Sekedar tambahan informasi, Ustadz Nuruddin yang menjadi viral setelah debat dengan Guru Gembul itu adalah lulusan S2 Jurusan Akidah Filsafat Universitas al-Azhar Kairo Mesir.

Tanggapan terhadap Pernyataan tersebut

Berikut ini adalah tanggapan dan kritikan ilmiah terhadap pernyataan ustadz Nuruddin maupun Syaikh Ali Jum’ah tersebut:

Pertama: Pernyataan Syaikh Ali Jum’ah itu membutuhkan dalil. Jika ada dalil shahih yang tegas yang mengecualikan amalan sholawat sebagai amalan yang selalu diterima, kita harus menerimanya. Namun, tidak disampaikan dalil yang dimaksudkan tersebut.

Ustadz Nuruddin justru mengajarkan untuk taklid buta, dengan pernyataan beliau: “Itu penjelasan para Ulama. Artinya mereka punya dalil. Terlepas kita tahu atau tidak mana ayatnya. Mereka meneliti dalil, dalil alQuran dan Sunnah. Kata mereka: Ibadah yang pasti diterima dari orang muslim sekalipun dia fasik itulah sholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam.”

Apakah Syaikh Ali Jum’ah menyebutkan dalil? Jawabannya: Ya. Tapi bukan dalil yang tepat untuk mengecualikan sholawat sebagai amalan yang pasti diterima. Syaikh Ali Jum’ah menyatakan di halaman yang sama, halaman 65 dalam kitab atThoriiq Ilallah:

والنبي صلى الله عليه وسلم يقول : من صلى علي واحدة صلى الله عليه عشرا ولم يشترط في ذلك لا إخلاص ولا تقوى ولا مقامات ولا غير ذلك

Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa yang bersholawat sekali atasku, Allah akan bersholawat sepuluh kali untuknya. Tidaklah dipersyaratkan dalam hal itu keikhlasan, ketakwaan, kedudukan-kedudukan, dan selainnya (atThoriiq Ilallah karya Syaikh Ali Jum’ah halaman 65)

Hadits yang dikemukakan oleh Syaikh Ali Jum’ah itu adalah hadits yang shahih. Kita tidak mengingkari hal itu. Namun, hadits itu adalah dalil yang menunjukkan salah satu keutamaan sholawat. Barang siapa yang bersholawat kepada Nabi sekali, Allah akan bersholawat untuknya sepuluh kali. Bukan dalil yang mengecualikan sholawat dari amalan yang tidak perlu ikhlas.

Bahkan, dalam hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam dinyatakan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Sesungguhnya Allah tidaklah menerima amal kecuali yang dilakukan ikhlas dan diharapkan dengannya Wajah Allah (H.R anNasaai dari Abu Umamah, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Dalam hadits tersebut, Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak memperkecualikan sholawat sebagai amalan yang tidak harus ikhlas. Secara asal, sholawat adalah bagian dari amal juga yang mempersyaratkan keikhlasan dan kesesuaian dengan sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Kedua: Dari pernyataan Ulama yang telah dikutipkan sebelumnya, yaitu al-Fudhail bin Iyaadl dan juga Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau berdua- tidak memperkecualikan amalan sholawat atau amalan apapun yang boleh tidak ikhlas atau boleh tidak sesuai tuntunan Nabi. Artinya, hal itu berlaku untuk seluruh amalan. Seluruh amalan, syarat diterimanya adalah ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Dipertegas lagi oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidzhahullah, beliau menyatakan:

‌كُلُّ ‌عَمَلٍ يَتَقَرَّبُ بِهِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنْفَعُ صَاحِبَهُ إِلَّا إِذَا تَوَافَرَ فِيْهِ شَرْطَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُوْنَ خَالِصاً لله
الثَّانِي: أَنْ يَكُوْنَ مُطَابِقاً لِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Setiap amalan yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla tidaklah bermanfaat bagi pelakunya kecuali jika terpenuhi 2 syarat. Pertama: Dilakukan ikhlas karena Allah. Kedua: Sesuai dengan sunnah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (Transkrip Pelajaran Syarh al-Arbain anNawawiyyah)

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad adalah salah seorang Ulama hadits di Madinah. Beliau pernah menjadi rektor Universitas Islam Madinah dan pernah menyelesaikan secara tuntas penyampaian pelajaran Enam Kitab Induk Hadits di masjid Nabawiy (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan atTirmidzi, dan Sunan Ibn Majah). Beliau memulai pelajaran dari tanggal 1 Muharram 1406 H, dimulai dari pembahasan Shahih Muslim, kemudian Shahih al-Bukhari, kemudian kitab-kitab induk hadits yang tersisa. Hingga sekitar 24 tahun kemudian pelajaran itu baru tuntas. Subhanallah. Beliau menyampaikan pelajaran tersebut setiap hari ba’da Maghrib selain hari Kamis di Masjid Nabawi Madinah.

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad juga menyusun karya tentang keutamaan sholawat. Beliau memiliki karya berjudul Fadhlus Sholaati ‘alan Nabi shollallahu alaihi wasallam. Namun, tidak ada pernyataan beliau yang mengecualikan bahwa sholawat atas Nabi berbeda dengan amalan lain dalam hal tidak diperlukan keikhlasan ataupun kesesuaian dengan sunnah Nabi.

Ketiga: Kami tidak mengingkari keutamaan sholawat atas Nabi. Begitu besar keutamaannya. Saya sendiri telah menulis buku berjudul “Mari Bersholawat Sesuai Tuntunan Nabi shollallahu alaihi wasallam (Mengupas Seluk Beluk Sholawat dalam Tinjauan Syariat)”. Referensi utama yang dijadikan rujukan dalam buku saya tersebut adalah 3 kitab karya Ulama, yaitu Jalaa-ul Afhaam fii Fadhlis Sholaati was Salaam ‘ala Khoyril Anaam karya Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘alal Habiibisy Syafi’ karya as-Sakhowiy, dan Fadhlus Sholaati ‘alan Nabiy karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidzhalullah. Dari ketiga referensi utama itu, saya belum pernah mendapati dalil alQuran, hadits shahih, maupun ucapan Ulama Ahlussunnah bahwa sholawat adalah amalan yang tidak memerlukan keikhlasan ataupun kesesuaian dengan sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam. Kalau anda hendak menganjurkan orang bersholawat atas Nabi, arahkan mereka untuk bersholawat dengan ikhlas untuk Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi, bukan dengan mengada-adakan kalimat sholawat yang mengandung pujian berlebihan yang Nabi sendiri tidak meridhainya.

Keempat: Pernyataan dari Syaikh Ali Jum’ah dan Ust Nuruddin tersebut berpotensi akan menimbulkan pemahaman dan pengamalan yang salah. Dikhawatirkan akan berkembang pengungkapan sholawat yang begitu bebas dan orang tidak merasa disalahkan. Toh semua ungkapan sholawat pasti diterima. Pasti benar. Tidak harus ikhlas dan tidak harus sesuai dengan tuntunan Nabi. Hal tersebut berbahaya.

Kelima: Ustadz Nuruddin mengarahkan orang memperbanyak sholawat untuk menambal kekurangan ibadah yang lain. Ustadz Nuruddin mengatakan: “Makanya ibadah kalau kita merasa aduh sholatku ini gimana cacatnya? Sholawat sama Nabi perbanyak, insyaallah itu bisa menambal kekurangan ibadah kita. Insyaallah itu diterima. Kalau kata guru saya memastikan”.

Semestinya, kita mengarahkan orang yang merasa kurang dalam shalat wajib, dengan memperbanyak shalat sunnah. Kurang dalam puasa wajib, perbanyak puasa sunnah. Kurang dalam sedekah wajib (zakat), perbanyak sedekah sunnah. Dan seterusnya. Lakukan dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi shollallahu alaihi wasallam. Hal tersebut sesuai hadits:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ» ، قَالَ: يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

Sesungguhnya awal (amalan) yang dihisab pada manusia pada hari kiamat adalah shalat. Nabi bersabda: Rabb kami (Allah) Jalla wa Azza berkata kepada para Malaikat-Nya dalam keadaan Dia paling mengetahui: Lihatlah kepada shalat hamba-Ku, apakah sempurna atau kurang? Apabila sempurna, tulislah sebagai kesempurnaan. Jika ada kekurangan, lihatlah apakah hamba-Ku punya amalan yang sunnah (tathowwu’/nafilah)? Jika ada, sempurnakanlah amalan wajibnya dari amalan sunnahnya itu. Kemudian setiap amalan diperlakukan demikian (H.R Abu Dawud dari Abu Hurairah)

Kepada orang fasik yang banyak berdosa, hendaknya kita mengarahkan mereka untuk tidak berputus asa. Bertobatlah dan berjuang untuk beramal sholih. Setiap amalan yang dilakukan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi shollallahu alaihi wasallam akan diterima oleh Allah Azza Wa Jalla.

Terakhir, kritikan ilmiah ini juga diiringi dengan anjuran untuk memperbanyak sholawat atas Nabi shollallahu alaihi wasallam secara ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ahlussunnah adalah orang yang paling banyak bersholawat secara benar. Setiap kali mereka berdoa, mereka akan berupaya memuji Allah dan bersholawat atas Nabi. Setiap kali disebut Nabi, mereka akan berupaya bersholawat. Dalam shalat, seorang tidak akan luput dari bersholawat atas Nabi. Demikian juga dalam shalat jenazah. Setelah mendengar kumandang adzan, juga disunnahkan bersholawat. Doa akan masuk ke dalam masjid maupun keluar masjid juga disunnahkan bersholawat. Terlebih di hari Jumat, dianjurkan untuk memperbanyak sholawat atas Nabi shollallahu alaihi wasallam. Dalam khotbah Jumat, sebaiknya khotib tidak melewatkan bacaan sholawat. Dalam qunut witir juga disunnahkan bersholawat. Saat melakukan sa’i pada haji maupun umrah, di dalamnya terdapat sunnahnya bersholawat. Bahkan, saat duduk di suatu majelis bersama sekumpulan orang, janganlah kosong dari dzikir atau bersholawat atas Nabi shollallahu alaihi wasallam agar terhindar dari penyesalan pada hari kiamat:

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللَّهَ فِيهِ، وَلَمْ يُصَلُّوا عَلَى نَبِيِّهِمْ، إِلَّا كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ

Tidaklah suatu kaum duduk di majelis, mereka tidak mengingat Allah di dalamnya dan tidak bersholawat atas Nabi mereka, kecuali akan menjadi penyesalan bagi mereka. Jika Allah berkehendak, Allah akan menyiksa mereka, jika Allah berkehendak Allah bisa mengampuni mereka (H.R atTirmidzi dari Abu Hurairah)

Wallaahu A’lam.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, pertolongan, dan ampunan kepada kita dan segenap kaum muslimin.


Penulis: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan