Kala Hilal Arofah Tak Tampak di Nusantara (Bagian 1)
Tanggapan terhadap Artikel: “Haji di Arofah, Bukan di Nusantara” oleh Nasrudin Joha
Dzulhijjah telah kita masuki, rangkaian ibadah penuh keutamaan menanti. Diperlukan kebersihan hati dan solidaritas tinggi untuk meraih ridho Ilahi, terkhusus di hari-hari ini. Saat ummat Islam bangsa ini, di Nusantara begitulah sebutannya tengah mempersiapkan diri, muncul beberapa polemik terkait perbedaan penetapan hari Arofah dan idul Adha di beberapa negara muslim. Salah satunya ditulis oleh sosok yang menyebut diri sebagai Nasrudin Joha.
Lontaran kritikan yang disampaikan si penulis walaupun tanpa disertai dalil, ternyata menimbulkan kebingungan di sebagian masyarakat. Untuk itu diperlukan tanggapan adil yang diharapkan dapat membentuk permakluman bahwa perbedaan fiqih tidak patut berujung celaan terlebih perpecahan. Begitu pula semoga muslimin semakin memahami bahwa keputusan pemerintah memiliki kedudukan yang mulia dan dasar terpercaya.
Sebelum kita memulai tanggapan, ada baiknya sekilas dipaparkan kutipan penetapan awal bulan Dzulhijjah (yang menjadi acuan hari Arofah dan Idul Adha) tahun 1443 H di dua negara. Arab Saudi sebagai negara lokasi padang Arofah, dibandingkan Indonesia dengan Nusantaranya.
Kutipan berita resmi Kementerian Agama RI: “Dengan demikian Hari Raya Idul Adha 1443 H jatuh pada 10 Juli 2022,” imbuh Wamenag.
Ia menjelaskan, keputusan itu didasarkan dari pantau hilal di 86 titik seluruh wilayah Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan rapat sidang isbat. Menurutnya, proses pengamatan hilal ini menjadi pertimbangan penting dalam sidang isbat. “Dari 34 provinsi yang telah kita tempatkan pemantau hilal, tidak ada satu pun dari mereka yang menyaksikan hilal ,” jelasnya.
Sumber: https://www.kemenag.go.id/read/pemerintah-tetapkan-iduladha-1443-h-jatuh-pada-10-juli-2022
Sementara kutipan kabar resmi dari akun pemerintah Saudi Arabia:
المحكمة العليا: غداً الخميس 30 / 6 / 2022م هو غرة شهر ذي الحجة، والوقوف بعرفة يوم الجمعة الموافق 8 / 7 / 2022م. #واس_عام
١١:٣٨ م · ٢٩ يونيو ٢٠٢٢
“Mahkamah Tinggi: Besok hari Kamis 30/6/2022 M merupakan awal bulan Dzulhijjah, sedangkan Wuquf di Arofah pada hari Jumat bertepatan dengan 8/7/2022 M.”
Salah satu yang menjadi rujukan adalah keberhasilan pengamatan hilal di Observatorium Tumair – Saudi Arabia, sebagaimana ramai diberitakan di media antara lain oleh media Al Arabiya.
Sumber: https://www.alarabiya.net/saudi-today/2022/06/29/ثبوت-رؤية-ذي-الحجة-وعيد-الأضحى-السبت-9-يوليو
Artinya, menurut tinjauan syariat, kedua negara baik Saudi Arabia maupun Indonesia berarti telah sama-sama menjalankan metode penetapan awal bulan yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam, yaitu rukyat dan istikmal bagi yang tidak berhasil mengamatinya, Walhamdulillah, tersisa sikap saling menghargai dan menghormati yang perlu dipertahankan.
Artikel terkait yang semoga bermanfaat: Ucapan yang Paling Utama Untuk Diucapkan Pada Hari Arafah
Kita mulai, wabillahittaufiq walminnah…
Sosok yang menyebut dirinya Nasrudin Joha menuliskan:
HAJI ITU DI AROFAH, BUKAN DI NUSANTARA
Tanggapan:
Alhamdulillah tampaknya tidak ada muslim adil yang memiliki keyakinan ibadah haji bisa dilakukan di Nusantara. Kemungkinan besar si-penulis memakluminya, lalu ke mana arah judul hendak membelokkan perasaan pembacanya?
Adapun terkait perbedaan pendapat tentang apakah pelaksanaan wuquf di Arofah menjadi acuan puasa Arofah di luar tanah haram, memang itu sangat erat kaitannya dengan perbedaan pendapat yang diakui (mu’tabar) di kalangan ulama. Muaranya adalah silang pandang dalam hukum berlakunya rukyat hilal (menyaksikan bulan sabit awal bulan).
Apabila di suatu tempat telah terlihat hilal, apakah wajib bagi muslimin di seluruh dunia merujuk hasil pengelihatan ini? Ataukah justru setiap wilayah mengacu pada hasil rukyat hilal sendiri. Karena memang acuan menentukan awal bulan qomariyah adalah hanya dengan rukyat atau istikmal (penggenapan jumlah bilangan bulan menjadi 30 saat tidak terlihat hilal karena berbagai sebab).
Karena perbedaan pendapat tentang hal itu sudah terjadi sejak dulu, demikian juga varian dalam suatu pendapat cukup beragam. Contohnya seperti diungkapkan Al Hafidz An Nawawi rahimahullah dalam pengantar penjelasan beliau sebelum hadits ke- 1087 dari Shahih Muslim. Silakan disimak pada bagian tanggapan kami selanjutnya.
Aneh, sudah ada hadits haji itu di Arafah,
Tanggapan:
Mungkin yang dimaksudkan adalah hadits sahabat Abdurrahman bin Ya’mar radhiyallahu anhu berikut:
الْحَجُّ عَرَفَةُ، مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ
“(Keabsahan) Haji itu (bagi yang sempat wuquf) di Arofah. Barang siapa yang mendatangi (Muzdalifah pada) malam berkumpul (Idul Adha), sebelum terbitnya fajar, dia telah memperoleh (keabsahan) hajinya.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Syaikh Al Albani).
Jika memang hadits tersebut atau yang redaksinya semakna dengan itu yang penulis maksudkan, pembaca bisa memahami bahwa cakupan makna hadits membahas tentang wuquf di Arofah sebagai rujun haji. Tidak ada kaitan dengan puasa sunnah di bulan Dzulhijjah.
rukyat yang dipake rukyat Amir Mekkah, eh ini maksain rukyat sendiri.
Tanggapan:
Maaf, sejak kapan rukyat yang dipake rukyat Amir Mekkah?
Bukankah kewajiban berpuasa yang memerlukan kepastian hasil rukyat di mulai sejak tahun ke-2 hijriyah. Begitu pula ibadah haji yang direncanakan sejak tahun ke-9 Qodarullah baru dapat dijalani pada tahun ke-10 hijriyah?
Artinya semua peristiwa tersebut terjadi setelah hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah. Berarti Nabi tidak memakai rukyat Amir Mekkah untuk menjalaninya. Beliau bersama para sahabat yang kala itu beribukota di Madinah tentunya menjadikan rukyat muslimin Madinah dalam menentukan kapan awal suatu bulan diketahui. Begitu seterusnya, amir tiap negara menentukan berdasar rukyat di negerinya, sampai masa kita sekarang.
Akhirnya harinya beda. Saat jamaah haji Wukuf, belum puasa Arafah. Saat jamaah haji berkorban (Idul Adha) malah puasa Arafah. Ini puasa Arafah atau puasa nusantara?
Kalau mau merujuk dalil ya ambil dalil yang kuat, jangan pake ego akhirnya beribadah menyelisihi Sunnah.
Tanggapan:
Saudaraku, bukankah Allah telah berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad shalallahu alaihi wasallam) tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqoroh: 189)
Mari bertafakkur, bukankah bulan menjadi tanda-tanda waktu, termasuk ibadah haji? Bukankah artinya kapan waktu pelaksanaan momen ibadah sangat tergantung dari teramatinya hilal?
Subhanallah, merupakan sunnatullah yang menjadi fakta di belahan bumi manapun, bahwa seluruh dunia ini tidak mungkin semua bagiannya dapat mengamati hilal secara bersamaan pada hari yang sama.
Maka semoga kita mulai dapat memahami (atau setidaknya memberi ruang permakluman) terhadap saudara kita sesama muslim yang mengalami perbedaan penetapan karena perbedaan yang telah Allah Ta’ala taqdirkan bagi mereka masing-masing.
Silakan dimaklumi barangkali saja sebagian saudara kita menjadikan dalil ayat di atas sebagai salah satu dalil kuat di sisi mereka. Hilal di Arofah mungkin saja telah teramati (walaupun harus menggunakan teropong), namun sayangnya di Nusantara tidak ada laporan masuk yang menyatakan berhasil mengamati hilal Dzulhijjah, baik dengan mata telanjang ataupun alat bantu.
Jadi sebenarnya, dapat ditolerir apabila saudara kita ada yang meyakini hari Arofah tahun 1443 H di Nusantara dihitung sejak 1 Dzulhijjah di Nusantara pula. Hindarkan diri kita dari memaksakan pendapat terhadap pilihan fiqh sesama muslim, apalagi jika mereka memiliki dasar kuat bersama pemerintahnya.
Baca Juga: Keadaan-Keadaan yang Menentukan Boleh Tidaknya Berpuasa di Hari Sabtu
Kalo jamaah haji telah Idul Adha, hari Nahar, terus ada yang maksain puasa, apa ini bukan puasa yang diharamkan? Puasa di hari Nahar? Puasa saat Idul Adha?
Tanggapan:
Tentu tidak diharamkan, jika kita bisa memaklumi adanya perbedaan pendapat dalam ranah ijtihad para ulama. Merupakan sikap terpuji jika kita berusaha meneliti dengan seksama untuk menentukan mana yang lebih benar dan lebih tepat kita ikuti. Namun tidak perlu memaksakan pilihan kita terhadap salah satu pandangan madzhab fiqh kepada semua pihak, selama masuk ranah perbedaan yang mu’tabar (diakui secara ilmiah).
Kita tidak usah terlalu jauh membahas semua pendapat madzab dalam masalah ini. Coba cermati dulu dalam madzhab fiqh Syafi’iyyah saja (yang notabene dianut mayoritas muslimin di Nusantara ini). Tidak kurang 4 pandangan yang beredar di kalangan ulama madzhab ini, tentang masalah ini. Seperti yang diutarakan Al Hafidz An Nawawi rahimahullah saat menyematkan judul bab sekaligus memberi pengantar sebelum menjelaskan hadits ke- 1087 dalam Shahih Muslim:
(ﺑﺎﺏ ﺑﻴﺎﻥ ﺃﻥ ﻟﻜﻞ ﺑﻠﺪ ﺭﺅﻳﺘﻬﻢ)
(ﻭﺃﻧﻬﻢ ﺇﺫا ﺭﺃﻭا اﻟﻬﻼﻝ ﺑﺒﻠﺪ ﻻ ﻳﺜﺒﺖ ﺣﻜﻤﻪ ﻟﻤﺎ ﺑﻌﺪ ﻋﻨﻬﻢ) ﻓﻴﻪ ﺣﺪﻳﺚ ﻛﺮﻳﺐ ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻭﻫﻮ ﻇﺎﻫﺮ اﻟﺪﻻﻟﺔ ﻟﻠﺘﺮﺟﻤﺔ ﻭاﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻨﺪ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺃﻥ اﻟﺮﺅﻳﺔ ﻻ ﺗﻌﻢ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﻞ ﺗﺨﺘﺺ ﺑﻤﻦ ﻗﺮﺏ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﺎﻓﺔ ﻻ ﺗﻘﺼﺮ ﻓﻴﻬﺎ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﻗﻴﻞ ﺇﻥ اﺗﻔﻖ اﻟﻤﻄﻠﻊ ﻟﺰﻣﻬﻢ ﻭﻗﻴﻞ ﺇﻥ اﺗﻔﻖ اﻹﻗﻠﻴﻢ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺗﻌﻢ اﻟﺮﺅﻳﺔ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺟﻤﻴﻊ ﺃﻫﻞ اﻷﺭﺽ
“Bab Penjelasan Bahwa bagi Tiap Negeri Rukyat Tersendiri. Dan bahwa muslimin apabila telah melihat hilal di suatu negeri, hukumnya tidaklah mengenai wilayah yang jauh negeri tersebut.
Tentang masalah ini terdapat hadits Kuraib dari Ibnu ‘Abbas yang dengan jelas menjadi dalil untuk judul (bab) ini. Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi’iyah, pengamatan rukyat (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak yang belum diperbolehkan mengqoshor shalat¹).
Ada juga yang berpendapat bahwa kesamaan zona pengamatan hilal berkonsekwensi mengharuskan (penduduk zona tersebut sama penetapannya)²). Dan ada pula pendapat lain bahwa parameternya pada kesamaa iklimnya, jika berbeda maka tidak bisa disatukan ketetapannya³). Sedangkan sebagian lain dari para ulama madzhab kami yang ternyata berpendapat bahwa rukyat mencakup secara global semua lokasi para penduduk seluruh dunia⁴).”
(Al Minhaj Syar Shahih Muslim 7/197)
Walhamdulillah jarang kita temui pemaksaan kehendak masing-masing ulama terkemuka madzhab terhadap yang lain, atau sampai berkesimpulan tidak sahnya puasa pihak yang lain, seperti yang disangkakan penulis kali ini.
Janganlah ikatan kebangsaan dijadikan dasar untuk membuat ujaran berbeda. Sekali lagi, haji itu ya di Arafah bukan di nusantara. Saat jamaah haji wukuf di Arafah, kaum muslimin yang lain puasa Arafah. Saat jamaah haji menyembelih korban, Berhari raya, ya seluruh kaum muslimin juga berkorban. Jangan bikin aturan sendiri dan sekehendak hati, bisa kualat.
Tanggapan:
Sekali lagi maaf, tampaknya penyusun narasi terjebak pada konsep pemaksaan kehendak. Sayangnya justru dibahasakan bahwa pihak pemerintah RI membuat ujaran berbeda.
Padahal sebenarnya tidak ada korelasi timbal balik antara keberadaan lokasi manasik haji di Arafah dengan keharusan bahwa muslim yang lain puasa Arafahnya mesti bersamaan dengan masa wukuf. Jika memang ada kepastian tentang keharusan itu, semestinya penulis memaparkannya sebagai pencerahan, agar narasinya tidak ternilai sebagai ujaran kebencian belaka.
Sebagai pembanding, ulama yang memperbolehkan perbedaan ketika berbeda hasil rukyat berhujjah dengan pemahaman dari hadits shahih. Al Mubarokfuri rahimahullah menjelaskan naskah bab dan hadits dalam Sunan At Tirmidzi, mari bersama dicermati:
(ﺑﺎﺏ ﻣﺎ ﺟﺎء ﻓﻲ اﻟﻔﻄﺮ ﻭاﻷﺿﺤﻰ ﻣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻥ)[ 802]
ﻭﻗﺪ ﺑﻮﺏ اﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻓﻴﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﺑﻠﻔﻆ ﺑﺎﺏ ﻣﺎ ﺟﺎء ﺃﻥ اﻟﻔﻄﺮ ﻳﻮﻡ ﺗﻔﻄﺮﻭﻥ ﻭاﻷﺿﺤﻰ ﻳﻮﻡ ﺗﻀﺤﻮﻥ ﻭﺫﻛﺮ ﻓﻴﻪ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻣﺮﻓﻮﻋﺎ اﻟﺼﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﺗﺼﻮﻣﻮﻥ ﻭاﻟﻔﻄﺮ ﻳﻮﻡ ﺗﻔﻄﺮﻭﻥ ﻭاﻷﺿﺤﻰ ﻳﻮﻡ ﺗﻀﺤﻮﻥ ﻭﺣﺴﻨﻪ
ﻗﻮﻟﻪ (اﻟﻔﻄﺮ ﻳﻮﻡ ﻳﻔﻄﺮ اﻟﻨﺎﺱ ﻭاﻷﺿﺤﻰ ﻳﻮﻡ ﻳﻀﺤﻲ اﻟﻨﺎﺱ) ﻗﺎﻝ اﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻓﻴﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻓﺴﺮ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﻘﺎﻝ اﻟﺼﻮﻡ ﻭاﻟﻔﻄﺮ ﻣﻊ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻭﻋﻈﻢ اﻟﻨﺎﺱ اﻧﺘﻬﻰ
ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺳﺒﻞ اﻟﺴﻼﻡ ﻓﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﻓﻲ ﺛﺒﻮﺕ اﻟﻌﻴﺪ اﻟﻤﻮاﻓﻘﺔ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻭﺃﻥ اﻟﻤﻨﻔﺮﺩ ﺑﻤﻌﺮﻓﺔ ﻳﻮﻡ اﻟﻌﻴﺪ ﺑﺎﻟﺮﺅﻳﺔ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻮاﻓﻘﺔ ﻏﻴﺮﻩ ﻭﻳﻠﺰﻣﻪ ﺣﻜﻤﻬﻢ ﻓﻲ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻹﻓﻄﺎﺭ ﻭاﻷﺿﺤﻴﺔ
Bab 802 Tentang Idul Fithri, Idul Adha, Kapan Dilaksanakan?
Imam At Tirmidzi rahimahullah telah menuliskan sebelum ini dengan redaksi Bab (Penyebutan Dalil) Bahwa Idul Fithri Adalah Hari Masyarakat Bersama Beridul Fithri dan Idul Adha, dan beliau menyebutkan dalam bab tersebut hadits Abu Hurairah secara marfu’:
اﻟﺼﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﺗﺼﻮﻣﻮﻥ ﻭاﻟﻔﻄﺮ ﻳﻮﻡ ﺗﻔﻄﺮﻭﻥ ﻭاﻷﺿﺤﻰ ﻳﻮﻡ ﺗﻀﺤﻮﻥ
“Puasa (Ramadhan) adalah hari ketika masyarakat (beserta pemerintahnya)bersama berpuasa, dan Idul Fithri adalah hari ketika masyarakat bersama merayakan Idul Fithri, dan Idul Adha adalah haru saat masyarakat bersama menyembelih kurban mereka.” Dan beliau (At Tirmidzi) menilainya hasan.
(Makna) sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam:
اﻟﻔﻄﺮ ﻳﻮﻡ ﻳﻔﻄﺮ اﻟﻨﺎﺱ ﻭاﻷﺿﺤﻰ ﻳﻮﻡ ﻳﻀﺤﻲ اﻟﻨﺎﺱ
At Tirmidzi menyatakan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagian ulama telah menafsirkan hadits ini dengan ucapannya:
اﻟﺼﻮﻡ ﻭاﻟﻔﻄﺮ ﻣﻊ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻭﻋﻈﻢ اﻟﻨﺎﺱ
Puasa dan hari raya bersama jama’ah (pemerintah beserta rakyat), dan mayoritas masyarakat.
Sedangkan (Ash Shon’ani) berkata dalam Subulussalam, ‘Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa dinilai tepat dalam menetapkan (kapan waktu) hari raya, kesesuaian bersama dengan masyarakat. Bahkan orang yang merasa telah berhasil rukyat (hilal) namun sendirian (persaksiaanya ditolak hakim), menjadi kewajiban baginya untuk menyesuaikan diri dengan yang lainnya, dan dia diharuskan menerima hukum mereka dalam pelaksanaan sholat Id, mengakhiri puasa dan pelaksanaan kurban.”
(Tuhfatul Ahwadzi 4/432)
Itu akibat kita disekat-sekat dengan negara bangsa, semua merasa punya otoritas, semua mengeluarkan fatwa, tidak ada lagi kesatuan pendapat bagi kaum muslimin. Padahal, yang namanya Imam itu harusnya satu, pemimpin itu satu, ditaati seluruh kaum muslimin. Nah, penguasa- penguasa kecil itu membuat sekat- sekat, membuat fatwa sendiri yang menyelisihi kesatuan pendapat kaum muslimin. Ini akan membuat umat terpecah dan tidak khusuk beribadah.
Tanggapan:
Sabar saudaraku, jangan terburu berkesimpulan ketetapan pemerintah kita menyebabkan umat terpecah dan tidak khusuk ibadah. Coba anda tahan untuk tidak banyak asal berkomentar, menulis uneg-uneg di media publik, dan melobtarkan klaim sepihak. Tentu umat tidak akan terpecah dan mereka bisa tetap khusuk beribadah. Alhamdulillah fakta membuktikan bahwa selama ini ketetapan pemerintah terkait awal Puasa Ramadhan, 1 Syawwal dan awal Dzulhijjah selalu disambut rakyat Indonesia. Mayoritas bangsa ini tetap bersatu dan berusaha khusuk ibadah bersama pemerintahnya. Lalu siapa sebenarnya yang menyebabkan perpecahan?
Walillahilhamd wal minnah, pada paparan tanggapan awal, telah terang dijelaskan betapa pilihan pemerintah untuk mendasarkan penentuan awal bulan berdasar dalil yang shahih, dan bukan fatwa sendiri, bahkan itu fatwa para ulama terdahulu.
Dan sekat yang anda gambarkan nyatanya tidak ada. Aneh saja rasanya anda sukit menerima pesan persatuan dari ketetapan pemerintah. Apakah masih ada sekat di hati anda?
Coba Anda bayangkan, sudah ada Kumandang takbir, Kumandang Idul Adha, eh Anda yang masih bersibuk dan berlapar ria puasa arofah.
Tanggapan:
Kumandang takbir di negeri nun jauh di seberang mungkin saja mendahului saat bangsa ini masih belum bertakbir. Tapi itu tidak didengar langsung di pemukiman masyarakat kan? Itu hanya (bisa didengar) jika ada upaya mengakses siaran langsung dari negeri lain. Kami belum mendengar takbir id dikumandangkan. Ayolah jangan hiperbola dalam menggambarkan suasana. Santai saja, paparkan apa adanya. Atau ini curahan hati karena anda merasa sendiri? Mari bergabung bersama muslimin lainnya jika begitu, semoga anda tidak lagi terkucil.
Lalu jangan lupa, catat, dalam kalimat terakhir anda menyebut puasa arofah, sepakat ya? Gabungan kata ini penting untuk diingatkan pada bagian selanjutnya.
Padahal, jamaah haji sudah tidak lagi wukuf di arofah. Apa Anda mau puasa wukuf di nusantara?
Tanggapan:
Saudaraku, harap dipilah antara wukuf di Arofah dengan puasa di luar Arofah. Maha Suci Allah Yang telah menunjukkan bahwa hal tersebut tidak harus saling berkaitan.
Bukankah jemaah hajji saat wukuf di Arofah justru mereka tidak diajurkan berpuasa di sana?
Imam At Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ketika ditanya tentang hukum puasa Arofah di Arofah, beliau menjawab:
ﺣﺠﺠﺖ ﻣﻊ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﺼﻤﻪ، ﻭﻣﻊ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﺼﻤﻪ، ﻭﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﺼﻤﻪ، ﻭﻣﻊ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻓﻠﻢ ﻳﺼﻤﻪ، ﻭﺃﻧﺎ ﻻ ﺃﺻﻮﻣﻪ، ﻭﻻ ﺁﻣﺮ ﺑﻪ، ﻭﻻ ﺃﻧﻬﻰ ﻋﻨﻪ
“Aku pernah menjalani ibadah hajji bersama Nabi shollallahu alaihi wassalam ternyata beliau tidak berpuasa ketika itu. Juga pernah bersama Abu Bakar nyatanya beliau tidak berpuasa saat itu. Begitu pula pernah bersama Umar ternyata beliau tidak berpuasa di waktu itu. Dan pernah pula bersama Utsman beliau juga saat itu tidak berpuasa. Sedangkan saya sendiri juga tidak berpuasa. Namun saya tidak mengajurkannya tidak pula melarangnya.” (HR. At Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh beliau, dan dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir rahimahumullah).
Jadi jika muslimin berpuasa di negerinya masing-masing, tetap disebut puasa mereka di hari ke-9 Dzulhijjah sebagai puasa Arofah.
Silakan dihapus istilah puasa nusantara, agar anda tidak menjadi pelopor istilah yang mengada-ada, hadaniyallahu waiyyakum.
Bersambung, biidznillah…
?️ Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Sofian