Benarkah Haram Berpuasa Arafah Jika Tidak Bersamaan Harinya Dengan Wukuf Jamaah Haji di Arafah?
Saudaraku kaum muslimin rahimakumullaah…
Puasa Arafah bagi selain jamaah haji memiliki keutamaan yang sangat besar. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah untuk menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya (H.R Muslim)
Seorang Ulama ahli hadits, An-Nawawiy rahimahullah menyatakan:
فَلَيْسَ فِي صَوْمِ هَذِهِ التِّسْعَةِ كَرَاهَةٌ بَلْ هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ اسْتِحْبَابًا شَدِيْدًا لَاسِيَّمَا التَّاسِعُ مِنْهَا وَهُوَ يَوْمُ عَرَفَةَ
Berpuasa di 9 hari (awal Dzulhijjah) ini tidaklah makruh. Justru sangat dianjurkan. Terutama pada hari ke-9, yaitu hari Arafah (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj karya anNawawiy 8/71)
Pernyataan an-Nawawiy tersebut menjelaskan bahwa hari Arafah itu adalah hari ke-9 Dzulhijjah.
Ketentuan masuknya bulan Dzulhijjah, sebagaimana bulan-bulan yang lain, patokannya adalah dengan rukyatul hilal. Bukan berdasarkan hisab. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, hendaknya ia menahan rambut dan kukunya (jangan dipotong dulu hingga binatang kurban disembelih, pen)(H.R Muslim)
Karena patokan masuknya bulan Dzulhijjah adalah dengan melihat hilal, maka tentu berpeluang ada unsur kesalahan. Namun kesalahan ijtihad demikian termaafkan. Artinya, ada kemungkinan kesalahan dalam menerima persaksian. Atau kesalahan dalam melihat sesuatu yang sebenarnya bukan hilal. Atau kesalahan yang menyebabkan hilal tidak terlihat.
Hari Arafah itu identik bersamaan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Artinya, baik otoritas pengelola ibadah haji di Saudi maupun semua jamaah haji akan berusaha untuk wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Namun, adakalanya sangat mungkin terjadi kekeliruan yang baru disadari belakangan bahwa jamaah haji wukuf di hari yang salah. Akan tetapi, kemudahan dalam syariat Islam memberikan keringanan bahwa seandainya terjadi kesalahan itu bukan atas dasar kesengajaan, dan terjadinya karena kesalahan ijtihad, hal itu termaafkan. Pelaksanaan wukufnya tetap dianggap sah.
Sesuai dengan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam:
شَهْرَانِ لاَ يَنْقُصَانِ، شَهْرَا عِيدٍ: رَمَضَانُ، وَذُو الحَجَّةِ
Dua bulan yang tidak akan berkurang (kadar pahalanya). Yaitu dua bulan Ied: Ramadhan dan Dzulhijjah (H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz sesuai riwayat al-Bukhari)
Di antara makna hadits tersebut menurut para Ulama adalah kaum muslimin akan tetap mendapatkan pahala dan keutamaan yang sempurna baik pada amalan di bulan Ramadhan ataupun amalan di bulan Dzulhijjah, meskipun ada kesalahan ijtihad dalam penentuan masuk dan berakhirnya Ramadhan ataupun Dzulhijjah. Namun, ijtihad dalam hal itu bukan dikembalikan pada orang per orang. Tapi ijtihad dari waliyyul amr atau otoritas yang berwenang di sebuah wilayah.
Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menukil pendapat anNawawiy rahimahullah:
أَنَّ كُلَّ مَا وَرَدَ عَنْهُمَا مِنَ الْفَضَائِلِ وَالْأَحْكَامِ حَاصِلٌ سَوَاءٌ كَانَ رَمَضَانُ ثَلَاثِينَ أَوْ تِسْعًا وَعِشْرِينَ سَوَاءٌ صَادَفَ الْوُقُوفُ الْيَوْمَ التَّاسِعَ أَوْ غَيْرَهُ وَلَا يَخْفَى أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ مَا إِذَا لَمْ يَحْصُلْ تَقْصِيرٌ فِي ابْتِغَاءِ الْهِلَالِ وَفَائِدَةُ الْحَدِيثِ رَفْعُ مَا يَقَعُ فِي الْقُلُوبِ مِنْ شَكٍّ لِمَنْ صَامَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ أَوْ وَقَفَ فِي غَيْرِ يَوْمِ عَرَفَةَ
Segala riwayat tentang keutamaan dan hukum keduanya (Ramadhan maupun Dzulhijjah, pen) akan didapatkan. Baik Ramadhan berjumlah 30 hari atau 29 hari. Baik wukuf di Arafah bertepatan dengan tanggal 9 (Dzulhijjah) atau selainnya. Tidaklah tersembunyi bahwasanya hal itu berlaku selama tidak terjadi sikap taqshir (meremehkan) dalam mencari hilal. Faidah hadits itu adalah menghilangkan keraguan di hati (apakah sah atau tidak) orang yang berpuasa (Ramadhan) 29 hari atau apakah sah (jika jamaah haji) wukuf di selain hari Arafah (Fathul Bari 4/126)
Ucapan anNawawiy yang dinukil oleh Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa hari Arafah itu adalah hari ke-9 Dzulhijjah. Meski jamaah haji tidak sedang wukuf saat itu, karena ada kekeliruan dalam menetapkan harinya.
Al-Imam asy-Syafii rahimahullah juga menyatakan bahwa bisa jadi para jamaah haji ada kekeliruan tentang hari wukufnya, tapi hal itu tetap sah. Beliau rahimahullah menyatakan:
يَجُوزُ الْحَجُّ إِذَا وَقَفَ بِعَرَفَةَ عَلَى الرُّؤْيَةِ، وَإِنْ عَلِمُوا بَعْدَ الْوقُوفِ بِعَرَفَةَ أَنَّ يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ يَوْمُ النَّحْرِ
Tetap sah pelaksanaan haji jika wukuf di Arafah berdasarkan rukyat. Meskipun setelah wukuf di Arafah mereka baru tahu bahwasanya hari (saat wukuf di) Arafah itu adalah pada hari anNahr (tanggal 10 Dzulhijjah, pen)(riwayat al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar 7/376)
Rukyatul hilal sejak di masa Nabi dan para Sahabat dilakukan per wilayah. Tidak ada nash tegas perintah Nabi shollallahu alaihi wasallam untuk menyeragamkan rukyat di semua wilayah, atau memerintahkan agar patokan rukyat hanya diambil dari wilayah tertentu saja.
Hal ini sebagaimana yang terjadi di masa Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) radhiyallahu anhu. Saat Kuraib diperintahkan Ummul Fadhl berangkat ke Syam, ia pun berangkat dari Madinah ke Syam. Saat berada di Syam, ia melihat hilal permulaan Ramadhan di malam Jumat. Yang melihat hilal Ramadhan pada malam Jumat bukan hanya Kuraib, tapi ada orang lain juga. Sehingga Muawiyah –sebagai penguasa pada waktu itu- berpuasa Ramadhan sejak hari Jumat. Kemudian Kuraib kembali ke Madinah di akhir bulan. Saat di Madinah, ia ditanya oleh Sahabat Nabi Ibnu Abbas, kapan melihat hilal? Kuraib menjelaskan bahwa mereka melihat hilal di Syam sejak malam Jumat. Sedangkan penduduk Madinah baru melihatnya di malam Sabtu. Ketika Kuraib bertanya: Tidakkah mencukupkan dengan rukyat Muawiyah di Syam? Ibnu Abbas menjawab: Tidak, demikianlah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan kepada kami.
Berikut ini akan disebutkan haditsnya:
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. وَشَكَّ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى فِى نَكْتَفِى أَوْ تَكْتَفِى.
Dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadhl bintul Haarits mengutusnya pada Muawiyah di Syam. Ia berkata: Aku tiba di Syam dan menunaikan keperluannya. Aku melihat hilal Ramadhan pada saat aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku tiba di Madinah di akhir bulan. Abdullah bin Abbas –semoga Allah meridhai keduanya- bertanya kepadaku kemudian beliau menyebutkan tentang hilal. Beliau bertanya: Kapan kalian melihat hilal. Aku berkata: Kami melihatnya pada malam Jumat. Ibnu Abbas berkata: Apakah engkau melihatnya? Aku berkata: Ya. Dan orang-orang pun juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Muawiyah pun berpuasa. Ibnu Abbas berkata: Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakan 30 (hari) atau kami melihat (hilal Syawwal). Aku bertanya: Tidakkah anda mencukupkan dengan ru’yah dan puasa yang dilakukan Muawiyah? Ibnu Abbas berkata: Tidak. Demikianlah kami diperintah oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (H.R Muslim)
anNawawiy rahimahullah memberi judul Bab pada hadits itu:
بَابُ بَيَانِ أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ وَأَنَّهُمْ إِذَا رَأَوُا الْهِلَالَ بِبَلَدٍ لَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ لِمَا بَعُدَ عَنْهُمْ
Bab Penjelasan Bahwasanya Pada Masing-Masing Negeri (Wilayah) Diberlakukan Rukyat Secara Tersendiri dan Jika Hilal Terlihat di Sebuah Negeri Hukumya Tidak Bisa Diterapkan untuk Negeri Lain yang Jauh
Madinah dengan Syam berjarak sekitar 1000-an kilometer. Meskipun secara garis bujur, Madinah dengan Syam berselisih sedikit. Artinya, tidak sampai terjadi perbedaan waktu yang jauh antar Madinah dengan Syam. Masih berada dalam kisaran jam yang sama meskipun menitnya berbeda. Untuk 2 wilayah yang demikian saja rukyatul hilalnya dianggap berbeda dan terhitung sendiri-sendiri. Apalagi untuk wilayah yang jaraknya lebih jauh dan selisih garis bujurnya juga jauh hingga berselisih jam.
Pelaksanaan ibadah haji memang harus mengikuti rukyat penduduk Makkah. Karena rangkaian ibadah haji memang berkaitan satu sama lain dimulai dari hari Tarwiyah tanggal 8 Dzulhijjah. Bagi yang berhaji tamattu’, pelaksanaan umrahnya hendaknya diselesaikan sebelum tanggal itu. Berlanjut wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, kemudian mabit di Muzdalifah, dan seterusnya. Rangkaian ibadah haji itu menjadi satu kesatuan. Para jamaah haji yang datang dari berbagai negara, harus mengikuti rukyatul hilal dari otoritas setempat. Jangan fanatik pada daerahnya, kemudian mengikuti rukyat dari daerah tempatnya berasal.
Tapi, apakah rukyatul hilal dari Makkah atau negara Saudi dalam penentuan masuknya Dzulhijjah juga mengikat kaum muslimin di negara lain yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji? Jawabannya tidak.
Karena Nabi kita shollallahu alaihi wasallam tinggal di Madinah, tidak pernah beliau minta laporan rukyatul hilal dari Makkah untuk melaksanakan puasa Arafah ataupun amalan di bulan Dzulhijjah. Nabi dan para Sahabat di Madinah berusaha melakukan rukyatul hilal sendiri.
Secara teknis, proses pelaporan rukyatul hilal dari Makkah ke Madinah juga tidak memungkinkan di masa itu. Karena perjalanan dari Makkah dan Madinah saja membutuhkan berhari-hari lamanya. Kadang bisa sampai belasan hari. Belum ada perangkat komunikasi untuk saling berkirim kabar seketika di masa itu.
Bahkan, Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu sebagai khalifah ke-4, pemerintahannya berada di Kufah, Iraq. Lebih jauh lagi jaraknya dari Makkah. Secara teknis, kalau mengirim utusan untuk memantau hasil rukyat dari Makkah, atau menyuruh penduduk Makkah untuk melaporkan, butuh perjalanan lebih lama lagi. Bisa jadi saat di Makkah baru terlihat hilal kemudian segera berangkat ke Kufah, sampai ke Kufah sudah lewat hari Arafahnya.
Kita masih bicara jarak Makkah ke Madinah maupun ke Kufah. Kalau Makkah ke Madinah masih terhitung satu negara, sedangkan ke Kufah adalah bertetangga negara. Bagaimana dengan negara lain yang lebih jauh? Maka tidak bisa mengharuskan keseragaman pelaksanaan puasa Arafah bersamaan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah.
Padahal dalam kurun waktu 1400-an tahun, syariat puasa Arafah itu disampaikan, dengan kondisi alat transportasi maupun komunikasi belum secanggih sekarang.
Selain itu, apabila puasa hari Arafah di berbagai negara lain harus bersamaan dengan wukuf jamaah haji di Arafah, bagaimana jika pelaksanaan ibadah haji di suatu tahun tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab. Seperti jika terjadi ancaman keamanan, wabah penyakit, dan semisalnya.
Apakah pernah dalam sejarah ibadah haji di suatu tahun tidak bisa dilaksanakan? Ya, bahkan puluhan kali. Sebagian referensi mengemukakan hingga 40 kali.
Sebagai contoh, pada tahun 316 Hijriyah, tidak dilaksanakan ibadah haji di tahun itu karena jamaah haji takut dengan al-Qoromithoh yang membunuhi para jamaah haji. Al-Imam adz-Dzahabiy rahimahullah menyatakan:
ولم يحجّ أحدٌ في هذه السنة خوفًا من القرامطة
Tidak ada seorang pun yang berhaji di tahun ini karena takut dengan (kelompok) al-Qoromithoh (Tarikh al-Islam 23/374)
Lalu, apabila karena suatu sebab, ibadah haji di suatu tahun tidak bisa dilaksanakan, apakah puasa Arafah di daerah-daerah lain juga tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada jamaah haji yang wukuf di Arafah? Tentu tidak. Puasa Arafah tetap dilaksanakan di tanggal 9 Dzulhijjah meski tidak bersamaan dengan jamaah haji wukuf di Arafah.
Kita kaum muslimin di Indonesia mengikuti arahan waliyyul amr pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia dalam menentukan 1 Dzulhijjah. Sebagaimana berhari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha juga sesuai ketentuan waliyyul amr, demikian juga puasa Arafahnya. Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah juga memfatwakan kepada penduduk suatu negeri yang rukyat hilal Dzulhijjahnya berbeda dengan di Saudi hendaknya mengikuti ketentuan hasil rukyat di negara masing-masing. Termasuk dalam berpuasa hari Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjahnya.
Kesimpulan: Tidak benar anggapan bahwa haram berpuasa Arafah bagi kaum muslimin di suatu negara selain Saudi saat hari berpuasanya tidak bersamaan dengan hari wukuf jamaah haji di Arafah.
Wallaahu A’lam.
Penulis: Abu Utsman Kharisman