Ming 22 Syawal 1446AH 20-4-2025AD

Benarkah Kisah Umar Membentak Malaikat Munkar dan Nakir di Kubur?

Tersebar narasi di internet yang menyebutkan bahwa Malaikat Munkar dan Nakir dibentak oleh Sahabat Nabi Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu saat di kuburnya. Peristiwa itu disaksikan oleh Ali bin Abi Tholib secara kasyaf.

Kisah ini disampaikan oleh Gus Baha dalam beberapa kesempatan. Sebagian waktu beliau menyampaikan dalam bahasa Indonesia dan di waktu lain dengan bahasa Jawa. Di antara waktu penyampaian Gus Baha itu adalah pada sebuah acara di Kudus pada 19 Februari 2020.

Benarkah kisah itu shahih? Apa rujukannya?

Gus Baha menyebutkan bahwa kisah itu disebutkan oleh Syaikh Nawawi Bantani dalam kitab Nurudz Dzholam Syarh Aqidatil Awwam. Setelah ditelusuri, memang benar kisah itu ada dalam kitab yang dimaksud pada halaman 78. Apakah kisahnya shahih? Mari kita simak kutipan dan penjelasan terhadap kisah tersebut.

وروي أن سبب رفقهما بالمؤمن لما مات سيدنا عمر بن الخطاب ودفن وانصرف الجماعة فبقي سيدنا علي كرم الله وجهه ورضي عنه يترقب في القبر ليستمع كلام سيدنا عمر مع هذين الملكين فسمعه يقول : أيها الملكان أنا وعدتكما وأوصيكما أن لا تأتيا المؤمن بعد هذا الوقت بصورتكما هذه… بل انقصا من هذه لأني لما رأيتكما بهذه الحالة حصل لي خوف وفزع شديد وأنا صاحب رسول الله! فكيف بسواي إذا رآكما بهذه الصورة؟ فقالا له سمعا وطاعة لا نعصي أمرك يا صاحب رسول الله! فقال سيدنا علي رضي الله عنه: والله ما يزال عمر ينفع الناس في حياته ومماته

Diriwayatkan bahwasanya sebab kelembutan kedua Malaikat itu terhadap orang beriman adalah bahwasanya ketika Sayyidina Umar bin al-Khoththob meninggal dan dimakamkan, setelah orang-orang pergi meninggalkan kubur dan tersisa Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah dan semoga Allah meridhai beliau, menunggu di kubur untuk mendengar percakapan Sayyidina Umar dengan dua Malaikat tersebut. Ali mendengar Umar berkata: Wahai 2 Malaikat, aku beri ancaman kepadamu dan wasiatkan kepadamu agar janganlah ada nantinya seorang yang beriman mendatangi kalian berdua setelah ini dengan bentuk (penampakan) kalian seperti ini…Hendaknya kalian turunkan (kadar kengerian penampakan kalian) karena ketika aku melihat kalian berdua dengan penampakan seperti ini, aku mengalami perasaan takut dan terkejut yang sangat. Padahal aku adalah Sahabat Rasulullah. Lalu bagaimana dengan selain aku, jika orang itu melihat kalian berdua dalam bentuk seperti ini? Maka kedua Malaikat itu berkata: Kami mendengar dan taat, tidak akan bermaksiat terhadap perintah anda wahai Sahabat Rasulullah! Maka Sayyidina Ali radhiyallahu anhu berkata: Demi Allah, Umar terus menerus bermanfaat bagi manusia baik saat masih hidupnya maupun setelah meninggalnya

(Nurudzh Dzholaam Syarh Mandzhumah Aqidatil ‘Awwaam karya Syaikh Abu Abdil Mu’thiy Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi al-Jawiy halaman 78)

Berdasarkan indikasi yang terlihat, kisah itu tidaklah shahih, karena beberapa alasan:

Pertama: Kisah itu disampaikan tanpa sanad dan juga tidak menyebutkan rujukan jelas dari kitab-kitab riwayat yang mu’tabar. Ulama sekaliber al-Imam al-Qurthubiy saja yang memang jelas ahli hadits, namun apabila menyebutkan hadits tanpa sanad dan tanpa referensi kitab induk hadits, tidak bisa dijadikan hujjah menurut al-Imam asy-Syaukaniy. Padahal al-Imam asy-Syaukaniy banyak merujuk pada al-Imam al-Qurthubiy. Tapi, pada saat al-Imam al-Qurthubiy menyebut sebuah hadits tanpa sanad dan tanpa rujukan dari kitab induk hadits, beliau menolaknya dan memberikan kritikan.

Al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah menyatakan:

وَهُوَ وَإِنْ كَانَ إِمَامًا فِي عِلْمِ الرِّوَايَةِ، فَلَا تَقُومُ الْحُجَّةُ بِمَا يَرْوِيهِ بِغَيْرِ سَنَدٍ مَذْكُورٍ وَلَا نَقْلٍ عَنْ كِتَابٍ مَشْهُورٍ

Beliau (alQurthubiy) meskipun imam dalam ilmu riwayat (hadits), tidaklah bisa tegak hujjah dari hadits yang diriwayatkan oleh beliau yang tidak disebutkan sanadnya ataupun dinukil dari kitab yang dikenal (Fathul Qodir al-Jami’ Bayna Fannay arRiwaayah wad Diraayah min Ilmit Tafsir karya asy-Syaukaniy 1/536)


Baca Juga: Kritikan Ilmiah Asy-Syaukany Kepada Al-Qurthubiy Ketika Menyebutkan Hadits Tanpa Rujukan dan Sanad


Kedua: Kisah itu justru bertentangan dengan hadits-hadits yang jelas shahih atau hasan yang jelas validitasnya yang menjelaskan tahapan kehidupan alam kubur yang dilalui oleh orang beriman. Kita akan sebutkan 3 hadits, yaitu hadits Anas riwayat al-Bukhari dan Muslim, kemudian hadits Abu Hurairah riwayat atTirmidzi, serta hadits al-Bara’ bin ‘Azib riwayat Ahmad.

إِنَّ العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ، فَيَقُولاَنِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَّا المُؤْمِنُ، فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا

Sesungguhnya seorang hamba jika diletakkan di kuburnya dan para sahabat (yang mengantarnya) telah pergi, ia mendengar ketukan sandal mereka. Datanglah 2 Malaikat yang mendudukkan dia. Kedua Malaikat itu berkata: Apa yang engkau katakan terhadap orang laki-laki ini (diisyaratkan kepada Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam). Adapun seorang yang beriman, ia akan berkata: Aku bersaksi bahwasanya beliau adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Kemudian dikatakan kepada orang itu: Lihatlah tempat dudukmu di neraka, Allah telah menggantikannya tempat duduk di surga. Orang itu bisa melihat kedua tempat itu seluruhnya (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)

إِذَا قُبِرَ المَيِّتُ – أَوْ قَالَ: أَحَدُكُمْ – أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ، يُقَالُ لِأَحَدِهِمَا: الْمُنْكَرُ، وَلِلْآخَرِ: النَّكِيرُ، فَيَقُولَانِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: مَا كَانَ يَقُولُ: هُوَ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فَيَقُولَانِ: قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ هَذَا، ثُمَّ يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي سَبْعِينَ، ثُمَّ يُنَوَّرُ لَهُ فِيهِ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ، نَمْ، فَيَقُولُ: أَرْجِعُ إِلَى أَهْلِي فَأُخْبِرُهُمْ، فَيَقُولَانِ: نَمْ كَنَوْمَةِ العَرُوسِ الَّذِي لَا يُوقِظُهُ إِلَّا أَحَبُّ أَهْلِهِ إِلَيْهِ، حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ

Jika mayit – atau salah seorang dari kalian – dikuburkan, datang 2 Malaikat yang hitam dan (bermata) biru. Salah satunya disebut al-Munkar dan yang lain disebut anNakiir. Keduanya berkata: Apa yang engkau katakan tentang laki-laki ini (Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam, -pen)? Dia berkata: Ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Keduanya berkata: Kami telah mengetahui bahwasanya engkau akan berkata demikian. Kemudian dilapangkanlah kuburnya sejauh 70 hasta (panjang dan lebarnya). Kemudian diterangilah cahaya di kuburnya. Kemudian dikatakan kepadanya: Tidurlah. Orang itu berkata: Aku ingin kembali pada keluargaku untuk memberitahukan hal ini kepada mereka. Kedua Malaikat itu berkata: Tidurlah seperti tidurnya pengantin, yang tidaklah dibangunkan kecuali oleh keluarga yang paling ia cintai. Hingga Allah membangkitkannya dari tempat pembaringannya itu (H.R atTirmidzi dari Abu Hurairah, dihasankan oleh Syaikh al-Albaniy)

إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنْ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنْ الْآخِرَةِ … فَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللَّهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا دِينُكَ فَيَقُولُ دِينِيَ الْإِسْلَامُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ فَيَقُولُ هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولَانِ لَهُ وَمَا عِلْمُكَ فَيَقُولُ قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ فَيُنَادِي مُنَادٍ فِي السَّمَاءِ أَنْ صَدَقَ عَبْدِي فَأَفْرِشُوهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَأَلْبِسُوهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ

Sesungguhnya seorang hamba yang beriman jika menjelang berakhir masa kehidupan di dunia dan hendak menuju akhirat… Kemudian datanglah dua Malaikat yang mendudukkan orang itu dan bertanya: Siapakah Rabbmu? Orang itu berkata: Rabbku adalah Allah. Kedua Malaikat itu berkata: Apa agamamu? Ia berkata: Agamaku Islam. Kedua Malaikat itu berkata: Siapakah laki-laki ini yang diutus untuk kalian? Orang itu berkata: Dia adalah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Kedua Malaikat itu berkata: apa (sumber) ilmumu (sehingga beriman demikian)? Orang itu berkata: Aku membaca Kitabullah, kemudian aku beriman dengannya dan membenarkannya. Kemudian ada yang berseru di langit: hambaKu telah benar. Hamparkanlah (permadani) untuknya dari Surga dan pakaikanlah untuknya pakaian dari Surga. Bukakanlah untuknya pintu menuju Surga sehingga hawa dan aromanya menerpanya. Dilapangkanlah tempat tinggalnya di kuburannya sejauh mata memandang (H.R Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam Qothful Janaa ad-Daaniy syarh Muqoddimah risalah al-Qoyroowaaniy)

Ketiga: Ada perbedaan pengungkapan antara kisah yang tertulis di kitab Nurudz Dzhalam dengan yang diceritakan Gus Baha. Kalau di kisah yang tertulis di kitab tersebut, setelah percakapan itu, kedua Malaikat itu langsung menyatakan: Kami mendengar dan taat, tidak akan bermaksiat terhadap perintah anda wahai Sahabat Rasulullah. Sedangkan di kisah yang diceritakan Gus Baha, Malaikat itu masih berkonsultasi pada Allah. Bahkan dalam sebagian kesempatan, Gus Baha menyebutkan bahwa Malaikat itupun sampai menangis.

Gus Baha menyatakan:

akhire Munkar Nakir iku nangis nang Pangeran. Dadi selama ini saya biasa nyentak, mengapa sekarang disentak. Kata Allah: Yo sing sopan sithik.

Artinya adalah: Gus Baha menyatakan: Akhirnya Munkar Nakir itu menangis menghadap Tuhan. (Seraya berkata) Jadi selama ini saya bisa membentak orang, kok sekarang malah dibentak. Allah berfirman: Ya, yang sopanlah.

Apa yang diceritakan oleh Gus Baha adalah pengembangan yang jauh berbeda dari naskah asli rujukannya. Padahal naskah asli rujukan itu pun tidak bersanad sehingga tidak bisa dipastikan keshahihannya dan justru bertentangan dengan riwayat-riwayat hadits yang jelas shahih.

Sebagai nasihat, hendaknya ketika kita menceritakan tentang Sahabat Nabi, ambillah dari rujukan riwayat yang jelas dan shahih. Karena kisah-kisah yang shahih sudah mencukupi untuk menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi kaum muslimin setelahnya. Sebaik-baik teladan adalah Nabi dan para Sahabatnya, yang mereka juga mengajarkan kepada kita untuk selektif dalam mengambil ilmu, berita, maupun rujukan ilmiah lainnya.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, pertolongan, dan ampunan kepada segenap kaum muslimin.


Ditulis oleh: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan