Kritikan Ilmiah Asy-Syaukany Kepada Al-Qurthubiy Ketika Menyebutkan Hadits Tanpa Rujukan dan Sanad
Meluruskan kekeliruan dan mengkritik secara ilmiah adalah teladan dari para Ulama kita. Bukanlah hal yang tabu adanya kritikan ilmiah dalam kitab-kitab karya Ulama kepada Ulama Ahlussunnah yang lain. Baik yang masih hidup saat itu maupun yang sudah meninggal.
Al-Imam al-Qurthubiy, yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, yang wafat tahun 671 Hijriyah, merupakan salah satu Ulama ahli tafsir dan ahli hadits. Karya beliau dalam ilmu tafsir yang masyhur disebut Tafsir al-Qurthubiy, yang judul aslinya adalah al-Jami’ li Ahkaamil Qur’aan, banyak bermanfaat bagi kaum muslimin.
Tafsir al-Qurthubiy merupakan salah satu tafsir rujukan bagi kitab tafsir setelahnya, di antaranya tafsir Fathul Qodir karya al-Imam asy-Syaukaniy, Ulama Yaman yang wafat tahun 1250 Hijriyah. Al-Imam asy-Syaukaniy juga banyak menukil pendapat al-Imam alQurthubiy dalam karya asy-Syaukaniy yang lain, seperti Nailul Authar.
Dalam tafsir Fathul Qodir, al-Imam asy-Syaukaniy menukil perkataan al-Qurthubiy tidak kurang dari 194 kali. Bahkan, di muqoddimah kitab tafsir Fathul Qodir, setelah menyebutkan penamaan kitab yang beliau tulis, tidak berapa jauh dari penyebutan itu, al-Imam asy-Syaukaniy menukil pernyataan al-Qurthubiy akan pentingnya memahami makna firman-firman Allah sehingga bisa mengambil hukum dan mengamalkannya. Itu menunjukkan bahwa perkataan-perkataan al-Qurthubiy dijadikan salah satu rujukan penting oleh al-Imam asy-Syaukaniy.
Meskipun demikian, hal itu tidak menghalangi al-Imam asy-Syaukaniy untuk mengkritik al-Imam al-Qurthubiy. Seperti pada saat al-Qurthubiy menyebutkan hadits tanpa sanad dan tanpa merujuk ke kitab-kitab induk hadits, asy-Syaukaniy mengkritiknya dan tegas menyatakan bahwa hal itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Mari kita simak pernyataan asy-Syaukaniy tersebut.
Al-Imam asy-Syaukaniy menyatakan dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan surah anNisaa’ ayat 36:
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي نَزَلْتُ مَحَلَّةَ قَوْمٍ، وَإِنَّ أَقْرَبَهُمْ إِلَيَّ جِوَارًا أَشَدُّهُمْ لِي أَذًى، فَبَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعَلِيًّا يَصِيحُونَ عَلَى أَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ: أَلَا إِنَّ أَرْبَعِينَ دَارًا جَارٌ، وَلَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ. انْتَهَى
al-Qurthubiy berkata dalam tafsirnya: dan diriwayatkan bahwasanya seorang laki-laki datang menemui Nabi shollallahu alaihi wasallam dan berkata: Sesungguhnya aku singgah di tempat suatu kaum. Tetangga yang paling dekat denganku adalah yang paling melakukan tindakan menyakitkan terhadapku. Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam mengutus Abu Bakr, Umar, dan Ali berteriak di pintu-pintu masjid (seraya menyerukan): Ingatlah, sesungguhnya 40 rumah (dari rumahmu) adalah terhitung tetangga. Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya. Selesai (penukilan dari al-Qurthubiy).
وَلَوْ ثَبَتَ هَذَا لَكَانَ مُغْنِيًا عَنْ غَيْرِهِ، وَلَكِنَّهُ رَوَاهُ كَمَا تَرَى مِنْ غَيْرِ عَزْوٍ لَهُ إِلَى أَحَدِ كُتُبِ الْحَدِيثِ الْمَعْرُوفَةِ، وَهُوَ وَإِنْ كَانَ إِمَامًا فِي عِلْمِ الرِّوَايَةِ، فَلَا تَقُومُ الْحُجَّةُ بِمَا يَرْوِيهِ بِغَيْرِ سَنَدٍ مَذْكُورٍ وَلَا نَقْلٍ عَنْ كِتَابٍ مَشْهُورٍ، ولا سيما وَهُوَ يَذْكُرُ الْوَاهِيَاتِ كَثِيرًا، كَمَا يَفْعَلُ فِي تَذْكِرَتِه
(Selanjutnya, asy-Syaukaniy berkata): Kalau hadits ini memang sah (valid), niscaya sudah mencukupi dari selainnya. Namun beliau (al-Qurthubiy) meriwayatkannya tanpa merujuk pada salah satu kitab hadits yang dikenal sebagaimana anda lihat. Beliau (alQurthubiy) meskipun imam dalam ilmu riwayat (hadits), tidaklah bisa tegak hujjah dari hadits yang diriwayatkan oleh beliau yang tidak disebutkan sanadnya ataupun dinukil dari kitab yang dikenal. Terlebih lagi, beliau juga banyak menyebutkan riwayat-riwayat lemah sebagaimana yang beliau lakukan dalam kitab beliau atTadzkirah.
(Fathul Qodir al-Jami’ Bayna Fannay arRiwaayah wad Diraayah min Ilmit Tafsir karya asy-Syaukaniy 1/536).
Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita akan teladan sikap para Ulama dalam bersikap ilmiah. Sekalipun terhadap orang berilmu yang kita banyak mengambil faidah ilmu darinya, tidak menghalangi kritik ilmiah disampaikan. Tentunya dengan adab, hikmah, dan berlandaskan hujjah yang kuat. Kemudian, penyampaiannya pun dalam karya ilmiah atau tulisan resmi yang jelas.
Pelajaran lainnya adalah bahwa ucapan seseorang itu bisa diikuti jika memang berlandaskan dalil yang jelas. Sekalipun seorang berilmu menyampaikan hadits atau kisah, tapi ternyata tidak bisa ditelusuri secara ilmiah sanadnya, atau tidak bisa ditelusuri rujukan resminya, ucapan itu tidak bisa diikuti dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Siapapun orangnya dan setinggi apapun keilmuannya.
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita bisa mengikuti akhlak terpuji dan bimbingan ilmiah dari para Ulama Ahlussunnah.
Penulis: Abu Utsman Kharisman