Zuhud dari Sanjungan dan Cara Mencapainya

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr hafizhahullah ketika beliau menjawab pertanyaan maksud dari pernyataan Al Qahthani bahwa zuhud itu terbagi 2 macam; zuhud terhadap dunia, dan zuhud terhadap sanjungan, beliau hafizhahullah menjawab:
“Tidak diragukan lagi bahwa itu semua memang termasuk bagian sifat zuhud. Maksudnya, kondisi seseorang dia bersikap zuhud terhadap pujian/sanjungan orang lain, sehingga tidaklah dirinya terpalingkan (dari niat ikhlas) gegara pujian orang lain terhadapnya, atau berusaha memperoleh sanjungan orang lain bagi dirinya. Jadi tidak diragukan, bahwa sikap meninggalkan perangai seperti itu termasuk bagian sifat zuhud.
Ibnul Qayyim rahimahullah memiliki ucapan yang begitu indah tentang zuhud terhadap pujian, yang beliau menyebutkan hal itu dalam kitab al-Fawaid, pada pembahasan beliau tentang cara mudah mudah bagi anda untuk bisa ikhlas, beliau (Ibnul Qayyim) menyatakan:
‘Bunuhlah rasa tamakmu dengan pisau keputusasaan, lalu berlakulah zuhud terhadap pujian dan sanjungan sebagaimana para pecinta dunia bersikap zuhud terhadap akhirat.’
Maksudnya: mereka (pecinta dunia) itu tidak peduli terhadap akhirat, karena mereka terlalu sibuk dengan urusan dunia.
Lalu jika engkau bertanya: “Apa yang bisa membantu diriku agar mudah bersikap zuhud terhadap pujian itu?”
Maka jawabanku: “Ketahuilah bahwa tidak ada satu perkara pun yang datang dari manusia, kecuali semuanya (hakikatnya) berasal dari Allah. Segenap kunci dan perbendaharaannya ada di Tangan Allah.” Jadi, intinya adalah bahwa semua perkara kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Namun maksud dari perkataan ini adalah hendaknya seseorang bersikap zuhud dari sanjungan dan pujian manusia. Dan tidak diragukan, bahwa hal ini termasuk bagian dari zuhud.
Seseorang yang menginginkan pujian manusia, biasanya akan terjadi pada dirinya beberapa keadaan (yang patut dikritisi), bahkan terkadang sampai berpura-pura (berbuat yang kelihatan baik) demi mendapatkan sanjungan atau memperoleh sesuatu yang ia inginkan dari mereka. Maka hal ini mendorong dirinya melakukan berbagai tindakan demi pihak-pihak yang akan menyanjungnya, ia juga akan berupaya mewujudkan hal itu sesuai yang dikehendaki si pemuji (bukan karena Allah).”
Sumber: Syarh al Arba’in an-Nawawiyyah, 28/34
Nukilan dalam Bahasa Arab:
لا شك أن ذلك كله من الزهد، أي: كون الإنسان يزهد في ثناء الناس، فلا يشغل نفسه بثناء الناس عليه أو بتحري ثناء الناس عليه، فلا شك أن ترك ذلك من الزهد.
ولـ ابن القيم كلام جميل حول الزهد في الثناء، ذكره في كتاب (الفوائد) عندما ذكر الإخلاص، فعند ذكره ما يسهل لك الإخلاص قال:
أن تعمد إلى الطمع وتذبحه بسكين اليأس، ثم تزهد في الثناء والمدح زهد عشاق الدنيا في الآخرة.
يعني بذلك كونهم زاهدين في الآخرة وهم مشغولون في الدنيا.
فإن قلت: فما الذي يسهل علي ذلك؟ قلت: أن تعلم أن ما من شيء يحصل من الناس إلا وعند الله خزائنه وبيد الله مفاتيحه. إذاً: المسألة كلها ترجع إلى الله عز وجل،
ولكن المقصود من هذا كونه يزهد في ثناء الناس وفي مدح الناس، ولا شك أن هذا من الزهد،
والإنسان الذي يريد ذلك فإنه يحصل منه أمور، وقد يحصل منه تصنع من أن أجل أن يحصل على هذا الشيء الذي يرغب فيه، فيجعله ذلك يعمل الأعمال التي تجعلهم يثنون عليه ويحققون له ذلك الشيء الذي يريده.
Diterjemahkan oleh: Abu Abdirrohman Sofian

Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.