Jum 16 Jumadil awal 1447AH 7-11-2025AD
Beranda » Latest » Artikel » Akhlaq » Orang yang Beriman Bersikap Tawadhu’ (Rendah Hati) Tapi Tidak Menghinakan Diri di Hadapan Makhluk

Orang yang Beriman Bersikap Tawadhu’ (Rendah Hati) Tapi Tidak Menghinakan Diri di Hadapan Makhluk

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan:

Perbedaan antara tawadhu’ dan mahanah (kerendahan diri/hina) adalah bahwa Tawadhu’ itu lahir dari gabungan antara pengetahuan tentang Allah Yang Maha Suci, pengetahuan akan Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan sifat-sifat keagungan-Nya, mengagungkan, mencintai, dan memuliakan-Nya; dan dari pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri, perinciannya, aib-aib amalnya, dan kekurangannya. Dari gabungan semua itu lahirlah akhlak yang disebut tawadhu’.

Tawadhu’ adalah tunduknya hati kepada Allah, merendahkan sayap kehinaan (kerendahan hati) dan kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya. Ia tidak melihat dirinya memiliki kelebihan atas orang lain sedikit pun, dan tidak melihat dirinya memiliki hak pada orang lain, bahkan ia melihat kelebihan itu ada pada orang lain atas dirinya, dan hak-hak itu adalah milik orang lain sebelum dirinya. Akhlak ini hanya diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada orang yang dicintai, dimuliakan, dan didekatkan-Nya.

Adapun Mahanah (Kerendahan Diri/Hina): itu adalah kehinaan, kerendahan, mengorbankan diri, dan merendahkan diri secara murahan demi meraih bagian dan syahwatnya (kepentingan duniawinya), seperti rendah dirinya orang-orang rendahan demi mendapatkan syahwat (kepentingan duniawi) mereka, atau merendahnya orang yang dijadikan objek (pasif) kepada pelaku (aktif), dan merendahnya pencari bagian (keuntungan) apa pun kepada orang yang diharapkan dapat memberikan keuntungan tersebut.

Semua ini adalah dhia’ah (kehinaan/kerendahan), bukan tawadhu’. Allah Subhanahu mencintai tawadhu’ dan membenci dhia’ah dan mahanah. Dalam hadits shahih disebutkan dari beliau ﷺ: “Dan Dia mewahyukan kepadaku, agar kalian bersikap tawadhu’, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan diri atas yang lain, dan tidak ada seorang pun yang melampaui batas atas yang lain’ (H.R Muslim, pen).”

Tawadhu’ yang terpuji ada dua jenis:

Jenis Pertama: Tawadhu’ seorang hamba ketika menghadapi perintah Allah dengan melaksanakan, dan ketika menghadapi larangan-Nya dengan menjauhi. Sebab, nafsu (jiwa) karena mencari kenyamanan, akan enggan (lambat) melaksanakan perintah-Nya, sehingga darinya muncul berbagai penolakan dan penentangan untuk lari dari peribadatan; dan nafsu akan bertahan pada larangan-Nya karena ingin meraih apa yang dilarang. Maka, apabila seorang hamba merendahkan dirinya pada perintah dan larangan Allah, sungguh dia telah bertawadhu’ pada peribadatan.

Jenis Kedua: Tawadhu’nya kepada keagungan dan kemuliaan Rabb, dan ketundukannya kepada kebesaran dan keperkasaan-Nya. Setiap kali nafsunya meninggi, ia mengingat keagungan Rabb Ta’ala dan keunikan-Nya dalam hal itu, serta kemarahan-Nya yang dahsyat kepada siapa pun yang menentang (sifat) itu. Maka merendahlah nafsunya kepada-Nya, merunduk hatinya karena keagungan Allah, merasa tenteram karena kewibawaan-Nya, dan tunduk kepada kekuasaan-Nya. Ini adalah puncak tawadhu’, dan hal ini mengharuskan jenis yang pertama, tanpa sebaliknya. Orang yang benar-benar bertawadhu’ adalah orang yang dianugerahi kedua hal ini. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

(ar-Ruh libnil Qoyyim 2/657-658)

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:

Di antara faedah dari ayat yang mulia (ayat Al-Qur’an yang sedang beliau tafsirkan) adalah: Bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah tawadhu’ (rendah hati); berdasarkan firman Allah (yang artinya): “Dan mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. As-Sajdah: 15). Tawadhu’ kepada siapa? Kepada kebenaran dan kepada makhluk.

Akan tetapi, kita harus mengetahui perbedaan antara tawadhu’ dan dzull (kehinaan). Seorang mukmin tidak boleh menjadi hina (dzalil), tetapi ia harus bertawadhu’. Jika kebenaran telah jelas baginya, ia tunduk padanya; ini adalah tawadhu’ kepada kebenaran. Dan jika ia berinteraksi dengan makhluk, ia berinteraksi dengan apa? Dengan tawadhu’.

Namun, ia tidak merendahkan dirinya sendiri hingga hina. Ia tidak menyombongkan diri kepada manusia, dan ia tidak meremehkan hak-hak manusia, tetapi ia tidak menghinakan dirinya kepada mereka.

(Tafsir al-Utsaimin: as-Sajdah halaman 82)


Naskah dalam Bahasa Arab

قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ رحمه الله تعالى

وَالْفَرْقُ بَيْنَ التَّوَاضُعِ وَالْمَهَانَةِ أَنَّ التَّوَاضُعَ يَتَوَلَّدُ مِنْ بَيْنِ الْعِلْمِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَمَعْرِفَةِ أَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَنُعُوتِ جَلَالِهِ وَتَعْظِيمِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَإِجْلَالِهِ، وَمِنْ مَعْرِفَتِهِ بِنَفْسِهِ وَتَفَاصِيلِهَا وَعُيُوبِ عَمَلِهِ وَآفَاتِهَا، مِنْ بَيْنِ ذَلِكَ كُلِّهِ خُلُقٌ هُوَ التَّوَاضُعُ، وَهُوَ انْكِسَارُ الْقَلْبِ لِلَّهِ وَخَفْضُ جَنَاحِ الذُّلِّ وَالرَّحْمَةِ بِعِبَادِهِ، فَلَا يَرَى لَهُ عَلَى أَحَدٍ فَضْلًا، وَلَا يَرَى لَهُ عِنْدَ أَحَدٍ حَقًّا، بَلْ يَرَى الْفَضْلَ لِلنَّاسِ عَلَيْهِ وَالْحُقُوقَ لَهُمْ قَبْلَهُ، وَهَذَا خُلُقٌ إِنَّمَا يُعْطِيهِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ يُحِبُّهُ وَيُكْرِمُهُ وَيُقَرِّبُهُ

وَأَمَّا الْمَهَانَةُ: فَهِيَ الدَّنَاءَةُ وَالْخِسَّةُ وَبَذْلُ النَّفْسِ وَابْتِذَالُهَا فِي نَيْلِ حُظُوظِهَا وَشَهَوَاتِهَا، كَتَوَاضُعِ السُّفْلِ فِي نَيْلِ شَهَوَاتِهِمْ، وَتَوَاضُعِ الْمَفْعُولِ بِهِ لِلْفَاعِلِ، وَتَوَاضُعِ طَالِبِ كُلِّ حَظٍّ لِمَنْ يَرْجُو نَيْلَ حَظِّهِ مِنْهُ. فَهَذَا كُلُّهُ ضِعَةٌ لَا تَوَاضُعَ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُحِبُّ التَّوَاضُعَ وَيُبْغِضُ الضِّعَةَ وَالْمَهَانَةَ. وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ صلى الله عليه وآله وسلم: “وَأَوْحَى إِلَيَّ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

وَالتَّوَاضُعُ الْمَحْمُودُ عَلَى نَوْعَيْنِ

النَّوْعُ الْأَوَّلُ: تَوَاضُعُ الْعَبْدِ عِنْدَ أَمْرِ اللَّهِ امْتِثَالًا وَعِنْدَ نَهْيِهِ اجْتِنَابًا، فَإِنَّ النَّفْسَ لِطَلَبِ الرَّاحَةِ تَتَلَكَّأُ فِي أَمْرِهِ، فَيَبْدُو مِنْهَا أَنْوَاعُ إِبَاءٍ وَشِرَادٍ هَرَبًا مِنَ الْعُبُودِيَّةِ، وَتَثْبُتُ عِنْدَ نَهْيِهِ طَلَبًا لِلظَّفَرِ بِمَا مُنِعَ مِنْهُ، فَإِذَا وَضَعَ الْعَبْدُ نَفْسَهُ لِأَمْرِ اللَّهِ وَنَهْيِهِ فَقَدْ تَوَاضَعَ لِلْعُبُودِيَّةِ

وَالنَّوْعُ الثَّانِي: تَوَاضُعُهُ لِعَظْمَةِ الرَّبِّ وَجَلَالِهِ وَخُضُوعُهُ لِعِزَّتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ، فَكُلَّمَا شَمَخَتْ نَفْسُهُ ذَكَرَ عَظْمَةَ الرَّبِّ تَعَالَى وَتَفَرُّدَهُ بِذَلِكَ، وَغَضَبَهُ الشَّدِيدَ عَلَى مَنْ نَازَعَهُ ذَلِكَ، فَتَوَاضَعَتْ إِلَيْهِ نَفْسُهُ، وَانْكَسَرَ لِعَظَمَةِ اللَّهِ قَلْبُهُ، وَاطْمَأَنَّ لِهَيْبَتِهِ وَأَخْبَتَ لِسُلْطَانِهِ، فَهَذَا غَايَةُ التَّوَاضُعِ، وَهُوَ يَسْتَلْزِمُ الْأَوَّلَ مِنْ غَيْرِ عَكْسٍ. وَالْمُتَوَاضِعُ حَقِيقَةً مَنْ رُزِقَ الْأَمْرَيْنِ. وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. (الروح لابن القيم)

قَالَ الشَّيْخُ ابْنُ عُثَيْمِين رحمه الله تعالى:

وَمِنْ فَوَائِدِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ: أَنَّ مِنْ صِفَاتِ الْمُؤْمِنِ التَّوَاضُعَ؛ لِقَوْلِهِ: ﴿وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ﴾، التَّوَاضُعُ لِمَنْ؟ لِلْحَقِّ وَلِلْخَلْقِ. وَلَكِنْ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ الْفَرْقَ بَيْنَ التَّوَاضُعِ وَالذُّلِّ، فَالْمُؤْمِنُ لَا يَكُونُ ذَلِيلًا، وَلَكِنَّهُ يَكُونُ مُتَوَاضِعًا، إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ الْحَقُّ انْقَادَ لَهُ، هَذَا تَوَاضُعٌ لِلْحَقِّ، وَإِذَا عَامَلَ الْخَلْقَ عَامَلَهُمْ بِمَاذَا؟ بِالتَّوَاضُعِ، لَكِنْ مَا يُذِلُّ نَفْسَهُ، هُوَ لَا يَسْتَكْبِرُ عَلَى النَّاسِ، وَلَا يَغْمِطُ النَّاسَ حَقَّهُمْ، وَلَكِنَّهُ لَا يَذِلُّ لَهُمْ.(تفسير العثيمين: السجدة)