Ming 22 Rabiul awal 1447AH 14-9-2025AD

Taghoful: Akhlak Mulia Mengabaikan Sebagian Kekurangan Saudara Kita

Saat kita berinteraksi dengan orang lain, tidak jarang harapan dan keinginan kita tidak sesuai kenyataan. Sesuatu yang kita harapkan dilakukan saudara kita tidak sepenuhnya dia jalani.

Kealpaan dan kekurangan selalu menyertai manusia. Demikian juga kita hendaknya menyadari bahwa kita pun tidak sempurna.

Dalam hubungan kita dengan Sang Maha Pencipta saja kita merasa sangat bersyukur karena Dia begitu banyak mengabaikan kesalahan kita dan memaafkannya.

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Musibah apa pun yang menimpa kalian adalah karena perbuatan tangan kalian sendiri dan (Allah) memaafkan banyak (kesalahanmu) (Q.S asy-Syura ayat 30)

Setiap insan yang beriman bersatu dengan saudaranya untuk saling menutup kekurangan. Menguatkan sisi-sisi yang belum ada pada saudaranya.

المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Orang beriman dengan orang beriman yang lain bagaikan bangunan, saling menguatkan satu sama lain (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa)

Cita-cita yang tinggi, harapan yang ideal, berupaya mencapai kesempurnaan, tentu adalah motivasi yang begitu baik. Agar setiap orang beriman terpacu untuk mencapai hasil terbaik. Sebagaimana berjuang mencapai surga untuk meraih tingkatan tertinggi adalah anjuran dari Nabi kita shollallahu alaihi wasallam.

Demikian juga dalam urusan dunia yang menunjang nikmat di akhirat, tentunya mencapai yang terbaik adalah idaman setiap insan. Bagaimana menjadi yang terlengkap, tercepat, terbersih, terindah, dan sebagainya. Kalau bisa kondisi yang paling ideal bisa didapatkan.

Namun, dalam interaksi dengan sesama manusia kadang standarnya berbeda. Kemampuannya berbeda. Daya nalar dan pengalamannya berbeda.

Belum lagi kealpaan dan ketergelinciran tidak jarang mewarnai sisi kemanusiaan pada seseorang.

Karena itu, Nabi kita shollallahu alaihi wasallam mencontohkan sisi mengabaikan beberapa kekurangan. Tidak setiap kekurangan itu harus diungkap dan dibeberkan. Langkah yang bijak jika sebagiannya dimaafkan. Bahkan, banyak hal yang dimaafkan Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Dalam hubungan atasan dan bawahan, apalagi di masa dahulu ada hubungan majikan dengan hamba sahaya, Nabi mengarahkan untuk banyak memberi maaf kepada hamba sahaya. Padahal kedudukan hamba sahaya terhadap tuannya jauh lebih rendah dibandingkan antara karyawan dengan atasan yang berupa hubungan kerja dengan upah atau gaji.

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمْ نَعْفُو عَنِ الْخَادِمِ؟ فَصَمَتَ، ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ الْكَلَامَ، فَصَمَتَ، فَلَمَّا كَانَ فِي الثَّالِثَةِ، قَالَ: اعْفُوا عَنْهُ فِي كُلِّ يَوْمٍ سَبْعِينَ مَرَّةً

Seorang laki-laki datang menemui Nabi shollallahu alaihi wasallam dan berkata: Wahai Rasulullah, berapa banyak kami perlu memaafkan hamba sahaya? Nabi diam. Kemudian orang itu mengulang ucapannya. Nabi tetap diam. Hingga pada kali ketiga, beliau bersabda: Maafkanlah dia dalam sehari 70 kali (H.R Abu Dawud)

Subhanallah, padahal bisa jadi dalam sehari kesalahan dari seorang bawahan kita atau karyawan kita saja tidak sampai setengahnya dari jumlah 70 kali itu. Artinya, kuotanya masih jauh di bawah itu. Tapi kadang kita terlalu banyak mencela mereka dan menyalahkan mereka.

Selama 10 tahun Anas bin Malik menjadi pembantu Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, Nabi tidak pernah menegur Anas apabila kurang dalam beradab terhadap beliau atau kurang dalam memberikan pelayanan kepada beliau :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: خَدَمْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَشْرَ سِنِينَ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي أُفًّا قَطُّ، وَلَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا؟ ‌وَهَلَّا ‌فَعَلْتَ كَذَا؟

Dari Anas bin Malik ia berkata: Aku melayani Rasulullah shollallahu alaihi wasallam selama 10 tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah berkata: Uff kepadaku. Beliau juga tidak pernah mengatakan kepadaku: Mengapa engkau melakukan ini? Beliau juga tidak pernah mengatakan: Mengapa engkau tidak melakukan ini? (H.R Muslim)

Ketika sebagian istri Nabi – yang merupakan wanita mulia- tergelincir melakukan kesalahan yang menjadi sebab turunnya ayat dalam surah atTahrim, Nabi mengingatkan kesalahan sebagian istri beliau itu, namun tidak beliau ungkap semua. Tidak beliau beberkan semuanya. Beliau tutup dan sembunyikan sebagian lagi tidak diumbar maupun disampaikan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ

(Ingatlah) ketika Nabi membicarakan secara rahasia suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafsah). Kemudian, ketika dia menceritakan (peristiwa) itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukannya (kejadian ini) kepadanya (Nabi), dia (Nabi) memberitahukan (kepada Hafsah) sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain…(Q.S atTahrim ayat 3)

Mengabaikan sisi kekurangan pada saudara kita dan memaafkannya, itu adalah sikap taghoful. Taghoful adalah bagian dari akhlak orang-orang mulia.

Ibnu Juzaiy rahimahullah menafsirkan ayat ke-3 surah atTahrim tersebut dengan menyatakan: Nabi menceritakan sebagiannya, maksudnya mencela Hafshah akan sebagiannya dan berpaling (tidak mengumbarnya) pada sebagian yang lain. Karena perasaan malu dan pemuliaan dari Nabi. Karena bagian dari kebiasaan orang-orang yang mulia adalah taghoful (mengabaikan) ketergelinciran dan kekurangan orang lain dan tidak mencelanya dalam hal itu. (Tafsir Ibn Juzaiy).

Taghoful disebut juga dengan sikap seakan-akan tidak tahu, padahal ia mengetahuinya. Ia abaikan karena ia maafkan, dan tidak melihatnya sebagai hal besar. Apalagi jika hanya berkaitan dengan hak dirinya saja.

Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithiy rahimahullah banyak mengabaikan sikap orang yang kurang terhadap diri beliau. Saat ditanya tentang itu beliau kemudian menyatakan:

ليس الغبيّ بسيد في قومه … لكنّ سيّد قومه المتغابي

Bukanlah orang yang bodoh layak sebagai pemimpin kaumnya….Namun, pemimpin kaumnya adalah orang yang berlagak bodoh (pura-pura tidak tahu, mengabaikan kesalahan orang terhadapnya)(al-Asbaabul Mufiidah fiktisaabil Akhlaaqil Hamiidah halaman 17).

Tentu ada hal-hal yang tidak boleh diabaikan. Terutama jika berkaitan dengan hak orang lain atau pelanggaran syariat Allah. Apabila anak kita menampakkan akhlak yang tidak baik dalam bersikap ke orang lain, hal yang bijak dari orangtua adalah mengajarkan adab yang baik. Menegurnya jika ia mulai mengarah tidak beradab kepada orang lain. Atau ketika anak tidak memperhatikan kewajiban-kewajiban agama, orangtua harus sigap dalam meluruskannya. Mengingatkan dan mengarahkannya pada jalan Allah. Atau jika ada tindak kedzhaliman, mestinya kita menolong saudara kita baik yang dzhalim maupun terdzhalimi. Yang akan berbuat dzhalim dicegah dan dihalangi. Jika sudah berbuat, ditahan agar tidak berlanjut kedzhalimannya. Sedangkan orang yang terdzhalimi dibantu hak-haknya. Dicegah agar tidak mendapat kedzhaliman lanjutan. Hal semacam itu tidak boleh diabaikan.

Taghoful memberikan ketenangan dan membuat kita fokus mengurusi hal-hal yang lebih urgen. Tidak selalu pusing mengurusi hal-hal yang memang selayaknya diabaikan.

Ada seseorang yang menukilkan ucapan kepada al-Imam Ahmad bahwa afiyat (keselamatan/ketentraman hidup) itu terdiri dari 10 bagian, 9 bagiannya berupa taghoful. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah justru berkata:

‌الْعَافِيَةُ عَشْرَةُ أَجْزَاءٍ كُلُّهَا فِي ‌التَّغَافُلِ

Afiyat (keselamatan/ketentraman hidup) itu terdiri dari 10 bagian, sepuluhnya ada pada taghoful (riwayat al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman)

Selain itu, taghoful menjadi sebab langgengnya sebuah hubungan. Tanpa taghoful, seseorang akan benar-benar menyendiri, karena selalu tidak cocok dengan orang lain. Padahal bukan memperjuangkan hal yang benar-benar prinsip. Tapi ia kurang mengalah, kurang memaafkan.

Seorang pemimpin yang mengabaikan sikap taghoful justru akan merusak keadaan orang-orang yang dipimpinnya. Ia selalu mudah curiga pada orang-orang di sekitarnya. Tidak mengabaikan apapun kesalahan mereka, selalu dipermasalahkan atau bahkan dihukum. Hal ini justru bisa merusak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya itu. Sebagaimana diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Siyaasah as-Syar’iyyah fii Ishlaahir Raa’iy war Ra’iyyah halaman 195.

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ، أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ

Sesungguhnya jika engkau selalu mencari-cari kekurangan manusia, itu akan merusak mereka atau hampir saja engkau merusak mereka (H.R Abu Dawud dari Muawiyah, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Orang yang sering tergoda untuk tidak bersikap taghoful adalah orang-orang yang perfeksionis. Ia selalu berusaha mencapai hal yang sempurna. Sebagai sebuah tekad dan perjuangan, itu adalah hal yang baik. Untuk menargetkannya pada capaian pribadi, itu adalah suatu hal yang sangat bagus. Tapi, ketika melibatkan orang lain, tidak setiap orang bisa mengejar seperti yang kita canangkan. Kecuali jika cara mensosialisasikannya, mengorganisasikannya, dan mengevaluasinya dilakukan secara elegan. Orang yang terlibat tidak merasa terpaksa melakukan. Menyadarinya sebagai capaian yang memang layak diperjuangkan.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, pertolongan, serta ampunan-Nya kepada kita dan segenap kaum muslimin.


Penulis: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan