Syukran Wahai Para Dermawan

Harta yang ada pada seseorang pada hakikatnya adalah harta Allah.
Allah Azza Wa Jalla berfirman:
وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
…berikanlah kepada mereka bagian dari harta Allah yang Allah berikan kepada kalian…(Q.S an-Nuur ayat 33)
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya para lelaki ada yang mengelola harta Allah tidak secara benar, bagi mereka api neraka pada hari kiamat (H.R al-Bukhari dari Khoulah al-Anshariyyah)
Meskipun demikian, tidak mengapa bagi seseorang mencari harta yang halal melalui penghasilan yang halal. Jika ia dapatkan dengan cara yang halal, itu berhak ia manfaatkan sebagiannya. Ia pun akan mendapat keberkahan pada harta itu. Harta yang didapatkan seseorang, kadang diungkapkan dalam hadits sebagai “harta Allah dan Rasul-Nya”, menunjukkan bahwa ia harus berpatokan pada aturan Allah dan Rasul-Nya berkenaan dengan hartanya. Baik dari cara mendapatkan maupun saat mengeluarkannya.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ، مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، بُورِكَ لَهُ فِيهَا، وَرُبَّ مُتَخَوِّضٍ فِي مَالِ اللهِ، وَمَالِ رَسُولِهِ، لَهُ النَّارُ يَوْمَ يَلْقَى اللهَ
Sesungguhnya dunia itu hijau lagi manis. Barang siapa yang mengambilnya secara hak (secara benar), akan diberkahi padanya. Betapa banyak orang yang mengelola harta Allah dan harta Rasul-Nya, ia mendapatkan api neraka pada saat hari perjumpaan dengan Allah (H.R Ahmad)
Seorang yang berinfak semestinya ikhlas mengharapkan keridhaan Allah, tidak berharap pujian atau ucapan terima kasih dari manusia. Allah Azza Wa Jalla berfirman:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا (8) إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا (9)
Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan. (dalam hati mereka berkata,) “Sesungguhnya kami memberi makanan kepada anda sekalian hanya demi rida Allah. Kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kalian (Q.S al-Insan ayat 8-9)
Sedangkan pihak yang memperoleh manfaat, semestinya bersyukur kepada Allah dan kemudian berterima kasih kepada pihak yang memberi. Karena berterima kasih kepada pihak yang memberi adalah bagian dari syukur. Justru tidak terhitung bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada pihak yang berbuat baik kepadanya.
لَا يَشْكُرُ اللَّهُ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ
Tidaklah (dinilai) bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia (H.R al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)
Sehingga, sang pemberi seharusnya tidak berharap terima kasih dari manusia, namun semestinya sang penerima manfaat mengungkapkan terima kasih atau ucapan syukurnya, semisal kata “syukron” atau yang lebih utama lagi kata “jazaakallaahu khayran”. Apabila dia memiliki kemampuan, ia berupaya membalas kebaikan itu dengan kebaikan juga di masa yang akan datang.
Semoga Allah Ta’ala memberkahi harta, usia, dan keluarga para dermawan. Mengucurkan begitu banyak dana untuk berbagai aliran kebaikan. Semoga harta mereka menjadi tameng mereka dari api neraka.
Jika sedekah separuh kurma saja bisa menjadi sebab seorang terhindar dari api neraka, lalu bagaimana dengan sedekah yang lebih banyak dari itu? Namun tentu harus benar-benar ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam.
Harta sebanyak apapun yang diinfakkan, jika tidak ikhlas, justru akan menjadi bencana baginya. Demikian juga, harta sebanyak apapun yang dikeluarkan, tapi tidak sesuai peruntukannya dengan bimbingan Nabi shollallahu alaihi wasallam justru akan memberatkan.
Di antara bentuk infaq yang akan banyak mengalirkan kebaikan adalah dana pembangunan masjid Ahlussunnah. Di dalamnya diterapkan ibadah yang berlandaskan tauhid dan sunnah.
Bagaimana kalau di dalam suatu masjid diramaikan dengan berbagai kebid’ahan? Sungguh hal itu membuat sedih para Ulama Salaf kita.
Abu Idris al-Khulaaniy rahimahullah -seorang Ulama dari generasi Tabi’in yang lahir pada tahun terjadinya perang Hunain, seorang faqih dari negeri Syam- menyatakan:
لَأَنْ أَرَى فِي الْمَسْجِدِ نَارًا لَا أَسْتَطِيعُ إِطْفَاءَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَرَى فِيهِ بِدْعَةً لَا أَسْتَطِيعُ تَغْيِيرَهَا
Kalau seandainya aku melihat api di masjid yang tidak mampu aku padamkan, hal itu masih lebih aku sukai dibandingkan aku melihat di dalam masjid itu ada suatu kebid’ahan yang tidak mampu aku ubah (hilangkan)(riwayat al-Marwaziy dalam as-Sunnah, Ibnu Wadhdhoh dalam al-Bida’, al-Harawiy dalam Dzammul Kalaam, dan lainnya. Riwayat ucapan Abu Idris itu shahih dengan banyaknya jalur periwayatan).
Subhanallah, saat ini kalau manusia melihat api di masjid, mereka akan berusaha memadamkannya. Karena begitu besar mafsadah yang akan ditimbulkan. Namun berapa banyak orang yang berusaha untuk memadamkan kebid’ahan di masjid-masjid? Ataukah justru mereka ikut menyalakannya? Nas-alullaahal ‘Aafiyata wassalaamah.
Berinfaq untuk para penuntut ilmu Islam, juga begitu dianjurkan. Bahkan manfaatnya akan segera dirasakan oleh sang penginfaq. Bisa jadi karena infaqnya yang terus diberikan untuk kelancaran pengajaran ilmu agama Islam, hartanya diberkahi dan terus berkembang dalam kebaikan karena sebab itu.
Di masa Nabi shollallahu alaihi wasallam terdapat 2 orang laki-laki bersaudara. Seorang dari mereka sering mendatangi majelis Nabi shollallahu alaihi wasallam untuk menimba ilmu dari beliau. Sedangkan seorang lagi sibuk bekerja dan ia juga menafkahi saudaranya yang sibuk menimba ilmu itu. Orang yang sibuk bekerja ini mengadukan hal itu kepada Nabi, karena saudaranya lebih sibuk menuntut ilmu, tidak banyak membantunya bekerja. Namun justru Nabi shollallahu alaihi wasallam menjawab:
لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
Bisa jadi engkau diberi rezeki (oleh Allah) dengan sebab dia (H.R atTirmidzi, al-Hakim, dinilai shahih sesuai syarat Muslim oleh adz-Dzahabiy)
Hadits ini menunjukkan bahwa rezeki yang Allah berikan kepada seseorang bisa jadi disebabkan karena orang lain. Juga menunjukkan keutamaan menuntut ilmu. Seseorang yang banyak membantu kebutuhan para penuntut ilmu, akan diberkahi rezekinya oleh Allah Azza Wa Jalla. Al-Imam Ibnu Abdil Barr meriwayatkan hadits itu dalam Kitab Jami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi dalam Bab Jaami’ fi Fadhlil Ilmi (Bab Kumpulan Keutamaan Ilmu).
Harta dan anak adalah ujian. Jangan sampai harta dan anak membuat kita lalai dari dzikir mengingat Allah, baik itu shalat, menuntut ilmu syar’i, ataupun ibadah-ibadah lainnya, terlebih yang wajib.
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya harta dan anak kalian adalah ujian. Sedangkan di sisi Allah tersedia pahala yang agung (Q.S atTaghobun ayat 15)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, mereka itu adalah orang-orang yang merugi (Q.S al-Munafiqun ayat 9)
Syaikh Sholih al-Fauzan hafidzhahullah menyatakan: Seorang yang beriman mengumpulkan antara mencari harta, mengharapkan anak, dan mencari (kebahagiaan di) akhirat. Jangan jadikan seluruhnya untuk mencari dunia dan mengharapkan anak. Jangan pula meninggalkan dunia. Karena ia membutuhkan (urusan) dunia. Ia masih membutuhkan harta dan anak. Allah tidak mencela mencari harta dan mengharapkan anak. Yang dicela adalah apabila hal itu melalaikan dia. Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi memerintahkan mencari rezeki dan mengharapkan anak. Itu adalah bagian dari nikmat Allah. Yang tercela adalah jika hal itu membuatnya tersibukkan sehingga tidak bisa lagi menjalankan ketaatan kepada Allah Azza Wa Jalla (transkrip pelajaran ke-52 tafsir surah al-Munafiqun)
Sebagian orang ada yang begitu dermawan dalam menyumbang berbagai kebaikan. Namun kadang ia lupa dengan prioritas yang harus ditunaikan. Ada yang banyak bersedekah pada fakir miskin, tapi ia lupa zakat. Misalkan ia seorang pedagang dengan toko yang omzetnya besar dan terkena nishob dan haul, tapi ia lalai dari membayar zakat perdagangan tiap tahunnya. Atau ada orang yang begitu dermawan untuk hal-hal lain, tapi kurang perhatian memberi nafkah yang layak bagi istri dan anak-anaknya. Kondisi demikian adalah termasuk kesalahan yang semestinya diperbaiki.
Seorang kaya yang dermawan juga tidak boleh memiliki perasaan ujub dan bangga diri. Ia harus terus menjaga sikap hatinya bahwa harta yang ia miliki adalah harta pemberian Allah. Jika Allah tidak anugerahkan kepadanya, ia tidak akan memilikinya. Ia juga merasa pada hartanya terdapat hak orang lain. Saat ia mengeluarkannya di jalan Allah, itu bagian dari kebutuhan dirinya. Bukan karena Allah butuh kepadanya. Ia juga tidak merasa berbangga diri karena merasa punya andil besar pada dakwah Islam. Karena kalau bukan dia yang terlibat dalam hal itu, Allah akan dengan begitu mudahnya gantikan orang lain yang berkontribusi bagi dakwah. Setiap muslim hendaknya menyadari bahwa pada hakikatnya ia begitu butuh untuk terlibat dalam dakwah Islam ini, bukan dakwah Islam yang membutuhkan dia. Karena dakwah Islam, dakwah Ahlussunnah, adalah milik Allah.
Teladan besar bagi orang-orang kaya yang dermawan adalah para Sahabat Nabi ridhwanullaahi alaihim ajma’in. Begitu banyak dana dan bantuan yang dikucurkan Sahabat Utsman bin Affan untuk kepentingan perjuangan Islam. Seperti membebaskan sebagian tanah untuk perluasan Masjid Nabawi. Membeli sumur Ruumah agar bisa dimanfaatkan kaum muslimin. Bertubi-tubi kucuran dana kebaikan mengalir dari Utsman.
Bahkan, saat akan diberangkatkannya pasukan perang Tabuk, Utsman mendonasikan bantuan yang jumlahnya sangat besar. Sampai-sampai Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ اليَوْمِ
Tidak akan memudaratkan Utsman, apapun yang dia lakukan setelah hari ini (beliau mengucapkan 2 kali) (H.R atTirmidzi, dihasankan Syaikh al-Albaniy)
Apakah setelah mendapat jaminan dari Nabi shollallahu alaihi wasallam itu Utsman berhenti berdonasi? Padahal sangat layak bagi beliau untuk berhenti mengucurkan kedermawanannya, karena Nabi sudah memastikan: Apapun yang dilakukan Utsman setelah hari itu tidak akan memudaratkannya?
Sedangkan kita, yang belum dapat jaminan apakah dosa kita diampuni, apakah kita sudah pasti masuk surga? Belum ada jaminan! Yang ada adalah perjuangan yang berlanjut dan terus berharap ampunan dan rahmat Allah Azza Wa Jalla. Apakah pantas kemudian seseorang menyatakan dalam dirinya: Saya sudah banyak nyumbang, sepertinya sudah cukup bagi saya!
يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: Jangan kalian merasa berjasa kepadaku karena keislaman kalian. Justru Allahlah yang begitu banyak kebaikannya kepada kalian dengan memberikan petunjuk kepada kalian hingga kalian beriman, jika memang kalian jujur (Q.S al-Hujurat ayat 17)
Syukran wahai para dermawan, jazaakumullaahu khayran. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan keistiqomahan kepada kalian di atas tauhid dan sunnah.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, pertolongan, dan ampunan-Nya kepada kita dan segenap kaum muslimin.
Penulis: Abu Utsman Kharisman