Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Sebenarnya, kajian manhaj adalah kajian secara menyeluruh untuk semua aspek dalam Dien ini, mencakup akidah, akhlak, fiqh, dan sebagainya. Namun, secara khusus, terminologi kajian manhaj lebih banyak dimaksudkan pada kajian ciri khas/ karakteristik Ahlussunnah yang membedakan dengan Ahlul Bid’ah.
Dalam kajian tersebut pasti tidak luput dari pembahasan tentang bahaya kebid’ahan dan tokoh-tokoh kebid’ahan.

Di masa Nabi shollallahu alaihi wasallam semua kaum muslimin yang secara lahiriah menjalankan syariat-syariat Islam terbagi menjadi 2, yaitu:

1. Muslim yang hakiki, sesuai antara lahiriah dan batiniahnya. Mereka ini adalah para Sahabat Nabi. Generasi terbaik umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.

2. Kaum munafik.

Mereka menampakkan Islam secara lahir, namun secara batin membenci Islam dan kaum muslimin. Akidah mereka adalah kekafiran, tapi menampakkan diri sebagai muslim. Mereka adalah musuh internal Islam. Karena mereka adalah musuh internal, bahayanya lebih besar dibandingkan musuh eksternal yaitu orang-orang Kafir yang sudah sangat jelas kekafirannya.

Golongan kaum munafik ini dinyatakan dalam al-Quran sebagai penghuni dasar Jahannam (Q.S anNisaa’ ayat 145). Kedudukan mereka di Jahannam tersebut kata Syaikh Abdurrahman as-Sa’di lebih rendah dibandingkan seluruh orang-orang kafir. Mengapa orang munafik akbar adzabnya lebih dahsyat dan kedudukannya lebih rendah dari orang-orang kafir? Karena selain mereka (orang munafik itu) kafir terhadap Allah dan memerangi RasulNya, ditambah lagi mereka membuat makar dan berbagai permusuhan terhadap kaum muslimin dalam bentuk yang tidak nampak/ samar (disarikan dari Tafsir as-Sa’di thd surat anNisaa’ ayat 145).

Di masa Nabi shollallahu alaihi wasallam belum ditemui adanya bid’ah sama sekali. Namun, hampir pada setiap memulai khutbah Jumat ataupun khutbah lainnya Nabi selalu memulai dengan pujian kepada Allah dan peringatan keras dari bahaya bid’ah. Bahkan, saat Nabi memberikan nasehat –nasehat yang dianggap sebagai pertemuan perpisahan, beliau menyampaikan wasiat yang di dalamnya terdapat peringatan keras dari bahaya kebid’ahan dan perintah berpegang teguh dengan Sunnah (hadits Irbadh bin Saariyah riwayat Ashaabus Sunan).

Kebid’ahan tidak ada di masa Nabi, tidak pula di masa Abu Bakr dan Umar radhiyallahu anhuma. Kebid’ahan pertama baru muncul saat pemerintahan Utsman bin Affan yang juga menjadi sebab terbunuhnya beliau. Kebid’ahan pertama adalah kebid’ahan khawarij.

Maka sejak munculnya kebid’ahan itu terjadilah 2 kutub pada orang-orang yang secara lahiriah muslim, yaitu: Ahlussunnah dan Ahlul Bid’ah. Perhatikanlah penafsiran al-Quran dari Sahabat Nabi Ibnu Abbas, anda akan mendapati bahwa beliau sudah mulai membagi pihak menjadi 2, yaitu Ahlussunnah dengan Ahlul Bid’ah saat menafsirkan Ali Imron ayat 106.

Para Ulama menjelaskan bahwa kebid’ahan itu terbagi menjadi 2, yaitu kebid’ahan yang sudah sampai pada taraf kafir, dan kebid’ahan yang belum sampai pada taraf kafir. Namun bagaimanapun, kebid’ahan itu adalah pos menuju pada kekafiran, sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fataawa.

Ahlul Bid’ah itu permisalannya adalah seperti permisalan orang-orang munafik, demikian dijelaskan oleh Abu Qilabah. Karena itu bahayanya sangat besar. Bahaya kebid’ahan seringkali mendapat porsi pembahasan yang lebih banyak dibandingkan pembahasan terhadap bahaya makar orang-orang kafir, karena bahaya kebid’ahan lebih besar dibandingkan bahaya kekafiran. Dalam hal, demikian samar dan tersembunyinya masalah ini. Beda dengan sesuatu yang jelas-jelas kekafiran, kaum muslimin akan segera menjauh darinya. Sebagaimana hadits-hadits Nabi tentang bahaya kebid’ahan ini lebih banyak dibandingkan bahaya-bahaya kekafiran yang nyata.

Alhamdulillah, atas rahmat dari Allah, pada setiap zaman akan selalu ada Ulama’-ulama yang memperingatkan umat dari bahaya kebid’ahan dan tokoh-tokoh kebid’ahan. Pada setiap masa akan terdapat karya para Ulama’ dalam hal rudud (bantahan-bantahan) terhadap kesesatan-kesesatan.

Kajian-kajian manhaj akan mengulas prinsip-prinsip Ahlussunnah dan bahaya kebid’ahan-kebid’ahan serta tokoh-tokohnya. Kadangkala pembahasan manhaj tidak menunjuk secara langsung person tertentu tapi hanya disebut ciri-ciri dan karakteristiknya. Kadangkala pula disebut secara jelas siapa orangnya agar menjadi jelas bagi kaum muslimin. Membongkar penyimpangan dan kesesatan seseorang dalam hal ini bukanlah ghibah, namun itu adalah nasehat dan bentuk kasih sayang bagi kaum muslimin. Sebagaimana penjelasan Imam Ahmad bin Hanbal dan para Ulama hadits lain ketika menjelaskan kedudukan para perawi hadits bahwa fulaan lemah, fulaan pendusta, dan semisalnya.

Al-Imam atTirmidzi menyatakan:

Sesungguhnya yang membuat mereka (para Ulama hadits) melakukan hal itu (mengkritik seseorang) menurut kami, Wallaahu A’lam adalah dalam rangka memberikan nasehat bagi kaum muslimin. Sama sekali tidaklah disangka bahwa mereka melakukan hal itu untuk mencerca manusia atau ghibah. Sesungguhnya mereka melakukan hal itu untuk menjelaskan kelemahan-kelemahan orang-orang tersebut agar diketahui bahwa sebagian mereka adalah Ahlul Bid’ah, sebagian mereka tertuduh dalam (memalsukan) hadits, sebagian mereka adalah orang yang suka lalai dan banyak kesalahan (dalam meriwayatkan, pent). Maka para Imam tersebut ingin menjelaskan keadaan mereka sebagai bentuk kasih sayang terhadap Dien dan untuk memperjelas. Karena persaksian dalam masalah Dien lebih berhak untuk diperjelas dibandingkan persaksian yang terkait hak-hak manusia dan harta-harta mereka
Sunan atTirmidzi (14/134)

Maka bersyukurlah kepada Allah jika kita mendengar atau membaca kajian-kajian manhaj yang disampaikan para Ulama atau dinukil oleh para dai Ahlussunnah. Bersyukurlah bahwa dengan penjelasan-penjelasan itu akan semakin terang al-haq sebagaimana semakin jelas kebatilan. Janganlah merasa sempit hati dan tidak enak ketika ada penjelasan tentang penyimpangan seseorang yang masih hidup di jaman kita, jika penjelasan itu berdasarkan hujjah yang nyata dan kuat dengan bimbingan Ulama Ahlussunnah yang masih hidup. Jangan kedepankan perasaan kita dalam masalah Dien ini.

Sesungguhnya kita terbiasa mengedepankan perasaan kita, tepo seliro yang melampaui batas, karena kultur dan tradisi Bhinneka Tunggal Ika yang begitu tertanam dalam benak-benak kita. Sehingga saat ada nasehat secara Dien yang sesuai kaidah-kaidah syar’i kita anggap itu sebagai cercaan dan kalimat-kalimat kotor yang tidak pantas untuk saudara kita. Padahal itu justru bentuk kasih sayang Ahlussunnah terhadap saudaranya. Baik untuk pihak kaum muslimin secara umum maupun pihak yang menjadi sasaran kritikan dan tahdzir. Agar mereka kembali ke jalan yang haq, dan agar penyimpangan yang dilakukannya tidak semakin menjadi-jadi, serta tidak semakin banyak orang yang akan mengikuti kesalahannya.

Semoga pada kesempatan-kesempatan berikutnya, pengantar kajian-kajian manhaj bisa disampaikan melalui media ini. Seperti pengenalan istilah-istilah asing dalam manhaj, semisal: tahdzir, hajr, hizbiy, hawaa, dan semisalnya. Mari bertaawun agar kita semua istiqomah di atas manhaj yang haq ini. Setiap kita yang masih hidup tidak ada yang bisa menjamin keistiqomahan kita, hanya kepada Allahlah kita berharap untuk bisa senantiasa memperbaiki diri kita dan mengantarkan kita pada akhir kehidupan yang baik di atas Sunnah.

Sesungguhnya dakwah Ahlussunnah ini milik Allah, dan Allah tidak butuh dengan kita. Jika bukan kita yang terlibat di dalamnya, maka Allah akan pilihkan orang lain untuk menggantikan kita. Justru kita yang sangat butuh agar bisa terlibat dalam dakwah ini. Dakwah ini bukan dakwah individu untuk mengkultuskan pribadi atau kelompok tertentu, tapi ini adalah dakwah menuju Allah di atas Sunnah Nabi dan pemahaman Salafus Sholih (para Sahabat, Taabiin, dan Atbaaut Taabiin).

Baarakallaahu fiikum

 

Abu Utsman Kharisman


??????
WA al I’tishom

Tinggalkan Balasan