Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Seorang yang berilmu hendaknya mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Posisi dia sebagai guru hendaknya membimbing dan mengajarkan dengan ikhlas, mengharap ridha Allah. Ia berupaya keras untuk menyampaikan ilmu dengan penyampaian yang terbaik dan mudah dipahami.

Ia hendaknya sabar dalam menyampaikan ilmu itu. Penyampaian ilmu tersebut didasari oleh an-Nashihah (tulus mengharapkan kebaikan) bagi muridnya. Tidak ingin memanfaatkan muridnya itu untuk kepentingan dirinya.

Begitu sabarnya al-Imam asy-Syafi’i dalam mengajarkan ilmu hingga berulang kepada murid beliau arRobi’ bin Sulaiman.

Al-Qofaal berkata: arRobi’ lambat pahamnya. Maka asy-Syafi’i pun mengulang satu permasalahan hingga 40 kali, namun arRobi’ pun belum paham. Maka arRobi’ pun bangkit dari majelis dengan perasaan malu. Asy-Syafi’i pun memanggilnya dalam kesendirian. Beliaupun mengulang pelajaran untuk arRobi’ hingga ia paham.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah berkata kepada arRobi’, muridnya tersebut:

يَا رَبِيْعُ لَوْ أَمْكَنَنِى أَنْ أُطْعِمَكَ الْعِلْمَ لَأَطْعَمْتُكَ

Wahai Robi’, kalau seandainya memungkinkan bagiku untuk menyuapkan ilmu kepadamu seperti makanan, niscaya aku akan suapkan padamu (Thobaqot asySyafiiyyah al-Kubro karya Tajuddin as-Subkiy (2/134)).

Al-Imam Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah juga sangat bersemangat dalam menyampaikan hadits. Beliau berkata:

لَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَنَّ أَحَدًا يَطْلُبُ الْحَدِيثَ بِنِيَّةٍ لَأَتَيْتُهُ فِي مَنْزِلِهِ حَتَّى أُحَدِّثَهُ

Kalau seandainya aku mengetahui ada seseorang yang benar-benar ingin mencari (ilmu) hadits dengan niat yang baik, niscaya aku akan mendatangi rumahnya agar aku sampaikan hadits kepadanya (riwayat Abu Nuaim dalam Hilyatul Awliyaa’, al-Harowiy dalam Dzammul Kalaam wa Ahlihi, Ibnul Ja’ad dalam Musnadnya)

Guru mestinya begitu bersemangat dalam menyampaikan ilmu, meski harus mendatangi rumah murid, sebaliknya murid pun sangat bersemangat menuntut ilmu meski sekalipun harus mendatangi rumah guru atau tempat yang jauh.

Murid semestinya menghormati gurunya dengan penghormatan yang sesuai dengan bimbingan syariat Islam. Tidak berlebihan hingga sampai pada kultus. Dilandasi oleh adab yang baik dan syukur akan kebaikan Allah yang sampai kepadanya melalui guru tersebut.

anNawawiy rahimahullah menyatakan:

وَقَدْ كَانَ بَعْضُ الْمُتَقَدِّمِيْنَ إِذَا ذَهَبَ إِلَى مُعَلِّمِهِ تَصَدَّقَ بِشَئْ ٍوَقَالَ اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّى وَلاَ تَذْهَبْ بَرَكَةَ عِلْمِهِ مِنِّى

Sebagian (Ulama) terdahulu jika berangkat menuju gurunya ia bersedekah dengan sesuatu kemudian berdoa: Ya Allah, tutuplah aib guruku dariku. Jangan hilangkan keberkahan ilmunya dariku (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (1/36))

Demikianlah keberkahan ilmu yang didapat oleh para Ulama Salaf. Mereka mendapatkan keberkahan itu dari Allah dengan sebab baiknya adab mereka dalam menuntut ilmu dan adab mereka terhadap guru.

Sebelum berangkat menuju majelis ilmu, sebagian mereka bersedekah. Subhanallah. Sedekah yang dimaksudkan untuk mempermudah ilmu yang mereka dapatkan. Tidak cukup sampai di situ saja, mereka juga berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla, pemilik hakiki segala ilmu. Sungguh indah doa yang mereka ucapkan.

Permintaan pertama: Ya Allah, tutuplah aib guruku dariku. Ia sadar bahwa gurunya adalah manusia biasa yang memiliki kekurangan. Tapi ia berharap tidak mengetahui kekurangan gurunya itu. Agar tidak timbul kesan buruk darinya terhadap guru itu sehingga menghalangi ia mendapat ilmu dari guru tersebut.

Perhatikan wahai saudaraku…

Ulama Salaf kita tidak sekedar enggan menyebarluaskan keburukan gurunya. Lebih dari itu, ia tidak berharap mengetahui kekurangan dan aib gurunya sendiri.

Permintaan kedua: ia meminta agar jangan Allah hilangkan keberkahan ilmu gurunya untuk dia. Ia menyadari dan mengakui bahwa gurunya memiliki ilmu. Tapi jika Allah tidak menghendaki sampainya ilmu yang berkah pada dirinya, ia tidak akan mendapat manfaat sedikitpun.

Kadangkala seorang alim sangat luas ilmunya. Banyak orang yang hadir di majelisnya mendapat manfaat dari ilmunya. Tapi, di antara sekian banyak orang itu, ada sebagian orang yang juga hadir di tempat yang sama dalam kondisi yang sama tidak mendapat keberkahan ilmu seperti yang lain.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:

وَعَلَى الْمُتَعَلِّمِ أَنْ يُحْسِنَ نِيَّتَهُ فِي ذَلِكَ وَيَقْصِدَ بِهِ وَجْهَ اللَّهِ تَعَالَى وَعَلَى الْمُعَلِّمِ أَنْ يَنْصَحَ لِلْمُتَعَلِّمِ وَيَجْتَهِدَ فِي تَعْلِيمِهِ وَعَلَى الْمُتَعَلِّمِ أَنْ يَعْرِفَ حُرْمَةَ أُسْتَاذِهِ وَيَشْكُرَ إحْسَانَهُ إلَيْهِ ؛ فَإِنَّهُ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ وَلَا يَجْحَدَ حَقَّهُ وَلَا يُنْكِرَ مَعْرُوفَهُ . وَعَلَى الْمُعَلِّمِينَ أَنْ يَكُونُوا مُتَعَاوِنِينَ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى…

Wajib bagi seorang yang belajar ilmu untuk memperbaiki niatnya dalam menuntut ilmu dan (ikhlas) mengharapkan Wajah Allah Ta’ala. Bagi guru yang mengajarinya hendaknya memiliki sifat anNashihah (benar-benar mengharapkan kebaikan bagi muridnya bukan bersikap khianat ingin memanfaatkan muridnya untuk kepentingan dia, pent), bersungguh-sungguh dalam mengajarinya. Bagi seorang yang belajar kepada guru hendaknya ia mengetahui kemuliaan guru/ustadznya dan mensyukuri kebaikan guru tersebut kepadanya. Karena barang siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, sesungguhnya dia tidak bersyukur kepada Allah. Janganlah sang murid mengingkari hak-hak guru dan ingkar terhadap kebaikannya. Bagi para pengajar hendaknya saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan… (Majmu’ Fataawa Ibn Taimiyyah (13/28))


Dikutip dari: Buku “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” (Menebarkan Kasih Sayang dalam Bimbingan al-Quran dan Sunnah), Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan