Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Bimbingan Menyongsong Hari Asyura (Tanggal 10 Al-Muharram)

Pertanyaan:

Sebagian orang ada yang menjadikan hari asyura sebagai momen untuk meratapi dan menangisi (kematian al-Husain) secara bersama-sama dengan memukul-mukul tubuhnya. Adapula selain mereka yang menjadikan hari tersebut sebagai waktu untuk berpesta, berbagi hadiah, dan semacamnya. Mohon bimbingannya (wahai Syaikh)…

Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafidzahullah menjawab:

Dua-duanya adalah kesesatan.

Pertama adalah mereka yang menjadikan hari asyura sebagai momen untuk meratap bersama. Orang-orang itu memukuli dada mereka sendiri, sembari meneriakkan “kecelakaan!” dan “kehancuran!”. Mereka juga mendera tubuh-tubuh mereka menggunakan rantai.

Hal itu (mereka lakukan) berdasarkan anggapan mereka bahwa itu adalah hari terbunuhnya al-Husain bin Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhuma. Sehingga hal itu mereka anggap sebagai kegiatan untuk mengekspresikan kesedihan.

Tidak dipungkiri bahwa wafatnya al-Husain radhiyallahu anhu merupakan musibah yang sangat besar. Namun hal itu hendaknya dihadapi dengan sikap sabar dan mengharapkan ganjaran dari sisi Allah.

Jangan menyikapi hal itu dengan sikap keluh-kesah, memukul-mukul pipi, merobek-robek saku, frustasi berlebihan, dan bahkan meratap. Musibah tersebut hendaknya dihadapi dengan sikap sabar dan mengharapkan ganjaran dari sisi Allah.


Artikel lain yang semoga bermanfaat pula:


Kemudian pihak selain mereka yang menjadikan hari itu sebagai momen meratap dan menangis bersama, adalah orang-orang yang menjadikan hari itu sebagai ajang untuk bersenang-senang dan bergembira.

Sebagian mereka ada yang menjadikan hari asyura tersebut layaknya hari id, dengan saling berbagi hadiah dan membelikan untuk anaknya barang-barang yang bagus.

Semua ini tidak boleh dilakukan, baik mereka yang menjadikan hari itu sebagai momen meratap dan menangis bersama maupun yang menjadikan hari itu sebagai ajang bersenang-senang.

Yang disyariatkan untuk dilakukan pada hari Asyura ialah melakukan puasa padanya. Dan sebab pensyariatan puasa tersebut adalah karena tepat pada hari itu Allah menyelamatkan Nabi Musa alaihissalam beserta kaumnya. Serta Allah tenggelamkan Firaun dan pasukannya di hari itu.

Orang-orang yahudi pun berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur kepada Allah azza wajjalla, dan demikianlah kebiasaan itu terus berlanjut.

Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam datang berhijrah, beliau menjumpai orang-orang yahudi di Madinah saat itu berpuasa Asyura. Nabi shallallahu alaihi wasallam pun bertanya kepada mereka perihal perbuatan itu.

Mereka menjawab, “Ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan Firaun dan pasukannya. Serta Allah selamatkan Musa -alaihissalam- beserta kaumnya. Maka beliau pun berpuasa sebagai bentuk syukurnya kepada Allah. Lalu kami juga berpuasa sebagai bentuk syukur kami kepada Allah.”

Lantas Nabi shallallah alaihi wasallam bersabda:

فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ

“Kami lebih berhak dan lebih utama (untuk memuliakan dan meneladani) Musa -alaihissalam- dibandingkan kalian.”

Nabi shallallahu alaihi wasallam pun berpuasa Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.

Atas dasar itu, ibadah puasa pada hari Asyura merupakan sunnah muakkadah (yang ditekankan) dalam islam, diiringi dengan berpuasa sehari sebelumnya, yaitu hari kesembilan. Atau diiringi dengan puasa sehari setelahnya, yaitu tanggal ke-11 al Muharram. Atau berpuasa di tiga hari tersebut seluruhnya, dan inilah yang paling utama.

Teks Arab:

السؤال: بعض الناس يتخذ من عاشوراء مأتمًا اومناحة وتطبيرًا، وهناك قسمٌ آخر يتخذه موسمًا للفرح وأيضًا للتوسعة وما إلى ذلك فما هو القول؟
الجواب: كلا الأمرين ضلال؛ الذين يتخذون يوم عاشوراء مأتمًا ويضربون صدورهم ويدعون بالويل والثبورويضربون أنفسهم بالسلاسل، لأنهم يقولون هذا يومٌ قُتل فيه الْحُسَيْنِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بْن ِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبِ فهم يظهرون الحزن على الْحُسَيْنِ بزعمهم، ولاشك أن مقتل الْحُسَيْنِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أنه مصيبةٌ عظيمة ولكن المصيبة تُقابل بالصبر والاحتساب، ولا تقابل بالجزع وضرب الخدود وشقَّ الجيوب والندب والنياحة، وإنما تقابل بالصبر والاحتساب، وعلى المقابل لهؤلاء الذين يظهرون النياحة والجزع؛ مقابلهم الذين يجعلونه يوم فرح يجعلون يوم عاشوراء يوم فرح وسرور، وبعضهم يجعلهم يوم عيد ويعملون الهدايا ويشترون لأولادهم الأفاح؛ هذا كله لا يجوز، لا الذي يُظهر الجزع والنياحة ولا الذي يُظهرالفرح.
إنما الذي يُشرع في يوم عاشوراء هو صيامه، وأصل هذا أنه يومٌ أنجى الله فيه مُوسَى- عَلَيْهِ السَّلامُ – وقومه، وأغرق فيه فرعون وقومه، فصامه اليهود شكرًا للهِ – عَزَّ وَجَلَّ – واستمروا على صيامه، فلمَّا هاجر النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وجد اليهود في المدينة يصومونه فسألهم عن ذلك؛ قالوا: أنه يومٌ أغرق الله فيه فرعون وقومه ونجى الله فيه موسى وقومه فصامه موسى شكرًا لله، فنحن نصومه شكرًا لله، قال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ، فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ» وصار صيامه سُّنة مؤكدة في الإسلام مع صوم يومٍ قبله، وهو اليوم التاسع أو صوم يومٍ بعده وهو الحادي عشر أو صوم الأيام الثلاثة وهذا أفضل

Sumber:
موقع الشيخ صالح الفوزان
https://alfawzan.af.org.sa/ar/node/15876

Diterjemahkan oleh Abu Dzayyal Muhammad Wafi

Tinggalkan Balasan