Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Beberapa Ketentuan Syariat di Hari-Hari Tasyriq

Hari-hari tasyriq adalah tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah. Disebut tasyriq karena orang-orang mengiris-iris daging (membuat dendeng) dari daging binatang kurban kemudian menjemurnya di panas matahari (al-Minhaaj syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj karya anNawawiy (8/17)).

Beberapa ketentuan syariat di 3 hari tersebut, di antaranya adalah:

1. Larangan berpuasa di hari-hari tasyriq.

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum
(H.R Muslim dari Nubaisyah al-Hudzaliy)

عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَوْمِ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنَ السَّنَةِ ، ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنَ التَّشْرِيقِ ، وَيَوْمِ الْفِطْرِ ، وَيَوْمِ الأَضْحَى ، وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ ، مُخْتَصَّةً مِنَ الأَيَّامِ

Dari Anas ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang berpuasa 6 hari dalam setahun. Tiga hari tasyriq, hari Iedul Fithri, hari Iedul Adha, dan hari Jumat yang dikhususkan (untuk berpuasa)
(H.R atThoyaalisiy dan lainnya, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah as-Shahihah)

Diperkecualikan bolehnya berpuasa di hari-hari tasyriq adalah untuk jamaah haji yang berhaji secara tamattu’ atau qiran namun tidak memiliki kemampuan menyembelih hadyu.

Aisyah dan Ibnu Umar –semoga Allah meridhai keduanya- menyatakan:

لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْهَدْيَ

Tidaklah diberi keringanan untuk berpuasa di hari-hari tasyriq kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan hadyu
(H.R al-Bukhari)

Walaupun yang lebih utama bagi jamaah haji yang tidak memiliki hadyu itu untuk berpuasa sebelum hari Arafah.


Artikel penting lainnya: Bacaan Ketika Menyembelih atau Saat Talbiyah Haji Bukanlah Melafadzkan Niat


2. Perintah untuk lebih banyak berdzikir

Allah Ta’ala berfirman:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ

Dan berdzikirlah (mengingat) Allah di hari-hari yang berbilang…
(Q.S al-Baqoroh ayat 203)

“Hari-hari yang berbilang” itu ditafsirkan oleh Sahabat Nabi Ibnu Abbas sebagai hari-hari tasyriq (Tafsir Ibn Katsir)

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ طُعْمٍ وَذِكْرِ اللَّهِ

Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan berdzikir (mengingat) Allah
(H.R Ahmad dari Abu Hurairah)

Termasuk masih disunnahkannya takbir muthlaq di berbagai keadaan, di setiap waktu sejak masuk 1 Dzulhijjah hingga berakhirnya hari tasyriq. Demikian juga takbir muqoyyad di setiap selesai shalat 5 waktu berlaku sejak setelah shalat Subuh hari Arafah sampai setelah shalat Ashar di tanggal 13 Dzulhijjah (Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah no 10777).


baca juga: Memahami Takbir Hari-Hari Raya


3. Hari-hari penyembelihan kurban.

Selain saat hari raya Iedul Adha (selepas shalat Ied), penyembelihan kurban juga boleh dilaksanakan di hari-hari tasyriq. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh al-Imam asy-Syafi’i. Di antara dalilnya adalah hadits:

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

Semua hari tasyriq adalah penyembelihan
(H.R Ahmad, al-Baihaqiy, ad-Daaraquthniy, al-Bazzaar, dishahihkan Ibnu Hibban dan dihasankan Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah as-Shahihah)

Ada sebagian riwayat ucapan Sahabat yang membatasi penyembelihan kurban hanya pada tanggal 10,11, dan 12 Dzulhijjah.


Artikel penting lainnya: Fatwa al-Lajnah ad-Daimah tentang Memakan Daging Sembelihan yang Lupa Dibacakan Bismillah saat Menyembelih


4. Hari-hari para Jamaah Haji melontar Jumrah dan bermalam di Mina.

Melontar jumroh bagi jamaah haji ada yang dilakukan di tanggal 10 Dzulhijjah, yaitu melontar jumrah al-Aqobah saja. Waktunya dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan pada saat hari-hari tarwiyyah, sasaran melempar jumroh adalah pada 3, yaitu Jumrotul Ula, Jumrotul Wustho, dan Jumrotul Kubro/ Jumrotul ‘Aqobah. Waktu pelaksanaan Jumroh pada hari-hari tasyriq haruslah setelah tergelincir matahari.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ رَمَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى وَأَمَّا بَعْدُ فَإِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ

Dari Jabir radhiyallahu anhuma beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melempar jumrah pada hari anNahr (10 Dzulhijjah) pada waktu Dhuha, sedangkan setelahnya (di hari Tasyriq) beliau melempar jika matahari telah tergelincir
(H.R Muslim)

Pada hari Tarwiyah setelah masuk waktu Dzhuhur, melontar 3 jumrah. Awalnya adalah Jumrah al-Ula (yang terjauh dari Ka’bah), setelah itu berpindah dan menghadap kiblat berdoa. Kemudian melontar jumrah al-Wustho (di tengah). Setelah itu berpindah dan menghadap kiblat berdoa. Kemudian melontar jumrah al-Aqobah.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عَلَى إِثْرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يُسْهِلَ فَيَقُومَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيلًا وَيَدْعُو وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْوُسْطَى ثُمَّ يَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيَسْتَهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيلًا وَيَدْعُو وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ وَيَقُومُ طَوِيلًا ثُمَّ يَرْمِي جَمْرَةَ ذَاتِ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلَا يَقِفُ عِنْدَهَا ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwasanya beliau melempar jumrah yang terdekat (Ula) dengan 7 kali lemparan kerikil. Beliau bertakbir setiap kali lemparan. Kemudian beliau maju hingga sampai di permukaan yang datar beliau berdiri menghadap kiblat dalam jangka waktu yang lama berdoa mengangkat kedua tangan. Kemudian melempar jumrah al-Wustho kemudian mengambil jalan sebelah kiri pada daratan rata kemudian berdiri menghadap kiblat berdiri lama berdoa mengangkat kedua tangan berdiri lama. Kemudian melempar jumrah Aqobah dari perut lembah. Beliau tidak berdiri di sampingnya kemudian beliau pergi. Beliau berkata: Demikianlah aku melihat Nabi shollallahu alaihi wasallam melakukannya
(H.R al-Bukhari)

Mabit (bermalam) di Mina di malam tanggal 11,12, dan 13 adalah wajib. Kecuali bagi yang memiliki udzur.

Seorang jamaah haji boleh memilih untuk bermalam hanya di malam 11 dan malam 12 saja. Hal itu disebut dengan Nafar al-Awwal. Namun lebih sempurna jika ia menyempurnakan bermalam juga di malam 13. Jika ia menyempurnakan bermalam di Mina sampai malam 13, hal itu disebut Nafar ats-Tsaniy.

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dan berdzikirlah (mengingat) Allah dalam hari-hari yang berbilang (hari-hari tasyriq). Barangsiapa yang menyegerakan dalam 2 hari (11 dan 12 Dzulhijjah) tidak ada dosa baginya. Barangsiapa yang mengakhirkan (hingga 13 Dzulhijjah), tidak ada dosa baginya bagi orang yang bertakwa. Bertakwalah kalian kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya kalian hanya kepadaNya akan dikumpulkan
(Q.S al-Baqoroh ayat 203)

Ayat itu menjelaskan bolehnya melakukan Nafar Awwal, hanya bermalam di malam 11 dan 12 Dzulhijjah. Siang hari 12 Dzulhijjah ia melempar jumrah setelah Dzhuhur, kemudian ia meninggalkan Mina sebelum terbenam matahari. Namun, Nafar ats-Tsaniy lebih utama, karena itulah yang dilakukan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam dan lebih banyak aktivitas ibadah yang dilakukan dibandingkan Nafar al-Awwal.

Seseorang yang awalnya berkeinginan untuk melakukan Nafar al-Awwal, tapi saat terbenam matahari masuk malam ke-13 Dzulhijjah ia masih berada di Mina, maka ia harus menyempurnakan Mabit semalam lagi dan besoknya melontar jumrah setelah Dzhuhur.

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ مَنْ غَرَبَتْ لَهُ الشَّمْسُ مِنْ أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَهُوَ بِمِنًى فَلَا يَنْفِرَنَّ حَتَّى يَرْمِيَ الْجِمَارَ مِنْ الْغَدِ

Dari Nafi’ bahwasanya Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berkata: Barangsiapa yang saat terbenam matahari di tengah hari-hari tasyriq ia masih di Mina, janganlah melakukan nafar (keluar dari Mina) hingga melempar jumrah keesokan harinya (tanggal 13 Dzulhijjah)
(H.R Malik dalam Muwaththa’)

 

Penulis:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan