Bab Kesebelas: Larangan Menyembelih untuk Allah di Tempat Disembelihnya Kurban untuk Selain Allah (bagian kedua)
SERIAL KAJIAN KITABUT TAUHID (Bag ke-43)
Dalil Kedua
عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ قَالَ نَذَرَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ يُعْبَدُ قَالُوا لَا قَالَ هَلْ كَانَ فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ قَالُوا لَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
Dari Tsabit bin ad-Dhahhak beliau berkata: Seorang laki-laki bernadzar di masa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam untuk menyembelih unta di Buwanah (nama sebuah tempat antara Makkah dengan Madinah). Kemudian dia mendatangi Nabi shollallahu alaihi wasallam dan berkata: Sesungguhnya aku bernadzar untuk menyembelih unta di Buwanah. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Apakah di sana terdapat berhala di masa Jahiliyyah yang disembah? Para Sahabat menyatakan: Tidak. Nabi bertanya: Apakah di sana terdapat perayaan ied mereka? Para Sahabat menyatakan: Tidak. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Penuhi nadzarmu. Karena tidak boleh memenuhi nadzar dalam hal kemaksiatan kepada Allah atau dalam hal-hal yang tidak dimiliki oleh Anak Adam.
(H.R Abu Dawud, sanadnya shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim)
Baca bagian sebelumnya: Bab Kesebelas: Larangan Menyembelih untuk Allah di Tempat Disembelihnya Kurban untuk Selain Allah (bagian kedua)
Penjelasan Dalil Kedua
Beberapa poin penjelasan dan faidah yang bisa diambil dari hadits ini adalah:
1. Nadzar adalah mewajibkan diri untuk melakukan sesuatu padahal asalnya tidak wajib dan ia mengucapkan niatnya tersebut.
Jika nadzar itu terkait dengan sesuatu dan belum terjadi, maka hukumnya makruh. Sebagai contoh, seseorang bernadzar jika nantinya diterima dalam sebuah pekerjaan, ia akan berpuasa sekian hari. Hal ini secara asal makruh, karena pertama: nadzar itu tidak mendatangkan kebaikan (tidak menjadi penyebab suatu kebaikan didapatkan), yang kedua nadzar yang semacam ini tidaklah terjadi kecuali dari orang yang bakhil. Artinya, ia tidak akan berpuasa seperti itu jika ia tidak diterima dalam pekerjaan itu.
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ النَّذْرِ وَقَالَ إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu dari Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau melarang dari nadzar. Beliau bersabda: Sesungguhnya nadzar itu tidak mendatangkan kebaikan. Sesungguhnya dia dikeluarkan dari orang yang bakhil (H.R Muslim)
Namun, jika seseorang sudah terlanjur bernadzar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, maka ia harus menunaikannya. Allah memuji orang yang menuaikan nadzarnya
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
Mereka menunaikan nadzar dan takut akan datangnya hari yang keburukannya menyebar secara merata (Q.S al-Insaan ayat 7)
2. Sebelum mengerjakan sesuatu yang terkait dengan Dien dan memiliki isykal (permasalahan), seseorang hendaknya berkonsultasi dengan orang yang ‘alim. Sebagaimana seorang Sahabat yang bernadzar akan menyembelih binatang di Buwanah, ia bertanya terlebih dahulu kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam tentang hukumnya secara syar’i.
3. Seorang ‘alim yang akan memberikan fatwa, jika dalam suatu permasalahan terdapat hukum yang berbeda-beda sesuai kondisinya, maka seharusnya saat akan menjawab pertanyaan, ia harus meminta penjelasan terlebih dahulu.
Sebagaimana ketika Nabi ditanya tentang hukum menunaikan nadzar menyembelih di Buwanah ini, beliau tidak langsung menjawab, karena ada kemungkinan hukumnya boleh atau tidak boleh tergantung kondisi. Beliau bertanya dulu: apakah di sana ada sesembahan yang disembah selain Allah di masa Jahiliyyah, apakah di sana ada perayaan Ied yang dilakukan di masa Jahiliyyah. Karena hukumnya tergantung kondisi. Jika ada hal-hal tersebut, maka tidak boleh menunaikan nadzar penyembelihan itu. Sebaliknya jika tidak ada, maka ia harus menunaikannya.
4. Tidak boleh menyembelih sesembelihan untuk Allah di tempat yang sebelumnya digunakan untuk menyembelih persembahan untuk selain Allah. Poin ini sesuai dengan penamaan bab ini.
Baca juga: Hukum Meletakkan Bunga di Atas Kuburan
5. Ied adalah sesuatu yang penyelenggaraannya berulang. Bisa terkait waktu atau tempat.
Contoh Ied dalam Islam yang berupa waktu adalah Iedul Fithri dan Iedul Adha dalam setahun. Hari Jumat juga adalah Ied setiap pekan.
Sedangkan contoh Ied dalam Islam yang berupa tempat adalah ‘Arafah dan Muzdalifah, yang tempat itu selalu berulang dipadati Jamaah Haji setiap pelaksanaan haji.
Nabi shollallahu alaihi wasallam melarang kuburan beliau sebagai Ied, sebagai tempat yang selalu berulang dijadikan tempat berziarah secara khusus. Seseorang bisa bersholawat dan mengucapkan salam kepada Nabi di manapun dia berada tidak harus mendatangi kuburan Nabi dan menjadikannya sebagai Ied yang berulang didatangi.
وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
Dan janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai Ied. Bersholawatlah kepadaku, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada (H.R Abu Dawud no 1746 dari Abu Hurairah)
Di dalam hadits pada bab ini Rasul bertanya apakah di Buwanah (tempat akan dilaksanakannya nadzar penyembelihan) itu ada perayaan Ied orang-orang di masa Jahiliyyah? Kalau ada, maka nadzar itu tidak boleh ditunaikan.
Hal ini menunjukkan wajibnya menyelisihi perbuatan-perbuatan Jahiliyyah atau yang dilakukan orang-orang kafir/ musyrikin dalam hal tempat atau waktu.
Contoh dalam Islam, seseorang dilarang (makruh) melakukan sholat mutlak yang tidak memiliki sebab pada waktu matahari terbit atau matahari tenggelam. Karena pada saat itu sebagian orang menyembah matahari dan matahari terbit dan tenggelam di antara dua tanduk Syaithan. Kaum muslimin dilarang sholat di waktu itu untuk menghindari keserupaan waktu ini, meski pada dasarnya mereka akan sholat untuk Allah semata. Kecuali jika sholat itu memiliki sebab seperti tahiyyatul masjid, atau sholat wajib bagi orang yang tertidur, maka yang demikian tidak mengapa dikerjakan pada waktu tersebut.
6. Larangan menunaikan nadzar untuk berbuat kemaksiatan kepada Allah, sesuai dengan penggalan hadits di atas:
لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ
Tidak ada penunaian nadzar dalam hal bermaksiat kepada Allah
Contoh, awalnya seseorang tidak tahu bahwa hukum bermain musik adalah haram. Ia bernadzar: jika saya lulus dalam ujian ini, saya akan bermain musik 5 jam non stop. Tapi ternyata dalam perjalanan waktu ia membaca hadits-hadits dan penjelasan para Sahabat Nabi tentang larangan musik. Nadzar yang semacam itu karena berupa kemaksiatan kepada Allah tidak boleh ditunaikan, dan ia membayar kaffaroh sumpah.
النَّذْرُ نَذْرَانِ : فَمَا كَانَ لِلّهِ فَكَفَّارَتُهُ الْوَفَاء، وَمَا كَان لِلشَّيْطَانِ فَلَا وَفَاءَ فِيْهِ، وَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِيْنٍ
Nadzar itu ada dua. Apa yang dilakukan karena Allah, maka kaffarohnya adalah menunaikan nadzar itu. Sedangkan yang dilakukan untuk syaithan, maka tidak boleh ditunaikan. Wajib baginya menunaikan kaffaroh sumpah (H.R Ibnul Jaarud dan al-Baihaqy, dishahihkan al-Albany)
Kaffaroh sumpah adalah sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 89 : memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian 10 orang miskin, atau memerdekakan budak. Kalau tidak bisa, maka berpuasa 3 hari.
7. Larangan menunaikan nadzar untuk sesuatu hal yang tidak dimiliki atau tidak bisa dilakukan manusia. Contoh, orang bernadzar: Kalau saya berhasil dalam pekerjaan ini, saya akan jual sapi pak Ahmad. Ini tidak boleh karena sapi itu bukan miliknya. Atau ia bernadzar: Kalau saya sembuh dari penyakit, saya akan terbang dengan kedua tangan saya ini. Ini juga tidak boleh karena hal itu tidak mampu dilakukan Anak Adam (manusia).
Penulis:
Abu Utsman Kharisman