Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Mewaspadai Hadits Palsu: Menepis Kedustaan Terhadap Syariat Sholat Tarawih Berjemaah

Di sekitar abad ke-7 hijriyyah seorang teolog berpemahaman syiah menarik perhatian penguasa negeri Iran dengan kecerdikan dan karya-karya tulisnya, hingga diyakini oleh sebagian peneliti, itulah momentum masuk dan berkembangnya Syiah di Iran. Hasan bin Yusuf bin Muthohhar al-Hilli namanya. Oleh para penganut Syiah dialah tokoh pertama yang diberi gelar ayatullah.

Tentang sosok ini, Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan catatannya:

ابن المطهر الشيعي جمال الدين أبو منصور حسن بن يوسف بن مطهر الحلي العراقي الشيعي، شيخ الروافض بتلك النواحي، وله التصانيف الكثيرة، يقال تزيد على مائة وعشرين مجلدا، وعدتها خمسة وخمسون مصنفا، في الفقه والنحو الأصول والفلسفة والرفض وغير ذلك من كبار وصغار، وأشهرها بين الطلبة شرح ابن الحاجب في أصول الفقه

“Ibnul Muthohhar Asy Syi’i Jamaluddin Abu Manshur Hasan bin Yusuf bin Muthohhar Al Hilli Al ‘Iroqi Asy Syi’i, Syaikhnya para penganut sekte Rofidhah di kawasan tersebut. Dia memiliki banyak sekali karya tulis. (Sampai) ada yang menyebut lebih dari 120 jilid. Jumlahnya 55 judul tulisan. Dalam bidang fiqh, nahwu, ushul (fiqh), filsafat dan kerafidhohan, serta bidang lainnya dalam bentuk besar maupun kecil. Adapun yang paling terkenal di kalangan santri Syarh Ibnul Hajib dalam bidang Ushul Fiqh.” (Al Bidayah Wa An Nihayah 14/125)

Salah satu kitab karya Rafidhi ini yang memuat sekian banyak tuduhan palsu berjudul Minhajul Karomah. Isinya begitu melukai perasaan ahlussunnah. Kita bersyukur, Allah bangkitkan para ulama membantahnya sebagai pelipur lara sekaligus menepis tikaman musuh hingga memadamkan hujjah mereka dan mengembalikannya sebagai bumerang mematikan.


Artikel lain yang semoga juga bermanfaat: Penjelasan Seputar Tarawih dan Witir


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah salah satu tokoh ulama Ahlussunnah yang secara ilmiah membantahnya. Beliau rahimahullah menyebutkan pada pasal ke-13 dari tuduhan dusta tokoh sekte Rofidhah tersebut;

ﻗﺎﻝ اﻟﺮاﻓﻀﻲ : “اﻟﺜﺎﻟﺚ ﻋﺸﺮ: ﺃﻧﻪ اﺑﺘﺪﻉ اﻟﺘﺮاﻭﻳﺢ ﻣﻊ ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ: «ﺃﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ اﻟﺼﻼﺓ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ﻓﻲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻣﻦ اﻟﻨﺎﻓﻠﺔ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺑﺪﻋﺔ، ﻭﺻﻼﺓ اﻟﻀﺤﻰ ﺑﺪﻋﺔ، ﻓﺈﻥ ﻗﻠﻴﻼ ﻓﻲ ﺳﻨﺔ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﻓﻲ ﺑﺪﻋﺔ، ﺃﻻ ﻭﺇﻥ ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ، ﻭﻛﻞ ﺿﻼﻟﺔ ﺳﺒﻴﻠﻬﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﻨﺎﺭ» ﻓﻴﻘﺎﻝ: ﻣﺎ ﺭﺋﻲ ﻓﻲ ﻃﻮاﺋﻒ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﺪﻉ ﻭاﻟﻀﻼﻝ ﺃﺟﺮﺃ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ اﻟﻄﺎﺋﻔﺔ اﻟﺮاﻓﻀﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬﺏ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﻗﻮﻟﻬﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻘﻠﻪ، ﻭاﻟﻮﻗﺎﺣﺔ اﻟﻤﻔﺮﻃﺔ ﻓﻲ اﻟﻜﺬﺏ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻬﻢ ﻣﻦ ﻻ ﻳﻌﺮﻑ ﺃﻧﻬﺎ ﻛﺬﺏ، ﻓﻬﻮ ﻣﻔﺮﻁ ﻓﻲ اﻟﺠﻬﻞ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﻓﺈﻥ ﻛﻨﺖ ﻻ ﺗﺪﺭﻱ ﻓﺘﻠﻚ ﻣﺼﻴﺒﺔ ﻭﺇﻥ ﻛﻨﺖ ﺗﺪﺭﻱ ﻓﺎﻟﻤﺼﻴﺒﺔ ﺃﻋﻈﻢ

ﻭاﻟﺠﻮاﺏ ﻣﻦ ﻭﺟﻮﻩ

ﺃﺣﺪﻫﺎ: اﻟﻤﻄﺎﻟﺒﺔ، ﻓﻴﻘﺎﻝ: ﻣﺎ اﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﺔ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ؟ ﻭﺃﻳﻦ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ؟ ﻭﻓﻲ ﺃﻱ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻦ ﻛﺘﺐ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺭﻭﻱ ﻫﺬا؟ ﻭﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺤﺪﻳﺚ: ﺇﻥ ﻫﺬا ﺻﺤﻴﺢ؟

اﻟﺜﺎﻧﻲ: ﺃﻥ ﺟﻤﻴﻊ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﺑﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻤﺎ ﺿﺮﻭﺭﻳﺎ ﺃﻥ ﻫﺬا ﻣﻦ اﻟﻜﺬﺏ اﻟﻤﻮﺿﻮﻉ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﺃﺩﻧﻰ ﻣﻦ ﻟﻪ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺑﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻛﺬﺏ ﻟﻢ ﻳﺮﻭﻩ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﺷﻲء ﻣﻦ ﻛﺘﺒﻪ: ﻻ ﻛﺘﺐ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﻻ اﻟﺴﻨﻦ ﻭﻻ اﻟﻤﺴﺎﻧﺪ، ﻭﻻ اﻟﻤﻌﺠﻤﺎﺕ ﻭﻻ اﻷﺟﺰاء، ﻭﻻ ﻳﻌﺮﻑ ﻟﻪ ﺇﺳﻨﺎﺩ: ﻻ ﺻﺤﻴﺢ ﻭﻻ ﺿﻌﻴﻒ، ﺑﻞ ﻫﻮ ﻛﺬﺏ ﺑﻴﻦ

اﻟﺜﺎﻟﺚ: ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﺛﺒﺖ ﺃﻥ اﻟﻨﺎﺱ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺼﻠﻮﻥ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﺛﺒﺖ ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺑﺎﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻟﻴﻠﺘﻴﻦ ﺃﻭ ﺛﻼﺛﺎ

اﻟﺮاﺑﻊ: ﺃﻥ ﻫﺬا ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻴﺤﺎ ﻣﻨﻬﻴﺎ ﻋﻨﻪ ﻟﻜﺎﻥ ﻋﻠﻲ ﺃﺑﻄﻠﻪ ﻟﻤﺎ ﺻﺎﺭ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻭﻫﻮ ﺑﺎﻟﻜﻮﻓﺔ، ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﺭﻳﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﺠﺮﻯ ﻋﻤﺮ ﺩﻝ ﻋﻠﻰ اﺳﺘﺤﺒﺎﺏ ﺫﻟﻚ، ﺑﻞ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ: ﻧﻮﺭ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﺮ ﻗﺒﺮﻩ ﻛﻤﺎ ﻧﻮﺭ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻣﺴﺎﺟﺪﻧﺎ

ﻭﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺴﻠﻤﻲ ﺃﻥ ﻋﻠﻴﺎ ﺩﻋﺎ اﻟﻘﺮاء ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻓﺄﻣﺮ ﺭﺟﻼ ﻣﻨﻬﻢ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﺭﻛﻌﺔ، ﻗﺎﻝ : ﻭﻛﺎﻥ ﻋﻠﻲ ﻳﻮﺗﺮ ﺑﻬﻢ

ﻭﻋﻦ ﻋﺮﻓﺠﺔ اﻟﺜﻘﻔﻲ ﻗﺎﻝ: ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻲ ﻳﺄﻣﺮ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﻘﻴﺎﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﻳﺠﻌﻞ ﻟﻠﺮﺟﺎﻝ ﺇﻣﺎﻣﺎ ﻭﻟﻠﻨﺴﺎء ﺇﻣﺎﻣﺎ، ﻗﺎﻝ ﻋﺮﻓﺠﺔ: ﻓﻜﻨﺖ ﺃﻧﺎ ﺇﻣﺎﻡ اﻟﻨﺴﺎء ﺭﻭاﻫﻤﺎ اﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻓﻲ ﺳﻨﻨﻪ

“Si-Rafidhi berkata: ‘Kesesatan (Umar bin Al Khoththob radhiyallahu anhu-pen) yang ke-13: Bahwa dia telah mencetuskan bid’ah (sholat) tarawih, padahal Nabi shollallahu alaihi wasallam telah bersabda:

ﺃﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ اﻟﺼﻼﺓ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ﻓﻲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻣﻦ اﻟﻨﺎﻓﻠﺔ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺑﺪﻋﺔ، ﻭﺻﻼﺓ اﻟﻀﺤﻰ ﺑﺪﻋﺔ، ﻓﺈﻥ ﻗﻠﻴﻼ ﻓﻲ ﺳﻨﺔ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﻓﻲ ﺑﺪﻋﺔ، ﺃﻻ ﻭﺇﻥ ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ، ﻭﻛﻞ ﺿﻼﻟﺔ ﺳﺒﻴﻠﻬﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﻨﺎﺭ

‘Wahai manusia, sesungguhnya sholat malam di bulan Ramadhan berupa sholat tambahan secara berjemaah adalah bid’ah. Sholat dhuha juga bid’ah. Sesungguhnya sedikit dalam menjalankan sunnah lebih baik dari pada banyak melakukan kebid’ahan. Ketahuilah, bahwa semua bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan jalannya menuju neraka.’

ﻭﺧﺮﺝ ﻋﻤﺮ ﻓﻲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻟﻴﻼ ﻓﺮﺃﻯ اﻟﻤﺼﺎﺑﻴﺢ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺎﺟﺪ، ﻓﻘﺎﻝ: ﻣﺎ ﻫﺬا؟ ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ: ﺇﻥ اﻟﻨﺎﺱ ﻗﺪ اﺟﺘﻤﻌﻮا ﻟﺼﻼﺓ اﻟﺘﻄﻮﻉ، ﻓﻘﺎﻝ: ﺑﺪﻋﺔ ﻭﻧﻌﻤﺖ اﻟﺒﺪﻋﺔ، ﻓﺎﻋﺘﺮﻑ ﺑﺄﻧﻬﺎ ﺑﺪﻋﺔ

Sementara Umar juga pernah keluar pada suatu malam di bulan Ramadhan, hingga dia melihat lentera-lentera di masjid (menyala). Diapun bertanya, ‘Ada apa ini?‘, Kemudian disampaikan kepadanya bahwa orang-orang tengah berkumpul untuk berjemaah melaksanakan sholat sunnah. Umarpun berkomentar: ‘Ini bid’ah, dan inilah sebaik-baik bid’ah.’ Jadi dia telah mengakui bahwa (tarawih berjemaah) itu adalah bid’ah.”

Sehingga patut dinyatakan: Tidak ada yang lebih lancang dari segenap ahli bid’ah dan sekte sesat daripada golongan Rofidhah dalam berdusta atas nama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, dan menggubah ucapan yang tidak pernah beliau sabdakan.

Begitu pula keangkuhan yang sangat parah dalam berdusta. Adapun apabila di antara mereka ada yang tidak mengetahui bahwa itu adalah dusta, maka itu berarti kebodohan yang sangat parah. Sebagaimana yang dikatakan, ‘jika anda tidak tahu, maka itu adalah musibah. Namun jika anda telah mengetahuinya, musibahnya lebih besar’.

Sedangkan jawabannya dari beberapa sisi.

Yang pertama adalah:

Mengajukan tuntutan. Dia dituntut; Apa yang menunjukkan keabsahan hadits ini? Juga mana jalur sanadnya? Dan diriwayatkan di kitab apa dari sekian banyak kitab muslimin hadits tersebut? Begitu pula siapa dari kalangan ulama hadits yang menyatakan bahwa hadits tersebut shahih?

Yang kedua;

Bahwa seluruh ahli ilmu hadits benar-benar mengerti secara mendasar bahwa riwayat tersebut merupakan kedustaan atas nama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Bahkan orang yang lebih rendah tingkat pengetahuannya tentang ilmu haditspun tahu bahwa riwayat itu bohong, sama sekali tidak pernah diriwayatkan seorangpun dari kalangan muslimin dalam kitab-kitab mereka. Tidak ada dalam kitab-kitab shahih, tidak pula dalam sunan-sunan, begitu pun tidak dalam musnad-musnad, serta tidak ada pada kitab-kitab mu’jam, maupun pada kitab-kitab ajza’. Tidak pula diketahui sanadnya, baik yang shahih maupun yang dhaif. Jelas itu adalah kedustaan yang nyata.

Yang ketiga;

Bahwa telah valid bahwa beberapa orang dulu pernah melakukan sholat di malam hari pada bulan Ramadhan di masa kehidupan Nabi shollallahu alaihi wasallam. Dan juga telah valid penyebutan bahwa beliau shollallahu alaihi wasallam mengimami muslimin sholat berjemaah selama 2 atau 3 malam.” (Minhaj As Sunnah An Nabawiyyah 8/304-306)

Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa contoh hadits shahih yang menjadi dalil kuat disyariatkannya sholat tarawih berjemaah;

  1. Hadits Aisyah radhiyallahu anha riwayat Al Bukhori dan Abu Dawud
  2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu riwayat Ahmad dan Ashabus sunan
  3. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu riwayat Al Bukhori, Muslim dan Abu Dawud
  4. Hadits Abdurrahman bin Abdul Qori dalam Shahih Al Bukhori

Lalu beliau Syaikhul Islam rahimahullah melanjutkan bantahannya pada poin ke-4;

Yang ke-4:

Bahwa hal ini, kalau seandainya merupakan hal tercela yang terlarang, niscaya Ali (bin Abi Tholib) radhiyallahu anhu mestinya membatalkannya tatkala beliau menjabat Amirul Mukminin, sedangkan beliau pernah bermukim di (Ibu Kota) Kufah (salah satu kota besar di Iraq-pen). Sehingga ketika hal itu tetap berlangsung di masa itu sebagaimana terjadi di masa Umar, berarti itu menunjukkan disukainya hal tersebut.

Bahkan terdapat riwayat dari Ali radhiyallahu anhu sendiri pernah berucap: “Semoga Allah menyinari kuburan Umar, sebagaimana beliau telah menerangi masjid-masjid kita.”

Dan dari Abu Abdirrahman As Sulami bahwa Ali radhiyallahu anhu pernah mengundang para penghafal Al Quran di bulan Ramadhan. Lalu beliau memerintahkan salah seorang dari mereka agar menjadi imam untuk melakukan sholat 20 rokaat. Kemudian Abu Abdirrahman melanjutkan, sedangkan Ali menjadi Imam sholat witir bagi mereka.

Dan dari Arfajah Ats Tsaqofi dia berkata: ‘Dulu Ali radhiyallahu anhu pernah memerintahkan masyarakat mengerjakan sholat (tarawih) di bulan Ramadhan, beliau menugaskan seorang imam bagi jema’ah lelaki dan seorang imam bagi jema’ah wanita.’ Arfajah berkata: ‘Dan sayalah yang menjadi imam bagi para wanita.’ Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan karya beliau.” (Minhaj As Sunnah An Nabawiyyah 8/307-308)


Baca Juga: Pembahasan Hadits Maudhu’


Memang tidak ada yang perlu diragukan tentang disyariatkannya sholat tarawih berjemaah. Justru yang meragukannya dikhawatirkan menyelisihi kesepakatan muslimin, sebagaimana dihikayatkan oleh beberapa ulama.

Ibnu Abdil Bar mengutip pernyataan Ath Thohawi rahimahullah:

قد أَجمعُوا أنه لا يجوزُ للنَّاس تعطيلُ المساجِد عن قيام رمضانَ وكانَ هذا القيام واجِبًا على الكِفايَة، فمَن فعَلَه كانَ أفضلَ مِمَّن انفرد به

“(Muslimin) telah bersepakat bahwa tidak pantas bagi masyarakat meninggalkan pelaksanaan sholat malam di bulan Ramadhan dari masjid-masjid. Sedangkan melakukan sholat itu sendiri hukumnya wajib kifayah. Barang siapa yang mengerjakannya (secara berjemaah) hal itu lebih utama daripada sendirian.” (Mukhtashor Ikhtilaf Al Ulama 1/315)

Bahkan An Nawawi rahimahullah juga menukilkan bahwa hal itu juga ternilai sebagai ijma’ para sahabat:

قال صاحبُ الشَّامل: قال أبو العباس، وأبو إسحاق: صلاةُ التراويح جماعةً أفضلُ من الانفراد؛ لإجماع الصحابةِ، وإجماعِ أهل الأمصارِ على ذلك

“Penulis kitab Asy Syamil berkata: Abu Abbas dan Abu Ishaq menyatakan: ‘Sholat Tarawih secara berjema’ah lebih utama dari pada sendirian, berdasarkan kesepakatan para sahabat, serta ijma’ para ulama berbagai negeri tentang hal itu’.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 4/32)

Kesimpulan serupa juga ditegaskan oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah:

ولنا إجماعُ الصَّحابة على ذلك، وجَمْعُ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أصحابَه وأهلَه في حديث أبي ذرٍّ

“(Cukuplah) bagi kita, ijma’ para sahabat tentang hal itu, begitu pula tindakan Nabi shollallahu alaihi wasallam mengumpulkan para sahabat juga keluarga beliau dalam hadits Abu Dzar.” (Al Mughni 2/124)


Baca Juga: Bagaimana Agar Tidak Terlewatkan Lailatul Qodr?


Jadi, hendaknya sebagai muslim kita tidak perlu meragukan legalitas sholat berjemaah dalam sholat tarawih. Malah dengan memahami bahwa ahlul bid’ah menuding praktek ibadah yang dilakukan muslimin di segenap penjuru dunia ini sebagai bid’ah, mestinya kita semakin bersemangat. Karena kita berharap Allah menambahkan balasan kebaikan bagi jemaah sholat tarawih yang ikhlas mengikuti sunnah Nabi shollallahu alaihi wassalam juga sunnah Khulafa’ Ar Rasyidin sekaligus menyelisihi para penentang sunnah.

?️Penulis:
Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan